Oleh sebab itu seorang hakim perlu untuk memperhatikan sifat-sifat yang dapat merealisasikan keadilan dan kesejajaran yang meliputi intelektualitas, ketakwaan dan keadilan. Umar r.a menetapkan bahwasanya seorang hakim perlu memiliki tiga kriteria, yaitu tidak mereka-reka perkara, tidak lemah dan tidak mengikuti sifat ketamakan.
Senada dengan Umar r.a, para khalifah Umayyah berupaya mengangkat orang yang memiliki intelektualitas, kapabilitas dan kejujuran untuk jabatan hakim. Umar bin Abdul Aziz menyerahkan jabatan hakim wilayah Mesir kepada Ibnu Khadzamir Ash-Shan`ani sebab beliau telah mengetahui kompetensi dan ketakwaan Ibu Khadzamir.
Terkait hal tersebut Ibnu Hajar memberikan apresiasi kepada Ibnu Khadzamir dengan mengatakan bahwa beliau adalah orang non Arab pertama yang menjabat sebagai hakim di Mesir. Dan semenjak menjadi hakim di Mesir ia tidak pernah menerima satu dirham atau satu dinar pun.
Meskipun lembaga peradilan itu bersifat independen semenjak pemerintahan Umar bin al Khathab, dan tampak semakin jelas di era kekahalifahan Bani Umayyah, realitasnya banyak para ulama dan ahli fiqih yang enggan menerima jabatan hakim. Hal tersebut karena rasa takut kepada Allah jika seandainya tidak dapat memutus perkara dan menyalahi hukum syariah.
Bukan hanya itu, bagi mereka yang telah menjalani aktivitas sebagai hakim ternyata banyak yang enggan mengambil gaji dari profesinya. Mereka memandang hal tersebut akan mengurangi kemuliaan diri dan tugasnya. Diantara mereka yang enggan tersebut adalah hakim Andalusia Ibnu Samak Al-Hamdzani.
Kisah beliau dapat kita baca dalam Tarikh Qudhah Al-Andalus, An-Nabahi menuturkan tentang biografi dan sifat-sifat Ibnu Samak Al-Hamdzani. Diantara hal yang beliau kupas adalah mengenai kezuhudan dan kerendahan hati Al-Hamdzani.
“Al-Hamdzani membuka sendiri saluran air. Al-Hamdzani juga membelah kayu di depan pintu rumahnya sementara orang-orang yang ada disekitarnya mengajukan perkara kepadanya. Ia memakai pakaian yang terbuat dari kain wol, dan tidak mau naik hewan tunggangan atau kenderaan di kota pada waktu ia menjabat sebagai hakim. Jika ia pergi ke rumahnya yang ada di desa, ia berpakaian sederhana dan berbekal dari uang sakunya sendiri. Ia tidak mengambil gaji atas jabatannya sebagai hakim.”
Inilah yang dimaksud dengan jabatan milik Allah. Ketika seseorang menerima dan mengemban amanah jabatan untuk menegakkan hukum-hukum Allah, menegakkan keadilan memberi kepada yang hak menerimanya. Bukan mengakali bagaimana cara agar seseorang dapat memperoleh sesuatu yang tiada hak ia di dalamnya.
Oleh sebab itu saya menilai pernyataan Anwar Usman bahwa jabatan milik Allah hanyalah ungkapan kosong tanpa makna, terkesan menutupi perasaannya agar tampak ikhlas lengser dari kursi Ketua MK.
Jika jabatan memang milik Allah, kembalikanlah semua kepada tempatnya. Seorang hakim MK yang melakukan pelanggaran etik berat tak layak lagi menjadi hakim. Kami akan mengingat sejarah kelam bangsa ini dan menceritakannya kepada anak cucu bahwa pernah ada seorang paman yang mengakali konstitusi untuk menghantarkan keponakannya naik ke kursi Cawapres.[]