BANDA ACEH – Jalur Gaza dilaporkan memiliki cadangan gas alam lepas pantai yang terletak 36 kilometer di lepas pantainya.
Fakta itu membuncahkan motif sebenarnya dari kengototan Israel atas kendali sepenuhnya atas Jalur Gaza bertameng pemberantasan Hamas.
Apakah tekad Tel Aviv untuk menguasai wilayah tersebut setelah perang ada hubungannya dengan sumber energi Palestina?
Hamas Cuma Dalih
Israel mengklaim terus membuat kemajuan operasi militer mereka di Jalur Gaza.
Perdana Menteri Benjamin Netanyahu telah berulang kali mengatakan bahwa Tel Aviv akan mempertahankan kendali atas wilayah tersebut sampai demiliterisasi dan deradikalisasi dilakukan untuk membersihkan Gaza sepenuhnya dari Hamas.
Untuk itu, tentara Israel (IDF) membombardir wilayah pemukiman, merelokasi paksa warga sipil dari rumah-rumah mereka, memerangi rumah sakit, dan sederet aksi yang dinilai sebagai pelanggaran hukum internasional.
Toh, Israel bergeming atas kutukan dari banyak negara di dunia.
Netanyahu bahkan juga menentang saran sekutu abadi mereka, Amerika Serikat (AS) terkait masa depan Gaza.
Pemerintahan Joe Biden diketahui meminta Israel menyerahkan Otoritas Palestina untuk mengambil kendali di wilayah tersebut jika Pasukan Pertahanan Israel (IDF) berhasil mengalahkan Hamas.
Ide AS ini dianggap Israel cuma angin lalu.
Netanyahu dan kabinetnya menyatakan Gaza sepenuhnya harus ada dalam bagian Israel, lagi-lagi dengan dalih agar serangan Hamas seperti 7 Oktober silam tidak terjadi lagi.
Namun, beberapa pengamat percaya kalau sebenarnya bukan demiliterisasi Jalur Gaza yang melatarbelakangi keinginan Tel Aviv untuk menguasai wilayah tersebut, namun ladang gas yang belum dimanfaatkan bernama Gaza Marine.
Apa Itu Gaza Marine
Gaza Marine adalah ladang gas alam yang terletak 36 kilometer (22 mil) di lepas pantai Jalur Gaza pada kedalaman 610 meter.
Ladang ini diperkirakan menampung 32 miliar meter kubik gas alam dan dilengkapi dengan ladang yang lebih kecil yang menampung sekitar tiga miliar meter kubik gas di dekat wilayah perairan Palestina dan Israel.
Ladang tersebut ditemukan oleh British Gas (BG) pada tahun 1999 setelah konsorsium energi itu diberikan izin beroperasi dengan kontrak selama 25 tahun di wilayah maritim Gaza oleh Otoritas Palestina (PA).
Lisensi ini memberikan perusahaan tidak hanya hak eksplorasi tetapi juga memberikan hak untuk mengembangkan ladang yang ditemukan dan memasang infrastruktur yang diperlukan.
Meskipun BG mengambil 90 persen saham dalam lisensi tersebut, 10 persen saham lainnya dibeli oleh Consolidated Contractors Company (CCC), sebuah raksasa konstruksi Timur Tengah.
Namun, proyek ini terperosok dalam kontroversi sejak awal.
Menurut sosiolog dan penulis AS Michael Herman Schwartz, saat itu Tel Aviv bersikeras kalau Israel harus mengontrol keuntungan PA dari gas, sehingga tidak digunakan “untuk teror.”
“Dengan ini, Perjanjian Oslo secara resmi hancur,” tulis penulisnya.
Sementara itu, pada September 2000, pemimpin terkenal Palestina Yasser Arafat memuji Laut Gaza sebagai “hadiah dari Tuhan” kepada rakyat Palestina.
“Perairan Gaza akan memberikan landasan yang kokoh bagi perekonomian kita, untuk mendirikan negara merdeka dengan Yerusalem suci sebagai ibu kotanya,” kata Yasser Arafat saat itu menjabarkan cita-cita untuk Palestina merdeka.
Perebutan Gaza
Pernyataan Arafat muncul pada saat dimulainya Intifada Kedua, yang meletus setelah gagalnya kesepakatan KTT Camp David antara Presiden AS Bill Clinton, Perdana Menteri Israel Ehud Barak, dan ketua PA.
Sejak itu, konflik Israel-Palestina kembali memanas dan berlangsung sekitar lima tahun.
Eskalasi konflik mereda oleh KTT Sharm el-Sheikh tahun 2005 yang menyaksikan pemimpin baru PA Mahmoud Abbas dan Perdana Menteri Israel Ariel Sharon mengambil langkah tegas untuk de-eskalasi.
Pada tahun-tahun berikutnya, Jalur Gaza menyaksikan penarikan pasukan militer Israel pada tahun 2005, kebangkitan sayap Politik Hamas, dan pengusiran Fatah (sayap utama dari PA) dari jalur tersebut pada tahun 2007.
Menanggapi pengambilalihan Gaza oleh Hamas, Mesir dan Israel melakukan tindakan balasan dengan blokade jalur yang menghancurkan perekonomian Palestina.
Pada bulan Desember 2008, konflik baru mengguncang wilayah tersebut, yang dikenal sebagai Operasi Cast Lead atau Pembantaian Gaza, antara Pasukan Pertahanan Israel (IDF) dan Hamas.
Perang berakhir pada 18 Januari 2009. Namun bentrokan Israel-Hamas terus berlanjut sejak saat itu.
Secara keseluruhan, sejak tahun 2005, Hamas dan Israel telah berperang sebanyak lima kali, yang terakhir pecaha pada 7 Oktober 2023.
Selama bertahun-tahun, Laut Gaza masih belum dimanfaatkan dan dikembangkan karena Tel Aviv melarang dan mencegah eksplorasi dengan dalih kalau kekayaan gas alam akan digunakan oleh Hamas dan kelompok pemberontak Palestina lainnya dalam perjuangan mereka melawan Israel.
Pihak Barat Kehilangan Kesabaran
Negosiasi yang terhenti dengan pemerintah Israel, pengambilalihan Jalur Gaza oleh Hamas dan perang Gaza tahun 2008 mengakibatkan BG menutup kantornya di Tel Aviv.
BG terus memegang sahamnya dalam eksplorasi lapangan tersebut tetapi tidak menunjukkan minat yang besar terhadapnya.
Beberapa tahun kemudian, pada tahun 2015, pemerintah Palestina melanjutkan pembicaraan dengan BG untuk mencabut hak eksklusif yang telah diberikan kepada perusahaan tersebut.
Setelah negosiasi, pihak Palestina, yang diwakili oleh Dana Investasi Palestina (PIF), mendapat 17,5 persen saham di hak ladang gas; Perusahaan Kontraktor Konsolidasi (CCC) memegang 27,5 persen.
Pada tanggal 8 April 2016, Shell mengakuisisi BG, dan berakhir dengan 55 persen saham di lapangan tersebut.
Tampaknya Shell tidak menganggap proyek tersebut menjanjikan, sehingga Shell melepaskan kepemilikannya pada tahun 2018, mengalihkannya ke pejabat Palestina sehingga memaksa mereka untuk mencari kontraktor internasional baru.
Untuk memajukan proyek ini, PIF mengambil 27,5% saham, CCC mempertahankan bagian yang sama, dan 45% diserahkan kepada perusahaan yang mau beroperasi untuk memulai eksplorasi dan ekstraksi yang telah lama dinantikan.
Pada bulan Februari 2021, PIF dan CCC menandatangani perjanjian dengan Perusahaan Induk Gas Alam Mesir (EGAS) untuk mengembangkan ladang Laut Gaza di lepas pantai Jalur Gaza.
Proyek ini bertujuan untuk berkontribusi “memperkuat kemandirian nasional Palestina,” menurut nota kesepahaman (MOU) pada Februari 2021 yang ditandatangani oleh para pihak.
Pada akhir bulan November 2022, Washington Post menyebut kalau Otoritas Palestina, Mesir, Israel dan Hamas akan memulai proyek eksplorasi gas senilai $1,4 miliar di Laut Gaza.
Laporan menambahkan kalau proyek tersebut akan selesai pada bulan Februari 2023, sementara produksi gas dapat dimulai sebagai paling cepat pada bulan Maret 2024.
Pada Mei 2023, publikasi lain, Arab News, melaporkan kalau pemerintahan Benjamin Netanyahu sedang melakukan pembicaraan gas rahasia dengan Otoritas Palestina di bawah naungan AS.
Pada bulan Juni, Israel secara resmi memberikan persetujuan awal untuk pengembangan ladang gas di Jalur Gaza, namun menekankan bahwa hal itu memerlukan koordinasi keamanan dengan Otoritas Palestina dan negara tetangga Mesir.
Tidak Ingin Palestina Sejahtera
Hipotesis perang Israel-Hamas disebabkan oleh gas alam disangkal oleh Dr. Mamdouh G Salameh.
Ekonom minyak internasional dan pakar energi global itu mengatakan sangat tidak mungkin perang Israel-Hamas yang sedang berlangsung di Jalur Gaza dipicu oleh kepentingan gas.
“Konflik Hamas-Israel baru-baru ini berawal dari Deklarasi Balfour Inggris yang menetapkan rumah asli bagi orang Yahudi di Palestina dan mengusir orang-orang asli dan sah dari rumah asal mereka,” kata Salameh kepada Sputnik.
“Sejauh yang saya tahu, cadangan gas yang ditemukan oleh perusahaan BG Inggris di lepas pantai Jalur Gaza diperkirakan ‘hanya’ mencapai 35 miliar meter kubik (bcm),” kata dia.
Saat ini Israel mempunyai 11 ladang gas yang cukup besar, termasuk Tamar, dan yang terbesar, Leviathan, diperkirakan memiliki 623 miliar meter kubik gas.
Mengingat hal itu, Gaza Marine, yang terletak di dekat Jalur Gaza, tidak memberikan banyak perbedaan bagi kepentingan energi Tel Aviv.
Sementara itu, ladang-ladang yang sudah ditemukan di lepas pantai Jalur Gaza – meskipun tidak sebesar yang diklaim oleh Israel – masih cukup besar untuk menopang perekonomian Gaza dan wilayah Palestina, menurut pakar tersebut.
Artinya, Israel memang tidak berminat menjadikan Palestina menjadi mandiri dan sejahtera.
“Jika Otoritas Palestina diizinkan untuk melakukan eksplorasi minyak dan gas lepas pantai, kemungkinan besar mereka akan menemukan cadangan gas dan minyak lepas pantai yang cukup besar seperti Mesir, Israel, dan Siprus. Nilai cadangan ini jika terbukti dapat menopang perekonomian Palestina yang mandiri. selama bertahun-tahun,” Salameh menggarisbawahi.
Sebenarnya, nilainya bisa jadi jauh lebih tinggi, menurut Salameh.
Dia berpendapat bahwa “wilayah pendudukan Palestina mungkin mendapat bagian di masa depan dari cadangan gas Mediterania Timur yang diperkirakan mencapai 3,45 triliun meter kubik dan 1,7 miliar barel minyak.”
Isu Cadangan HIdrokarbon yang Besar
Konstantin Simonov, direktur umum Dana Keamanan Energi Nasional Rusia, sependapat dengan Salameh kalau konflik di Gaza saat ini tidak dipicu oleh perselisihan energi Israel-Palestina.
“Teori konspirasi yang populer adalah bahwa semua ini dimulai karena terdapat cadangan hidrokarbon yang sangat besar di sana,” kata Simonov kepada Sputnik.
“Pertama, wilayah [Timur Tengah] secara alami memicu konsep bahwa semua peristiwa di sana harus dilihat melalui prisma hidrokarbon (…) Namun menurut saya, bagaimanapun juga, hidrokarbon bukanlah hal yang paling penting dan mendasar di sini,” katanya.
Menurut Simonov, BG tidak melanjutkan eksplorasi Laut Gaza terutama karena keuntungan dari deposit yang bermasalah tersebut tidak cukup besar.
“Meskipun BG melakukan sesuatu di sana, sebenarnya itu bukanlah penemuan terbesar, bukan deposit terbesar,” jelas sang ahli.
“Dan itulah sebabnya, pada kenyataannya, mereka tidak melakukan pembangunan nyata apa pun di sana. Sekarang, saya ulangi, semua proyek paling menarik terletak di bagian cekungan Bizantium yang dianggap Israel sebagai miliknya dan sedang dikembangkan,” paparnya.
Sarjana Rusia tersebut meragukan kalau Palestina akan dapat mengklaim hak atas ladang gas lain yang ditemukan Israel di lepas pantai dalam waktu dekat.
Israel dan mitra-mitra Baratnya berpacu dengan waktu untuk mengeksplorasi dan mengekstraksi hidrokarbon dari ladang Tamar, Leviathan, dan Aphrodite sehingga sangat kecil kemungkinannya bahwa mereka akan mengizinkan Otoritas Palestina untuk mengangkat isu demarkasi wilayah landas Mediterania Timur.
Bagaimanapun, perang Gaza yang sedang berlangsung, karena tidak berakar pada perselisihan energi, sekali lagi telah menghancurkan proyek gas yang sangat dibutuhkan oleh Otoritas Palestina yang dapat membantu memulihkan perekonomian Palestina dan berkontribusi dalam membangun solusi dua negara