Bahkan, bekerja sama saja belum tentu buruh mampu “mencekik” pengusaha.
Yang ketiga adalah spirit. Nabi Muhammad mengeluarkan hadits tentang buruh yakni “bayarlah upah buruh sebelum keringatnya kering” dan juga Al Quran yang mengatakan bahwa di antara kekayaan orang kaya terdapat harta orang miskin.
Spirit keagaaman ini penting untuk melihat perjuangan buruh merupakan sakral, yakni menuntut hak bukan mengemis.
Sebagai tambahan, pemimpin buruh harus menguasai wawasan politik skala nasional. Beberapa hari lalu, ketika pimpinan buruh dalam Gekanas (Gerakan Kesejahteraan Nasional) bertemu saya meminta untuk jadi saksi ahli di Mahkamah Konstitusi.
Saya menyarankan tokoh-tokoh buruh melengkapi ilmunya dengan ilmu ekonomi perburuhan, ilmu negara kesejahteraan, dan berbagai ilmu lainnya yang membuat buruh mampu menjelaskan pentingnya buruh menjadi kaya, menjadi pintar, menjadi bagian dari kemajuan “human capital”, dan lain-lain. Selama ini kebanyakan tokoh buruh hanya ahli dalam bidang hukum perburuhan.
Dengan kelengkapan ilmu, kaum buruh akan memiliki kecakapan dalam berdebat. Termasuk tuduhan tuntutan buruh akan membuat kabur investor.
Penutup
Tuntutan kaum buruh atas upah yang layak telah berlangsung puluhan tahun. Orang-orang kaya terus semakin kaya, dan orang-orang miskin bertahan miskin dengan subsidi minimal. Buruh mempunyai legitimasi untuk menjadi kaya di negerinya sendiri.
Jika di barat berkembang ilmu ekonomi liberal, yang membahas buruh dalam konteks alat produksi dan tunduk pada hukum permintaan (labor market), namun mereka memberlakukan pembatasan kekayaan orang kaya, khususnya melalui pajak, memberlakukan negara kesejahteraan, melalui subsidi negara kepada rakyat dan memastikan “mobilisasi vertikal” semua orang melalui pemerintah pendidikan.
Sebaliknya di Indonesia tidak terjadi. Indonesia telah gagal sebagai negara yang memperhatikan “human capital” dan efisiensi pembangunan. Orang-orang kaya hanya bangga menjadi penguasa tanah-tanah dan bisnis sektor ekstraktif dan negara gagal membangun industrialisasi.
Dari porsi kecil pendapatan negara atas kekayaan alam miliknya, negara kemudian memberikan orang-orang miskin makan dan sekadar makan saja. Sehingga, mobilisasi vertikal rakyat untuk menjadi manusia unggul tidak terjadi.
Untuk itu buruh jangan pernah memberikan ketergantungan nasibnya kepada negara. Buruh harus merebut kekuasaan dan mengatur negara untuk kepentingan dirinya sendiri.
Hal itu hanya bisa dilakukan dengan menyusun terus kekuatan melalui persatuan kaum buruh serta semangat berjuang tiada akhir.
(Jurubicara Kaoem Buruh)