BANDA ACEH – Konflik antarpasukan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) atau sekarang TNI, pernah terjadi di era Presiden Sukarno, atau Bung Karno.
Pada pertengahan tahun 1964, antara pasukan Resimen Para Komando Angkatan Darat atau RPKAD (sekarang Kopassus) dengan pasukan Tjakrabirawa atau Cakrabirawa dari unsur KKO (sekarang Marinir), saling berhadap-hadapan.
Gesekan yang berujung dengan baku hantam massal di lapangan Banteng itu, dipicu aksi saling ejek.
“Tanpa jelas yang menjadi penyebabnya, mendadak saja terjadi insiden. Dimulai dengan saling ejek-mengejek, kemudian berlanjut menjadi perkelahian massal,” kata Benny Moerdani atau LB Moerdani seperti dikutip dalam buku Benny Moerdani Profil Prajurit Negarawan (1993), Jumat (26/8/2022).
Adu fisik di lapangan Banteng pertengahan tahun 1964 itu membuat situasi semakin panas. Pasukan RPKAD yang merasa kalah jumlah dengan KKO Cakrabirawa yang asramanya di Kwini, yakni hanya berseberang jalan dengan lokasi kejadian, langsung berinisiatif mengontak rekan-rekannya di Cijantung. Dalam waktu cepat datang bantuan dengan iring-iringan truk.
Saling ejek yang berubah adu jotos ditengarai hanya akumulasi kecemburuan. Sebelum insiden terjadi, kehadiran Resimen Cakrabirawa yang dibentuk pada awal Mei 1963, sejak awal telah menimbulkan sentimen tersendiri bagi kesatuan lain, terutama RPKAD. Cakrabirawa merupakan kesatuan khusus yang bertugas menjaga keamanan Presiden Soekarno.
Dalam “Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa, Dari Revolusi 45 Sampai Kudeta 66”, Maulwi Saelan mengatakan, gagasan pembentukan Cakrabirawa timbul pasca insiden percobaan pembunuhan Bung Karno pada saat salat Idul Adha 1962 di Istana Negara.
Sebagai kesatuan khusus, Cakrabirawa memiliki kekuatan 3.000 personil yang semuanya berasal dari empat unsur angkatan (AD, AL, AU dan Kepolisian). Mereka merupakan kumpulan dari para tentara pilihan. “Mereka ini prajurit-prajurit para yang matang dan prajurit gerilya yang sempurna,” kata Bung Karno seperti dikutip dari Benny Moerdani Profil Prajurit Negarawan.