IN-DEPTH

Ubah Aturan Demi Melanjutkan Kekuasaan, Jokowi Akhirnya Berubah Dari Merakyat Menjadi Otoriter

ABSURDITAS politik saat ini bukan lagi menunjukkan gejala-gejala atau indikasi-indikasi kebangkitan Orde Baru dimana penguasa mengatur alat-alat negara untuk meraih kekuasaan.

Bukan lagi dilakukan dengan cawe-cawe di panggung belakang, tapi terang benderang di panggung depan.

Perubahan dari pemimpin rakyat menjadi pemimpin otoriter benar-benar sudah sempurna dalam diri Jokowi. Metamorfosa terjadi ketika Jokowi cawe-cawe politik demi keberlanjutan kekuasaan melalui anaknya.

Tangan besi dilakukan menyandera elit politik dan bahkan tidak segan-segan memukul keras kalau ada yang berani tidak TEGAK LURUS JOKOWI.

Kalau metamorfosa ulat menjadi kupu-kupu sangat indah dan menakjubkan, sebaliknya metamorfosa Jokowi dari pemimpin merakyat menjadi otoriter sangat mengerikan.

Fakta kepemimpinan otoriter itu semakin terang benderang saat mantan Ketua KPK Agus Rahardjo mengungkap peristiwa cawe-cawe Jokowi mengintervensi kasus e-KTP dimana Setya Novanto menjadi tersangkanya. Perubahan UU KPK pun dilakukan sehingga Jokowi punya kekuasaan penuh di KPK.

Ini seperti sedang menguatkan adanya juga cawe-cawe Jokowi ke partai-partai politik melanjutkan kekuasaannya melalui anaknya.

Saya sendiri awalnya tidak pernah menyangka hal ini nyata karena meyakini sampai sebelum putusan MK, Jokowi adalah sosok yang sudah selesai dengan dirinya untuk berkuasa.

Namun fakta berkata lain. Cawe-cawe politik 3 periode, perpajangan masa jabatan, dll adalah manuver politik Jokowi untuk melanjutkan kekuasaannya.

Ditolak oleh Megawati, kemudian disambut oleh Prabowo yang adalah menantu kandung dari Soeharto tokoh Orde Baru.

Tidak heran kalau akhirnya Jokowi langsung akrab dengan Prabowo karena memiliki kesamaan ideologi.

Ideologi kerakyatan menjadi ideologi oligarki. Jokowi benar-benar sudah tercabut dari akarnya.

Perubahan UU KPK, putusan MK yang diambil dengan pelanggaran etika berat, penggunaan alat-alat Kekuasaan, mengintimidasi lawan politik, dan KPU yang “diatur” sedemikian rupa adalah indikasi kuat bangkitnya Neo Orba.

Indonesia tidak boleh lagi mundur dan kembali pada kesalahan yang sama. Sudah cukup kita merasakan era Orde Baru yang penuh kecemasan dan ketidakadilan.

Kita harus hentikan pemimpin yang melanggengkan segala cara untuk kembali berkuasa.

Gambar ilustrasi Jokowi mengekang proses Demokrasi di Indonesia setelah Reformasi. FOTO/Net. Ⓒ Hak cipta foto di atas dikembalikan sesungguhnya kepada pemilik foto
Gambar ilustrasi Jokowi mengekang proses Demokrasi di Indonesia setelah Reformasi. FOTO/Net. Ⓒ Hak cipta foto di atas dikembalikan sesungguhnya kepada pemilik foto

Indonesia memang belum sampai dalam tahapan untuk menjadi negara otoriter secara penuh di era Presiden Joko Widodo. Akan tetapi, praktik tersebut sudah dapat ditemui dan dirasakan di kehidupan nyata.

Begitu kata Direktur Center for media and Democracy LP3ES, Wijayanto saat membuka diskusi bertajuk “Isu HAM Era Jokowi & Kekerasan Negara” yang digelar LP3ES.

Dia menjelaskan bahwa ada empat indikator praktik negara otoriter yang dapat ditemui dan dirasakan.

Pertama diingkarinya aturan main demokratis dengan adanya keterlibatan lembaga-lembaga negara untuk memenangkan salah satu calon dan munculnya wacana dari pemerintah untuk membuat presiden dapat menjabat dalam tiga periode.

Kedua, kelompok oposisi semakin lemah. Hal ini seiring masuknya dua rival Joko Widodo di Pilpres 2019, Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno, dalam struktur pemerintahan.

Ketiga pembiaran terhadap kekerasan. Itu terjadi pada penolakan Omnibus Law dan juga penolakan revisi UU KPK,” sambungnya.

Sementara indikator yang keempat adalah adanya ancaman terhadap kebebasan sipil yang dapat dilihat dari teror terhadap para aktivis yang sampai saat ini kasusnya belum juga tuntas.

Hal ini terjadi ketika konsolidasi oligarki tidak diikuti dengan konsolidasi publik, sehingga para oligarch tidak memiliki penantang.

“Hal tersebut semakin nyata ketika kita berefleksi terdapat berbagai kebijakan pemerintah yang keluar tanpa mempedulikan aspirasi rakyat, mulai dari New Normal hingga Omnibus Law dan pemaksaan diselenggarakannya pemilu,” tegasnya.

Menurut Wijayanto, sudah saatnya pemerintah kembali mendengarkan suara rakyat.

1 2

Reaksi & Komentar

Berita Lainnya