Politik-dinasti_20231205_191418.jpg” width=”640″/>BANDA ACEH – Penolakan terhadap politik dinasti di tengah masyarakat Indonesia masih terus bergulir.
Terutama, pasca-putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90 yang dinilai memuluskan jalan putra sulung Presiden Joko WIdodo (Jokowi), Gibran Rakabuming Raka, menjadi calon wakil presiden (cawapres) mendampingi calon presiden (capres) Prabowo Subianto.
Ribuan mahasiswa dari yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa dan Masyarakat (AMARA) menggelar Mimbar Demokrasi di Universitas Sulawesi Tenggara (Unsultra), Kendari, Selasa (5/12/2023).
Koordinator aksi, Ardianto mengatakan tujuan kegiatan tersebut menolak politik dinasti dan pelanggaran HAM.
Menurut Ardianto, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.90/PUU-XXI Tahun 2023 terkait batas usia calon Presiden dan Wakil Presiden penuh dengan kepentingan elite.
Apalagi, melalui keputusan tersebut, Gibran Rakabuming Raka maju menjadi calon wakil presiden.
“Yang sangat kita miriskan dengan kejadian kemarin putusan MK. Kami menduga ada sebuah settingan oleh MK sehingga sengaja dibukakan gerbang sebesar-besarnya agar bisa mendaftar,” kata Ardianto saat dihubungi.
Ardianto mengatakan pembentukan MK sejak tahun 2003 telah mewarnai perkembangan hukum dan tata negara RI.
Namun, peran MK kemudian terdegradasi akibat putusan tentang batas usia capres-cawapres.
“Kehadiran MK ini merupakan kemajuan besar. Hari ini sudah dipolitisasi oleh kepentingan-kepentingan elite-elite politik. Maka hadir lah keresahan mahasiswa, maka ada mimbar demokrasi. Kita harus kembali merefleksikan politik dinasti jangan terulang kembali,” kata mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Sulawesi Tenggara (Unsultra) itu.
Ia berharap dengan adanya mimbar demokrasi ini bisa memantik kembali daya kritis mahasiswa.
Dalam aksi tersebut, sejumlah mahasiswa dari Uho kendari, IAIN Kendari, UMW Kendari, STIMIK Binabangsa, Unilaki Konawe turut hadir.
Aksi di Yogyakarta
Sebelumnya ribuan mahasiswa dari 35 kampus di Yogyakarta turun ke jalan dalam aksi protes tersebut.
Khusus di kawasan Tugu Yogyakarta, sebagian mahasiswa terlihat menggelar aksi unjuk rasa dengan mengenakan topeng Guy Fawkes atau topeng kelompok anonimus.
Koordinator mahasiswa dalam aksi di Tugu Yogyakarta, Ahmad Kholil menyebut penggunaan topeng anonimus merupakan simbolisasi perlawanan terhadap elite politik yang antidemokrasi.
Kegelisahan anak muda
Analis politik dari Universitas Krisnadwipayana, Ade Reza Hariyadi angkat bicara terkait aksi protes sejumlah elemen mahasiswa di Yogyakarta.
Dirinya menilai aksi kelompok mahasiswa mulai gerah dengan manuver-manuver politik penguasa.
“Ini menjadi kegelisahan anak-anak muda terdidik dan juga sebagai bentuk koreksi terhadap perilaku para elite yang memperebutkan kekuasaan ini keluar dari pakem-pakem yang ditentukan dalam konstitusi,” kata Ade kepada wartawan, belum lama ini.
Politik Dinasti dan Sosok Anwar Usman
Sosok Anwar Usman menjadi perhatian utama usai Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) menjatuhkan sanksi pemberhentian dari jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) kepadanya.
Anwar terbukti melanggar kode etik dan sederet prinsip profesi terkait uji materi pasal syarat batas usia calon presiden-calon wakil presiden (capres-cawapres).
“Menjatuhkan sanksi pemberhentian dari jabatan ketua mahkamah konstitusi kepada hakim terlapor,” kata Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie, dalam sidang yang digelar di Gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa (7/11/2023) ketika itu.
Putusan MKMK itu turut memberikan kesan ternyata penanganan perkara uji materi nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang syarat batas usia calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) tidak dilakukan dengan baik yang dampaknya cukup besar terhadap situasi politik menjelang pemilihan presiden.
Di sisi lain, sosok Anwar juga menjadi sorotan setelah menikah dengan Idayati, adik dari Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Ia menjadi pusat perhatian ketika sejumlah pihak mengajukan uji materi terhadap syarat batas usia capres-cawapres.
Dari sekian gugatan yang ditangani adalah uji materi nomor perkara 90/PUU-XXI/2023 itu dilayangkan oleh seorang mahasiswa Universitas Surakarta bernama Almas Tsaqibbirru.