LINGKUNGAN

Wajah Perhutanan Sosial di Aceh

“Yang itu kira-kira umurnya lima tahun,” ujar Sumini menunjuk kebun kopi berjarak 10meter dari sungai wih gile.

Beragam penghargaan diterimanya baik secara individu atau kelompok; piagam pengargaan Menteri LHK kategori ekowisata terpopuler (2020), merdeka award kategori sosok inspiratif untuk Indonesia (2021), award perempuan leuser (2022), lotus leadership award (2023), dan penghargaan Kalpataru KLHK kategori kelompok penyelamat lingkungan.

Sumini terharu penghargaan justru datang bahkan dari tempat dan nama yang tidak pernah didengarnya. Di daerahnya sendiri pemerintah berwenang terkesan cuek.

“Kita masyarakat ekonomi lemah, ini bukan pekerjaan yang mudah, bagian dari mitigasi. Tapi itu pun tidak mau mereka bantu. Kalau sudah datang bencana baru sibuk,” Sumini berucap sambil memandangi piagam kalpataru berbentuk pohon beringin di depannya.

Sumini masih memiliki tiga anak yang bersekolah, dua lainnya sudah berumahtangga. Subuh selepas salat dan mandi Sumini berjalan menuju rumah produksi tempe yang letaknya 100 meter dari rumahnya. Pagi itu hanya ada dua perempuan yang membersamai Sumini membungkus tempe, jumlah per orangnya sudah mereka tentukan dan sepakati.

“Menjaga hutan juga, mencari penghasilan pun perlu. Selain uang dari bapak, ibu pun kan harus ada tambahan juga,” ucapnya menyelesaikan bungkusan terakhir. Matahari belum tampak, Sumini kembali ke rumahnya. Hari itu usai menyelesaikan semua pekerjaan rumah Sumini bersama timnya akan berpatroli ke hutan.

Masih Mencari Solusi Ekologi dan Ekonomi

Puluhan ibu rumah tangga sibuk merangkai batang rotan, menyambung batang demi batang menjadi piring rotan, tudung saji dan keranjang buah. Di depan bangunan tempat mereka berkumpul tertulis “sekretariat HKM”.

Bangunan itu sekretariat milik Kelompok Tani Hutan (KTH) Tuah Sejati, Gampong Pudeng, Lhoong, Aceh Besar- salah satu desa yang berada dalam kawasan Hutan Ulu Masen. Di dalamnya dua puluh ibu rumah tangga sedang mengikuti pelatihan membuat rotan, Sabtu (30/09/2023). Akhir pekan September itu adalah hari ke-enam dari rangkaian sepuluh hari pelatihan mengolah rotan. Mereka difasilitasi oleh lembaga pendamping dari lembaga non pemerintah, World Resources Institute (WRI).

Seorang Ibu rumah tangga sibuk merangkai batang rotan, menyambung batang demi batang menjadi piring rotan, tudung saji dan keranjang buah. FOTO/HAI/Fendra Tryshanie. Ⓒ Hak cipta foto di atas dikembalikan sesungguhnya kepada pemilik foto

Tahun 2018 KTH Tuah Sejati mendapat izin mengelola hutan dengan skema Hutan Kemasyarakatan (HKM) dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). KTH Gampong Pudeng memiliki izin mengelola hutan seluas 1.713,08 Ha. Melihat potensi hasil hutan yang dimiliki hutan Pudeng masyarakat membentuk kelompok usaha yang salah satunya berfokus pada hasil hutan bukan kayu seperti durian, petai, jengkol, kopi, dan budidaya lebah madu. Namun keterbatasan masyarakat melakukan perencanaan dan minimnya anggaran membuat mereka vakum pasca izin diberikan.

Geliat kelompok masyarakat yang dipenuhi ibu-ibu rumah tangga baru dimulai tahun ini. Para ibu rumah tangga tersebut bergabung dalam Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) Berkah Sejati yang beberapa bulan lalu fokus pada pembuatan halua, makanan olahan yang terbuat dari durian sebagai bahan baku. Di bulan-bulan awal mereka memulai yaitu Mei dan Juni bahan baku halua masih mudah didapat sebab dua bulan itu adalah masa panen durian di Pudeng, bulan-bulan berikutnya durian lebih banyak dipesan dari Medan.

Purnamasari, anggota KUPS Berkah Sejati mengaku mereka pun masih kesulitan dalam pemasaran, sampai sekarang mereka masih mengandalkan penjualan dari tamu yang datang ke Pudeng, “biasanya kalau ada kunjungan orang-orang dinas,” ujarnya sambil menekuk rotan yang hendak dibentuknya menjadi keranjang buah.

Juni lalu para ibu berembuk dengan Adnan- pendamping dari WRI dan menemukan potensi lain dari hutan Pudeng, rotan. Desa yang mereka tinggali berada dekat sekali dengan kawasan hutan, terletak di kaki bukit Glee Bruek. Sayangnya rotan dari hutan Pudeng tidak bisa dikelola masyarakatnya, Adnan bilang itu karena Gampong Pudeng belum memiliki mesin dan ruangan yang bisa dijadikan tempat penyimpanan. Rotan yang dihasilkan dari hutan Pudeng justru dibawa ke Desa Keude Bieng, Kecamatan Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar, desa yang berjarak sekitar 47 km dari Pudeng.

1 2 3 4 5 6 7

Reaksi & Komentar

Berita Lainnya