LINGKUNGAN

Wajah Perhutanan Sosial di Aceh

Penulis: Missanur Refasesa
Fotografer: Fendra Tryshanie

 

NISDALINA cekatan membantu suaminya Efendi, menyiapkan alat pelindung diri (APD) untuk melindungi kepala hingga pinggang, tersisa bagian wajah saja yang ditutupi jaring-jaring hitam agar tak disengat lebah. Ia kemudian mengambil beberapa ranting kayu untuk mengasapi lebah supaya dia dan suami tak disengat, “Sarung tangan harus kita pake juga ni dek, nanti bisa nyengat dia,” ujar Nisdalina sembari mengenakan APD-nya itu.

Ia kemudian berjalan menuju halaman belakang, melewati sepetak kebun markisa, kebun cabe, bawang daun, dan sederet pohon kopi serta jambu biji yang memenuhi kebun belakang rumah seluas 25 x 25 meter itu. Tepat di ujung kebun itu berdiri kayu setinggi 1,5meter dengan kayu berbentuk kubus berada di puncaknya, setup tempat lebah menghasilkan madu.

Efendi dengan menggunakan alat pelindung diri (APD) sedang memeriksa kandang lebah. FOTO/HAI/Fendra Tryshanie. Ⓒ Hak cipta foto di atas dikembalikan sesungguhnya kepada pemilik foto

Saat itu akhir Agustus, setup yang ditujunya belum memasuki waktu panen, namun dua bilah kayu dari dalam setup milik Nisdalina dan Efendi terisi penuh, warna putih sarang lebah sudah dipenuhi kuning madu. Nisdalina mempersilakan Tim HARIANACEH.co.id mencicipi madu yang baru saja dipanennya itu, rasanya manis asam markisa, warna dan aromanya pun persis buah itu. Nisdalina menampungnya dalam toples plastik ukuran sedang, membawanya masuk ke dalam rumah berukuran 4×6 berlantai tanah. Lalu sarang lebah itu ia tiriskan di atas sebuah saringan santan ukuran besar. Semuanya masih dikerjakan manual.

Nisdalina bercerita kepada tim HARIANACEH.co.id, sejak beberapa tahun lalu aktivitas seperti itu menjadi rutinitas Nisdalina dan suaminya, Efendi. Keduanya adalah warga Desa Bale Redelong, Kecamatan Bukit, Kabupaten Bener Meriah, Aceh.

Sebelum memutuskan beternak lebah madu, mereka- yang seperti sebagian besar masyarakat Bale Redelong lainnya menggantungkan hidup dan ekonomi keluarga pada hasil kebun kopi. Kebun kopi milik pasangan suami istri itu berada di wilayah air terjun Puteri Pintu, berjarak 15 menit dari rumah menggunakan sepeda motor.

2006 lalu kebun seluas satu hektar itu dibelinya seharga 4 juta rupiah dari warga lain yang berprofesi sebagai guru sekolah dasar. Nisdalina tahu tawaran harga tersebut terbilang murah, itu lah mengapa ia dan suaminya memutuskan untuk membeli, dan tentu saja karena pemilik sebelumnya memiliki surat lengkap.

Saban hari sejak kebun itu dibeli -kecuali ada hajatan yang harus dihadiri- Nisdalina dan suaminya tidak pernah absen ke kebun kopi. Saat itu kedua anaknya masing-masing masih duduk di bangku sekolah dasar dan taman kanak-kanak sehingga hasil dari kebun kopi saja masih cukup untuk menghidupi keluarga mereka. Tidak ada masalah berarti meski kopi hanya bisa dipanen setahun sekali dengan periode panen selama 3 bulan dan berjarak 3 bulan lagi di masa transisi untuk masa panen di bulan-bulan awal tahun berikutnya.

Seiring berjalan waktu, kedua anaknya naik tingkat ke pendidikan yang lebih tinggi, salah satunya bersekolah di pesantren.

“Pesantren itu kan pengeluarannya sama pun kayak orang kuliah, malah bisa lebih,” ujarnya. Hasil kebun kopi mulai terasa kurang, saat keuangan keluarga putus mereka sesekali meminjam ke tauke kopi, “Nanti kalau udah panen kopi dan udah ada uangnya kita kembalikan, pinjam ke toke enggak ada tambahannya,” ujar Nisdalina.

Kepada tim HARIANACEH.co.id Nisdalina mengaku, hari-hari itu ia dan suaminya berpikir untuk mencari penghasilan tambahan lain sebab kebutuhan rumah tangga mereka semakin meningkat.

Keduanya mencoba peruntungan dengan beternak ikan. Dibuatlah kolam ikan di halaman belakang rumah, namun tak berakhir baik.

“Malamnya ada yang ngambil. Jadi kaya ikan bersama, siapa aja bisa ambil, hahahah,” ujar Nisdalina mengenang suatu pagi sialnya saat menyaksikan ikan-ikan di kolam sudah raib.

Dari adiknya yang beternak lebah ia mendengar bahwa hasil panen madu bisa diharapkan untuk menopang ekonomi keluarga sambil menunggu masa panen kopi tiba. Plus, perawatannya tak repot.

Jadilah Efendi sang suami membuat belasan setup madu. Mereka letakkan setup-setup itu di kebun kopi. Efendi terus memperbanyak setupnya hingga puluhan. Pun mereka tidak kesulitan jika hanya membuat setup saja, tidak perlu menyediakan pakan atau melakukan pemeliharaan esktra.

1 2 3 4 5 6 7

Reaksi & Komentar

Berita Lainnya