Selanjutnya, Al Araf menjelaskan, kebebasan sipil secara faktual terancam. “Kriminalisasi atas pegiat HAM terjadi, seperti kasus Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti,” kata dia.
Pemerintahan tidak tunduk pada peraturan perundang-undangan.
“Yang terjadi, justru jalannya pemerintahan dilakukan dengan mengakali peraturan perundang-undangan.”
Dalam kondisi tsrsebut, Al Araf menyatakan, power sharing tidak terjadi. Yang ada kooptasi atas cabang-cabang kekuasaan.
“Bahkan terjadi intimidasi terhadap kekuasaan yang berbeda dengan kekuasaan politik Jokowi,” ucap dia.
Sekretaris Jenderal Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia atau PBHI Gina Sabrina, menjelaskan catatan tanda “demokrasi illiberal” dari dari beberapa indikator. Ditandai dengan ciri upaya partisan dengan memanfaatkan lembaga negara yang lahir dari reformasi menjadi instrumentalisasi kekuasaan.
Politisasi hukum, politik sandra, terhadap oposisi dan melawan oposisi, di akar rumput hingga politisasi militer. PBHI, kata Gina, mencatat berbagai peristiwa kemunduran demokrasi ini telah dimulai pasca-Pemilu 2019. Dimulai dari konsolidasi lawan pemilu menjadi sekutu, termasuk partai lawan mengkonsolidasikan kekuatan dan mengkooptasi lembaga negara.
Menurut dia, “step back” demokrasi itu diskenario dengan sangat rapi mulai dari isu perpanjangan tiga periode, penjabat daerah dari TNI, Polri, hingga inkumben di belakang layar. Selain itu, puncak pembajakan Mahkamah Konstitusi dengan penambahan batas syarat pencalonan, dilanjutkan dengan skenario “pengkondisian” pemilu.
“Seperti pelibatan aparat pertahanan dan keamanan dalam proses kampanye,” tutur Gina.
Penerbitan Peraturan Presiden Nomor 52 Tahun 2023 tentang cuti kampanye, perubahan UU ITE. Menurut dia, itu dilakukan untuk membungkam kelompok kritis terhadap pemilu, hingga wacana pemilihan tidak langsung dalam Rancangan Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta.