Amerika bersama 12 negara sekutunya yaitu Australia, Bahrain, Belgia, Kanada, Denmark, Jerman, Italia, Jepang, Belanda, Selandia Baru, Singapura dan Inggris telah dipermalukan oleh Houthi. Negara-negara tersebut gemetar menghadapi ancaman Houthi, terutama bagaimana tindakan dan komitmen Houthi menjadi penghambat rantai pasokan global. Forum Ekonomi Dunia di Davos membahas komitmen Houthi, yang merupakan indikasi bagaimana Houthi telah melambungkan namanya sebagai kekuatan geopolitik.
Para Pengkhianat
Amerika melanjutkan upaya mengaburkan kekalahannya atas Palestina bersama Israel melalui normalisasi hubungan Saudi-Israel sebagai jalan terbaik mendirikan negara Palestina. Pernyataan tersebut disampaikan oleh Penasihat Keamanan Nasional Gedung Putih, Jake Sullivan dalam World Economic Forum (WEF) di Davos.
Sullivan menyebut bahwa normalisasi hubungan Arab Saudi- Israel yang dikaitkan dengan konflik Palestina merupakan keyakinan kuat Joe Biden untuk menjamin keamanan Israel. Rencana ini diaminkan oleh Menteri Luar Negeri Arab Saudi, Pangeran Faisal bin Farhan. Dalam World Economic Forum (WEF) Pangeran Faisal menyatakan bahwa Arab Saudi sepakat mengenai perdamaian dengan Israel.
Demikian strategi Amerika menyelamatkan wajahnya dari kekalahan yang memalukan melawan Hamas dan Houthi di kawasan. Dalam hal ini Arab Saudi mengambil peran sebagai pahlawan kesiangan, pengkhianat yang mendukung rencana Amerika melanjutkan solusi 2 negara bagi Palestina dan Israel di tanah Palestina.
Arab Saudi, Qatar dan Bahrain adalah para pengkhianat yang telah memberikan dukungan logistik untuk Amerika dan Inggris dalam mengebom kota-kota Yaman. Dari pangkalan udara Al Udeid di Qatar pesawat RC-135W Angkatan Udara AS menuju barat daya Arab Saudi, untuk bergabung dalam operasi militer menyerang Yaman. Sepanjang lebih dari 100 hari pembantaian di Gaza, Arab Saudi dan para penguasa Arab hanya bisa menonton, mengecam sambil mengangguk patuh pada Amerika.
Tentara untuk Al-Aqsa
Pakar Hukum Internasional Hikmahanto Juwana menyampaikan tidak ada yang bisa memberi hukuman untuk Israel sebab tidak ada kekuatan hukum yang lebih tinggi dari negara. Inilah kelemahan hukum internasional, di atas Israel tidak ada siapa-siapa, apalagi di sampingnya ada Amerika yang merasa dirinya sebagai polisi dunia, bergandengan dengan PBB menjamin keamanan dan kepentingan Israel.
Oleh sebab itu jika Amerika, Inggris, Perancis, Jerman, Kanada, Italia dapat dengan bebas membantu Israel mengapa Houthi, tidak boleh membantu Palestina? Mengapa seluruh dunia Islam tidak boleh mengirimkan pasukan dan tentaranya untuk menghalau teroris Israel dan Amerika? Mengapa kita masih merenungi ketidakberdayaan kita membantu Palestina padahal kita memiliki segalanya untuk menghapus airmata saudara kita?
Masihkah kita ragu menjawab panggilan Al-Aqsa, mengeluarkan tentara-tentara kaum Muslimin dari barak-barak mereka. Wahai umat, kita memiliki Pakistan yang dicatat oleh situs Global Firepower sebagai negara urutan ke-7 dunia untuk kekuatan militernya. Terdapat 654 ribu personel militer yang dilengkapi dengan 363 pesawat tempur, 58 helikopter serang, 3.742 tank, 6 kapal fregat, 2 kapal korvet, 9 kapal selam dan ribuan artileri.
Berikutnya, ada Turki di urutan ke-11, dengan 425 ribu tentara, 2.229 tank, 3.140 artileri, 205 jet tempur, 110 helikopter serang, 16 kapal fregat, 9 kapal korvet dan 12 kapal selam. Sementara Indonesia, berada di urutan ke-13, memiliki 400 ribu personel militer aktif, 314 tank dan 567 artileri, 41 jet tempur dan 15 helikopter serang, sekitar 10 kapal fregat, 21 kapal korvet dan 4 kapal selam.
Di bawah urutan tersebut masih ada Mesir di urutan ke-14 serta Iran di posisi ke-17. Menariknya Israel zionis itu justru ada di posisi ke-18 dari 145 negara di dunia. Artinya kekuatan militer kita seharusnya mampu menghapus entitas haram itu dari bumi Palestina. Karena solusi 2 negara bukanlah solusi melainkan upaya melanggengkan penjajahan. Jika Hamas dan Houthi saja membuat Israel dan Amerika gemetar, apalagi yang kalian tunggu? Al Aqsa memanggilmu wahai tentara kaum Muslimin!