OPINI
OPINI

State Capture di Balik Elektabilitas Prabowo-Gibran: Negara, Pemilu, dan Ketakutan

image_pdfimage_print

Bahkan Ketua Umum Relawan Pro Jokowi (Projo), Budi Arie Setiadi, menyebut Presiden Jokowi sudah jelas mendukung calon presiden dan calon wakil presiden Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka pada Pemilu 2024. Terakhir, akun X milik Kementerian Pertahanan mem-posting tulisan dengan hashtag #PrabowoGibran2024.

ADVERTISEMENTS
Kartu ATM di Rumah, Action Mobile di Tangan

Semua peristiwa ini bukan hanya merisaukan sejumlah pihak namun juga pertanda ada indikasi upaya yang dilakukan secara sistematis dan masif mengerahkan sumber daya dukungan elektoral dengan suprastruktur Politik negara.

ADVERTISEMENTS
Bank Aceh Syariah Mengucapkan Selamat Hari Pahlawan 10 November 2024

Fenomena ini bisa disebut layaknya political state capture di mana terdapat konflik kepentingan antara wewenang sebagai pejabat publik dengan kepentingan politiknya atas kompetisi elektoral. Political state capture ini membuat kekuatan politik terkonsentrasi kepada satu pihak yang kemudian melemahkan kompetisi. Dengan bureaucratic resource dan influential power yang dimilikinya digunakan sekuat tenaga untuk mendongkrak tuah elektoral.

ADVERTISEMENTS
Memperingati 96 Tahun Sumpah Pemuda dari Bank Aceh Syariah

Bahkan ia mencoba mengkondisikan formasi kekuatan pasar (market power) yang dalam hal ini keberpihakan politik sejumlah pengusaha untuk keuntungan elektoral dirinya. Artinya ada upaya re-politisasi negara oleh sejumlah elite untuk mencapai monopoli politik elektoral kepada kandidat tertentu. Semua ini tentu tak bisa diartikan secara positivistik, karena tindakan political state capture ini dilakukan dengan shadow role, yakni menggunakan otoritas kekuasaan secara samar-samar.

Berita Lainnya:
Paradoks Ekonomi 08
ADVERTISEMENTS
Selamat & Sukses atas Pelantikan Ketua DPRA, Wakil Ketua I DPRA dan Wakil Ketua II DPRA

Fenomena political state capture ini menyalahi rasa keadilan masyarakat, karena ada perlakuan yang berbeda dan akses istimewa terhadap kandidat tertentu. Sehingga perolehan survei dengan angka tertinggi bukanlah hal yang menakjubkan. Karena diperoleh dengan mengerahkan kekuatan non-elektoral untuk mendongkrak angka elektoral.

ADVERTISEMENTS
Pertemuan Tahunan Perbankan Syariah 2024

Artinya, ia bukan diperoleh dengan kecanggihan teknik kampanye atau mesin politik elektoral pada umumnya, namun dengan pengondisian arena pertarungan secara terselubung (shadow) melalui pengaruh kekuasaan untuk melakukan strategi dominasi sehingga berpengaruh pada modal atau sumber daya.

ADVERTISEMENTS
Selamat Memperingati Hari Santri Nasional

Mengancam Hak Asasi: Masyarakat Semakin Takut

Survei Litbang Kompas pada 15-17 Januari 2024 menemukan hampir setengah dari responden (42,3 persen) mengaku khawatir dirinya, keluarga, ataupun orang di sekitarnya mendapatkan ancaman dari pihak lain yang berbeda pilihan politik. Artinya, masyarakat benar-benar merasakan bahwa ancaman dan intimidasi itu nyata ketika berbeda pilihan politik, bukan hanya propaganda di media sosial. Hasil ini patut diperhatikan lebih dalam oleh pemerintah dan penyelenggara pemilu.

Faktanya masyarakat tak merasakan hajatan politik yang damai, demokratis, apalagi riang-gembira seperti yang kerap digembar-gemborkan selama ini. Pemilu kita dibayang-bayangi ancaman dan intimidasi. Tanpa kebebasan bersikap dan menentukan pilihan politik. Demokrasi berpotensi berubah menjadi tirani. Pemilu hanya menghasilkan ketakutan.

Berita Lainnya:
Arahan Prabowo, Korban Kebakaran Manggarai Gratis Tinggal di Rusun Pasar Rumput

Dan ketika pesta demokrasi ini justru menghasilkan ketakutan, maka sejatinya kita sedang menghidupkan kembali “otak kuno” manusia. Karena ketakutan sama tuanya dengan kehidupan di Bumi. Ia adalah reaksi yang mendasar yang berkembang sepanjang sejarah biologis manusia, untuk melindungi dirinya dari ancaman yang dirasakan terhadap keberadaan mereka. Dalam pendekatan neuroscience, rasa takut diproses oleh Amigdala. Jika amigdala menilai pesan berbahaya, proses pengolahan informasi di otak besar akan diloncati, dan ia akan langsung menghubungi hipotalamus yang mengatur nafsu.

Sejarah manusia menuliskan bahwa ketakutan yang dipompa terus-menerus bukan justru melahirkan kepatuhan atau ketertundukan, melainkan justru melahirkan sikap agresif, perlawanan yang brutal, karena manusia secara naluriah akan melindungi dirinya dari ancaman. Ia akan melawan rasa takut. Dan keberanian bukanlah sesuatu yang dimiliki manusia sejak lahir. Ia adalah keterampilan yang dilatih di tengah situasi yang dirundung ketakutan.

Di sinilah pentingnya kita menjaga suasana yang demokratis, menghargai kebebasan memilih dan berekspresi, untuk menghasilkan pemilu yang damai. Karena tak ada kedamaian yang diciptakan dengan ketakutan. Dan jauh lebih penting dari itu, kita harus menjaga keutuhan bangsa diatas keberlanjutan kekuasaan.

1 2 3

Reaksi & Komentar

Berita Lainnya