Penulis: Arjuna P Aldino**
PERISTIWA menyedihkan itu datang bertubi-tubi. Seorang aparatur sipil negara di Kabupaten Bangkalan, Madura, Jawa Timur diketahui menjadi panitia dalam deklarasi dukungan Prabowo-Gibran. Sebelumnya, sejumlah asosiasi perangkat desa yang tergabung dalam ”Desa Bersatu” memberikan sinyal dukungan kepada pasangan calon presiden dan calon wakil presiden Prabowo-Gibran. Tak cukup, Kepala Bidang Sekolah Menengah Pertama (SMP) Dinas Pendidikan Kota Medan juga diduga mengarahkan para guru memilih pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 2 ini.
Sejumlah guru di Kabupaten Serang juga mengaku dipaksa oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan setempat, untuk menjadi Koordinator Desa (Kordes) dan Tim Sukses (Timses) capres-cawapres nomor urut 2, Prabowo-Gibran. Bahkan, seorang guru pegawai negeri sipil (PNS) di Sekolah Dasar Negeri (SDN) 3 Gobras, Kecamatan Tamansari, Kota Tasikmalaya, mendadak viral karena membuat video dukungan untuk pasangan Prabowo-Gibran. Di Sulawesi Selatan, Sekretaris Daerah (Sekda) Takajar, mengampanyekan paslon nomor urut 2 di acara rembuk guru.
Bukan hanya level bawah, sejumlah Menteri di kabinet seperti Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan, Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Investasi Bahlil Lahadalia, Menteri Komunikasi dan Informatika Budi Arie Setiadi, dan terakhir Menteri BUMN Erick Thohir juga blak-blakan menyatakan dukungan kepada pasangan Prabowo-Gibran. Prabowo pun menjadi satu-satunya Menteri yang ikut kontestasi Pilpres yang diundang ke acara Natal Bersama 2023 yang diselenggarakan Kementerian BUMN di JCC Senayan.
Yang juga merisaukan, Menteri Perdagangan yang juga Ketua Umum PAN, Zulkifli Hasan, menyebut dalam pidatonya bahwa bansos dan BLT dari Jokowi. Jika ingin kedua bantuan itu berlanjut, maka rakyat harus memilih pasangan Prabowo-Gibran pada Pilpres 2024. Tak berhenti disitu, tampak sejumlah baliho Prabowo-Gibran terpampang di sekitar lokasi pembagian kaos dan bansos yang dibagikan langsung oleh Jokowi di Banten. Padahal sebelumnya, baliho pasangan Ganjar Pranowo–Mahfud MD dicopot saat kunjungan Presiden Joko WIdodo (Jokowi) ke Gianyar, Bali.
Begitu juga dengan kepala desa, sejumlah asosiasi perangkat desa memberi sinyal dukungan kepada pasangan capres-cawapres Prabowo Subianto–Gibran Rakabuming Raka di Arena Indonesia, Kompleks Gelora Bung Karno, Jakarta. Sebelumnya sejumlah perwakilan asosiasi ini sempat bertemu Presiden Jokowi, dua pekan sebelum agenda berlangsung.
Namun merujuk laporan investigasi Majalah Tempo sejumlah kepala desa yang tergabung dalam Perkumpulan Aparatur Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Papdesi) yang juga tergabung dalam Jaringan Relawan Desa Untuk Ganjar (Des Ganjar) di Jawa Timur dan Jawa Tengah dipanggil oleh aparat penegak hukum terkait penggunaan anggaran dana desa 2019-2022. Bahkan Tempo melaporkan, setelah pemanggilan tersebut, kepala desa yang dipanggil aparat berubah sikap jadi mendukung Prabowo-Gibran.
Masih menurut laporan Majalah Tempo, politikus Partai Golkar Jambi, Asari Syafei, yang juga Ketua relawan Go-Anies Presiden 2024 didatangi personel intelijen aparat. Aparat tersebut mempertanyakan sikap Asari yang mendukung Anies Baswedan padahal partainya telah resmi mengusung Prabowo sebagai calon Presiden. Tak luput, kelompok pengusaha juga diundang oleh petinggi aparat, diduga berkaitan dengan adanya pertemuan dan dukungan 200 pengusaha terhadap Ganjar Pranowo di Surabaya akhir tahun lalu.
Kemudian, petinggi aparat itu meminta para pengusaha yang dipanggil membuat acara yang lebih megah untuk Prabowo Subianto. Di lain sisi, Prabowo diundang dalam acara Relawan Erick Thohir alumni Amerika Serikat (ETAS) dimana Boy Thohir mengatakan bahwa acara ini dihadiri oleh para pengusaha besar yang mewakili sepertiga perekonomian Indonesia seperti Djarum Group dan Sampoerna Group yang juga siap mendukung Prabowo Subianto.
Jauh-jauh hari, pada Oktober 2023, Presiden Jokowi mengumpulkan para elite kelompok relawan di Istana Kepresidenan Jakarta. Dan Barisan Relawan Jokowi Presiden (Bara JP) berbicara dukungan untuk Prabowo-Gibran setelah bertemu Presiden Jokowi di Istana Kepresidenan Jakarta malam-malam.
Bahkan Ketua Umum Relawan Pro Jokowi (Projo), Budi Arie Setiadi, menyebut Presiden Jokowi sudah jelas mendukung calon presiden dan calon wakil presiden Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka pada Pemilu 2024. Terakhir, akun X milik Kementerian Pertahanan mem-posting tulisan dengan hashtag #PrabowoGibran2024.
Semua peristiwa ini bukan hanya merisaukan sejumlah pihak namun juga pertanda ada indikasi upaya yang dilakukan secara sistematis dan masif mengerahkan sumber daya dukungan elektoral dengan suprastruktur Politik negara.
Fenomena ini bisa disebut layaknya political state capture di mana terdapat konflik kepentingan antara wewenang sebagai pejabat publik dengan kepentingan politiknya atas kompetisi elektoral. Political state capture ini membuat kekuatan politik terkonsentrasi kepada satu pihak yang kemudian melemahkan kompetisi. Dengan bureaucratic resource dan influential power yang dimilikinya digunakan sekuat tenaga untuk mendongkrak tuah elektoral.
Bahkan ia mencoba mengkondisikan formasi kekuatan pasar (market power) yang dalam hal ini keberpihakan politik sejumlah pengusaha untuk keuntungan elektoral dirinya. Artinya ada upaya re-politisasi negara oleh sejumlah elite untuk mencapai monopoli politik elektoral kepada kandidat tertentu. Semua ini tentu tak bisa diartikan secara positivistik, karena tindakan political state capture ini dilakukan dengan shadow role, yakni menggunakan otoritas kekuasaan secara samar-samar.
Fenomena political state capture ini menyalahi rasa keadilan masyarakat, karena ada perlakuan yang berbeda dan akses istimewa terhadap kandidat tertentu. Sehingga perolehan survei dengan angka tertinggi bukanlah hal yang menakjubkan. Karena diperoleh dengan mengerahkan kekuatan non-elektoral untuk mendongkrak angka elektoral.
Artinya, ia bukan diperoleh dengan kecanggihan teknik kampanye atau mesin politik elektoral pada umumnya, namun dengan pengondisian arena pertarungan secara terselubung (shadow) melalui pengaruh kekuasaan untuk melakukan strategi dominasi sehingga berpengaruh pada modal atau sumber daya.
Mengancam Hak Asasi: Masyarakat Semakin Takut
Survei Litbang Kompas pada 15-17 Januari 2024 menemukan hampir setengah dari responden (42,3 persen) mengaku khawatir dirinya, keluarga, ataupun orang di sekitarnya mendapatkan ancaman dari pihak lain yang berbeda pilihan politik. Artinya, masyarakat benar-benar merasakan bahwa ancaman dan intimidasi itu nyata ketika berbeda pilihan politik, bukan hanya propaganda di media sosial. Hasil ini patut diperhatikan lebih dalam oleh pemerintah dan penyelenggara pemilu.
Faktanya masyarakat tak merasakan hajatan politik yang damai, demokratis, apalagi riang-gembira seperti yang kerap digembar-gemborkan selama ini. Pemilu kita dibayang-bayangi ancaman dan intimidasi. Tanpa kebebasan bersikap dan menentukan pilihan politik. Demokrasi berpotensi berubah menjadi tirani. Pemilu hanya menghasilkan ketakutan.
Dan ketika pesta demokrasi ini justru menghasilkan ketakutan, maka sejatinya kita sedang menghidupkan kembali “otak kuno” manusia. Karena ketakutan sama tuanya dengan kehidupan di Bumi. Ia adalah reaksi yang mendasar yang berkembang sepanjang sejarah biologis manusia, untuk melindungi dirinya dari ancaman yang dirasakan terhadap keberadaan mereka. Dalam pendekatan neuroscience, rasa takut diproses oleh Amigdala. Jika amigdala menilai pesan berbahaya, proses pengolahan informasi di otak besar akan diloncati, dan ia akan langsung menghubungi hipotalamus yang mengatur nafsu.
Sejarah manusia menuliskan bahwa ketakutan yang dipompa terus-menerus bukan justru melahirkan kepatuhan atau ketertundukan, melainkan justru melahirkan sikap agresif, perlawanan yang brutal, karena manusia secara naluriah akan melindungi dirinya dari ancaman. Ia akan melawan rasa takut. Dan keberanian bukanlah sesuatu yang dimiliki manusia sejak lahir. Ia adalah keterampilan yang dilatih di tengah situasi yang dirundung ketakutan.
Di sinilah pentingnya kita menjaga suasana yang demokratis, menghargai kebebasan memilih dan berekspresi, untuk menghasilkan pemilu yang damai. Karena tak ada kedamaian yang diciptakan dengan ketakutan. Dan jauh lebih penting dari itu, kita harus menjaga keutuhan bangsa diatas keberlanjutan kekuasaan.
**). Penulis adalah Ketua Umum DPP Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI)