Penulis: Moh. Samsul Arifin**
DIELU-ELUKAN jadi harapan baru yang dapat mengubah wajah Indonesia, Presiden Joko WIdodo malah mengancam sendi-sendi demokrasi –sebuah sistem Politik yang memungkinkan nyaris semua orang memimpin kabupaten/kota, provinsi dan negara.
Dan makin hari, cerita yang dilukis oleh Jokowi kian lepas dari etika, berwajah hasrat berkuasa (will to power) yang tandas, serta tanpa tedeng aling-aling. Inilah tahun terakhir kekuasaan Jokowi yang membalik sosok sang presiden menjadi “yang berpihak”, yang tidak lagi berada di atas kepentingan seluruh kelompok, golongan, partai politik dan kandidat presiden.
Saat bicara bahwa seorang presiden itu “boleh memihak, boleh berkampanye”, dia sedang bersama menteri pertahanan Prabowo Subianto yang maju sebagai capres lagi di Pemilu 2024. Latarnya lapangan udara Halim Perdanakusuma, Jakarta. Selain Prabowo di samping kanannya, ada Panglima TNI, Jenderal Agus Subiyanto di sebelah kiri presiden.
Secara semiotik, publik bisa saja memahami pernyataan presiden itu sebagai keberpihakan secara terbuka kepada Prabowo. Pengumuman bahwa di Pemilu 2024 ini presiden mungkin saja menggunakan haknya untuk berkampanye –turun ke lapangan untuk mengajak dan meyakinkan masyarakat untuk memilih pasangan nomor urut 2, Prabowo yang bukan kebetulan didampingi oleh putra sulung presiden, Gibran Rakabuming Raka.
Saya tidak mau masuk pada perdebatan pasal demi pasal dalam UU 7/2017 yang diacu atau dilupakan presiden. Sebab keberadaan Undang-undang tentang Pemilu itu problematis karena keengganan DPR periode 2019-2024 membahas atau mengubah dan menambahkan poin-poin penting yang absen di UU itu.
Alhasil UU ini lewat begitu saja (status quo) dan berlaku sebagai payung hukum dalam gelaran Pemilu dan Pilkada 2024. Padahal, bahkan di era Orde Baru yang otoriter, setiap lima tahun Undang-undang politik selalu direvisi. Tapi kali ini tidak. DPR yang dikuasai parpol pendukung pemerintah tidak mengutak-atiknya. Adakah ini kealpaan atau kesengajaan?