Mengungkap Rekayasa dan Kesesatan Terselubung dalam Putusan DKPP

Ⓒ Hak cipta foto di atas dikembalikan sesungguhnya kepada pemilik foto

Ⓒ Hak cipta foto di atas dikembalikan sesungguhnya kepada pemilik foto

Penulis: Abdul Chair Ramadhan**

RAMAI diberitakan bahwa Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) telah menjatuhkan putusan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU). Terhadap ketua, dijatuhkan sanksi peringatan keras terakhir dan masing-masing anggota dijatuhkan sanksi peringatan keras.

Putusan DKPP yang berjumlah tidak lebih dari seratus sembilan puluh lima halaman mengandung rekayasa dan kesesatan terselubung. Hal ini dapat dilihat dalam pertimbangan putusan (ratio decidendi) putusan DKPP.

DKPP dalam ratio decidendi menyatakan bahwa, “tindakan para teradu menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 dalam pencalonan peserta pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2024 adalah tindakan yang sudah sesuai dengan konstitusi” (halaman 188).

Frasa “tindakan yang sudah sesuai dengan konstitusi”, sepertinya tepat, namun kalimat tersebut tidak konsisten dan tidak tepat. Seharusnya, berbunyi “tindakan yang sudah sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023”.

Perihal kata “sesuai” tentu dalam operasionalnya bermakna “menjalankan”. Sesuai dan/atau menjalankan putusan Mahkamah Konstitusi sudah pasti sesuai dan/atau menjalankan konstitusi. Jadi, kalimat sesuai dan/atau menjalankan konstitusi masih bersifat umum, membutuhkan objek apa yang menjadi adresatnya.

Konstitusi jelas membutuhkan undang-undang sebagai landasan operasional. Tanpa ada landasan operasional, tidak mungkin norma dasar itu dapat diberlakukan secara sosiologis.

Kemudian norma dalam undang-undang juga membutuhkan aturan aplikatif-implementatif dalam peraturan perundang-undangan di bawahnya. Oleh karena itu, tidak logis DKPP menggunakan penyebutan “konstitusi”.

Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat umum (erga omnes) yang langsung dilaksanakan (self executing), dan oleh karenanya tidak memerlukan atau menunggu revisi terhadap undang-undang. Secara mutatis mutandis berlaku bagi regulasi di bawah undang-undang (in casu Pasal 169 huruf q UU 7/2017 tentang Pemilihan Umum).

Lebih lanjut, dalil DKPP yang menyatakan bahwa tindakan KPU tidak sesuai dengan tata kelola administrasi tahapan pemilu. Disebutkan juga, KPU seharusnya segera menyusun rancangan perubahan PKPU 19/2023 tentang Pencalonan Peserta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden sebagai tindak lanjut putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 (halaman 188).

Demikian itu tidak relevan, dan oleh karenanya tidak menjadi dasar penjatuhan sanksi.

Peraturan Komisi Pemilihan Umum 1/2022 tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan dan Keputusan di Lingkungan Komisi Pemilihan yang menjadi rujukan ternyata telah salah dipahami oleh DKPP.

Pasal 10 ayat (1) menyebutkan bahwa dalam keadaan tertentu, pemrakarsa dapat mengajukan Rancangan Peraturan KPU di luar Program Penyusunan Rancangan Peraturan KPU.

Kemudian, pada ayat (2) disebutkan keadaan tertentu yang menjadi dasar dapatnya diajukan Rancangan Peraturan KPU tersebut, salah satunya pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi.

Terang benderang terbaca bahwa ketentuan Pasal 10 ayat (1) menyebutkan kata “dapat”, dan demikian itu bersifat fakultatif, bukan imperatif. Di sisi lain tidak mungkin KPU mampu melakukan penyusunan rancangan perubahan atas PKPU 19/2023 sebagaimana didalilkan oleh DKPP.

Demikian singkat waktu yang tersedia. Sementara penyusunan rancangan perubahan PKPU mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, penetapan, dan pengundangan. Ke semuanya itu membutuhkan waktu yang demikian lama. Menjadi lain halnya jika waktu yang tersedia relatif panjang.

DKPP juga tidak cermat membaca ketentuan Pasal 10 ayat (2). Keadaan tertentu sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) adalah bersifat alternatif dan kumulatif.  Selengkapnya ayat (2) menyatakan:

Keadaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup:

  1. Perubahan undang-undang yang mengatur mengenai Pemilu dan/atau Pemilihan;
  2. Perubahan atau pencabutan peraturan perundang-undangan;
  3. Pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung;
  4. Hasil pemantauan dan evaluasi pelaksanaan Peraturan KPU; dan
  5. Kebutuhan pelaksanaan tugas, fungsi, dan kewenangan KPU.

Sistematika ayat (2) menunjukkan bahwa “huruf a” sampai dengan “huruf d” bersifat alternatif tergantung yang menjadi sebabnya. Namun juga harus dikumulasikan dengan “huruf e.”

Terbaca dengan jelas pada “huruf d” terdapat kata penghubung “dan” yang menunjuk pada “huruf e”, yakni “kebutuhan pelaksanaan tugas, fungsi, dan kewenangan KPU”.

Sepanjang KPU menganggap tidak ada relevansinya dengan pelaksanaan tugas, fungsi, dan kewenangan KPU, maka sesuai dengan penilaian KPU sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) menjadikan Rancangan Peraturan KPU tidak bersifat fakultatif.

Selain itu, rumusan Pasal 10 apabila dikaitkan dengan menjalankan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 tidak tepat. Selain DPR, maka KPU juga tidak ada kewajiban melakukan revisi sebagaimana dimaksudkan. Lebih dari itu, rumusan Pasal 10 tidak secara langsung mengenai rumusan Peraturan KPU.

Hal-hal yang terjadi dalam keadaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menunjuk adanya persentuhan dan dampak terhadap Peraturan KPU, sehingga ketentuan “huruf e” yakni “kebutuhan pelaksanaan tugas, fungsi, dan kewenangan KPU” menjadi kunci untuk dapat atau tidaknya dilakukan Rancangan Peraturan KPU. Lebih-lebih lagi nomenklatur yang digunakan adalah “Rancangan”, bukan “Perubahan”.

Dalil DKPP sebagaimana diutarakan di atas merupakan penyelundupan hukum. Penyelundupan itu terurai dalam tahap konstatir, kualifisir dan konstituir putusan. Meminjam istilah pidana, sepertinya hal tersebut dilakukan “dengan maksud”, “diketahui” dan “dikehendaki”.

Di sinilah letak rekayasa dan kesesatan terselubung dalam putusan DKPP. Hal ini menjadi catatan serius, ada apa gerangan dengan DKPP?

Kemudian, perlu dipahami menyangkut asas notoire feiten notorious. Asas ini mengatakan bahwa “setiap hal yang sudah menjadi pengetahuan umum” atau “sudah umum diketahui”, maka menurut hukum tidak perlu lagi dibuktikan dalam sidang pengadilan. Postulat demikian telah menjadi kelaziman dalam praktik persidangan, dan disebutkan juga dalam Pasal 184 ayat (2) KUHAP.

Dalam kaitannya dengan perkara a quo, putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang pada intinya membatalkan persyaratan batas usia minimal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 huruf q UU 7/2017 tentang Pemilihan Umum telah menjadi “pengetahuan umum”.

Oleh karena itu, tidak ada kewajiban bagi KPU untuk “men-declare” dengan melakukan perubahan terhadap pasal a quo. Terlebih lagi, kedudukan putusan Mahkamah Konstitusi adalah sama dan sederajat dengan Undang-Undang (in casu UU 7/2017 tentang Pemilihan Umum).

Menjadi aneh disebutkan bahwa KPU harus melakukan revisi terhadap pasal a quo sebagai tindak lanjut putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023. Sementara UU 7/2017 tentang Pemilihan Umum tidak dilakukan perubahan.

Bagaimana penjelasan logisnya, terhadap PKPU direvisi guna menyesuaikan dengan putusan Mahkamah Konstitusi, akan tetapi undang-undang a quo tetap alias tidak mengalami perubahan. Apakah dapat dikatakan, KPU yang tidak melakukan revisi, maka demikian itu tidak sesuai dengan konstitusi atau dengan kata lain tidak menjalankan konstitusi?

Lalu bagaimana dengan DPR? Bukankah setiap putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan suatu norma dalam undang-undang tidak memerlukan perubahan terhadap norma yang diatur dalam undang-undang yang bersangkutan.

Lalu di mana letak urgensi dan relevansi bahwa PKPU harus diubah, padahal undang-undang saja tidak diubah. Di sini juga terlihat adanya rekayasa dan kesesatan terselubung dalam pertimbangan hukum putusan DKPP. Semuanya itu dimaksudkan agar terhubung dengan amar putusan yang menjatuhkan sanksi.

Selanjutnya, menyangkut iktikad baik komisioner KPU yang selaras dengan hukum responsif dan hukum progresif. Iktikad baik (bonafides) merupakan a contrario iktikad buruk atau niat jahat (mens rea).

Iktikad baik menunjuk pada dua pengertian, yakni pertama, iktikad baik dalam pengertian arti subjektif dan kedua, dalam arti objektif. Pada yang tersebut pertama, menunjuk kejujuran dan yang tersebut belakangan menunjuk kepatutan. Marcus Tullius Cicero menyatakan bahwa iktikad baik adalah pondasi keadilan.

Perihal iktikad baik menjadi rujukan dalam hukum internasional maupun hukum positif dalam memutus perkara. Dalam kaitannya dengan penerimaan pendaftaran pencalonan Prabowo-Gibran sebagai Capres dan Cawapres, maka berdasarkan dalil iktikad baik, semestinya DKPP menolak gugatan.

Iktikad baik KPU ditunjukkan dengan diterbitkannya Surat KPU yang ditujukan kepada pimpinan partai Politik yang pada pokoknya meminta partai politik peserta Pemilu untuk memedomani putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023, tanggal 16 Oktober 2023 dalam tahapan pencalonan Presiden dan Wakil Presiden tahun 2024.

Selain itu, iktikad baik KPU juga terlihat dalam pengajuan konsultasi kepada DPR guna membahas perubahan Pasal 13 ayat (1) huruf q PKPU 19/2023, termasuk juga pengajuan kepada Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia perihal permohonan harmonisasi rancangan perubahan Peraturan Komisi Pemilihan Umum.

Dapat dikatakan, KPU telah memenuhi aspek subjektif dan objektif iktikad baik. Terhadap yang dilakukan KPU menunjukkan sikap jujur dan patut. Namun DKPP tidak mendasarkan keberadaan iktikad baik guna menghasilkan putusan yang sesuai dengan asas “kepastian hukum yang adil.”

Iktikad baik sejalan dengan hukum responsif. Dikatakan oleh Philippe Nonet dan Philip Selznick bahwa hukum yang baik seharusnya memberikan sesuatu yang lebih daripada sekadar prosedur hukum.

Selain kompeten, hukum harus juga adil. Hukum harus mampu mengenali keinginan publik dan punya komitmen terhadap tercapainya keadilan substantif. Hukum responsif berorientasi pada hasil.

Berdasarkan hukum responsif, maka berbagai langkah yang dilakukan oleh KPU terkait dengan implementasi putusan Mahkamah Konstitusi selaras dengan hukum responsif. Tindakan KPU yang didalilkan sebagai pelanggaran adalah tidak benar.

Tindakan KPU didasarkan pada asas iktikad baik. Terlebih lagi, putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan.

Dengan demikian, tidak lagi memerlukan adanya perubahan sebagaimana didalilkan DKPP. Dalam hal Undang-Undang a quo tidak dilakukan perubahan, maka tentu tidak ada urgensi dan relevansinya jika didalilkan bahwa KPU harus terlebih dahulu melakukan perubahan atas Pasal 13 ayat (1) huruf q PKPU 19/2023.

Iktikad baik sejalan dengan pula hukum progresif. Hukum progresif memedulikan faktor perilaku. Perilaku dimaksud tentunya berdasarkan kejujuran dan kepatutan. Menurut Satjipto Rahardjo, bagi ilmu hukum progresif, hukum adalah untuk manusia, bukan sebaliknya. Oleh karena ilmu hukum progresif lebih mengutamakan manusia.

Hukum progresif bertentangan diametral dengan paham bahwa hukum itu hanya urusan peraturan. Menurut hukum progresif, peranan manusia merupakan konsekuensi terhadap pengakuan bahwa sebaiknya tidak berpegangan secara mutlak kepada teks formal suatu peraturan sebagaimana dianut mazhab positivistik.

Menurut hukum progresif, proses perubahan tidak lagi berpusat pada peraturan, tetapi pada kreativitas pelaku hukum guna mengaktualisasikan hukum dalam ruang dan waktu yang tepat.

Para pelaku hukum progresif dapat melakukan perubahan dengan melakukan pemaknaan yang kreatif terhadap peraturan yang ada, tanpa harus menunggu perubahan peraturan (changing the law).

Berbagai langkah yang ditempuh oleh KPU sejalan dengan hukum progresif guna mewujudkan keadilan substansial. Kreativitas Komisioner KPU dengan menerbitkan surat kepada pimpinan partai politik, pengajuan konsultasi kepada DPR dan pengajuan kepada Dirjen Kemenkumham terkait harmonisasi merupakan aktualisasi yang tepat guna.

Gustav Radbruch mengatakan apabila terdapat pertentangan antara kepastian dan keadilan, maka mendahulukan keadilan lebih diutamakan ketimbang kepastian. KPU telah mengambil posisi yang benar dalam mengutamakan keadilan.

Demikian itu sejalan dengan cita hukum, bahwa keadilan menempati peringkat pertama setelah kepastian dan kemanfaatan.

Terakhir disampaikan, pada prinsipnya KPU wajib menerima pendaftaran pencalonan paslon Prabowo-Gibran sebagai Capres dan Cawapres. Kewajiban tersebut melebihi kewajiban yang lainnya, semisal melakukan revisi terlebih dahulu terhadap Pasal 13 ayat (1) huruf q PKPU 19/2023.

KPU didalilkan melakukan pelanggaran, namun ternyata tidak ditemukan fakta adanya iktikad tidak baik. Putusan DKPP menghindari pembuktian asas bonafides. DKPP melalui putusannya telah melakukan penyelundupan hukum dan rekayasa yang mengandung kesesatan terselubung.

Dapat disimpulkan bahwa tindakan KPU telah didasarkan atas aturan dan prosedur (rules and procedures). Hal sebaliknya, putusan DKPP dipertanyakan apakah telah sejalan dengan aturan dan prosedur? Penulis tidak perlu lagi menjelaskan yang sudah jelas.

**). Penulis adalah Ketua Umum Persatuan Doktor Pascasarjana Hukum Indonesia (PEDPHI)

Exit mobile version