“Tentu seandainya semua menjadi koalisi atau terjadi kondisi tanpa oposisi, maka sistem checks and balances bisa hilang,” kata Alvin. “Ini tidak baik bagi demokrasi di Indonesia.”
Aisah Putri Budiatri, peneliti di Pusat Riset Politik BRIN, mengatakan Indonesia tidak perlu mengulangi situasi yang sama seperti di era Orde Baru yang dipimpin presiden otoriter Soeharto.
Saat itu, kata Aisah, muncul “parlemen semu” yang membuat fungsi checks and balances tidak berjalan dengan semestinya.
“Demokrasi yang kita harapkan kan demokrasi substantif, tidak hanya prosedural. Jadi, lupakanlah kejadian-kejadian Orde Baru dan jangan ditiru pembentukan parlemen semu,” kata Aisah.
“Salah satu [ciri] pembentukan parlemen semu itu ya kalau koalisinya terlalu besar dan hanya menyisakan sedikit oposisi, karena kelompok oposisi itu nggak akan terlalu efektif juga pada akhirnya untuk melakukan checks and balances itu.”
Saat kekuatan oposisi di parlemen lemah, kata Ujang, harapan untuk mengawal demokrasi jatuh pada gerakan politik ekstra-parlementer yang dimotori masyarakat sipil, termasuk akademisi, para ahli, mahasiswa, dan buruh.
“Biasanya, untuk menjaga dan mengawal proses demokrasi ini, kalau kekuatan oposisinya lemah di parlemen, itu diambil alih oleh kekuatan ekstra-parlementer,” kata Ujang.
“Untuk demokrasi, ya ini harus kita kawal