Filosofi sistem hukum kapitalisme ini bersumber pada teori “iltizam”. Teori yang menjadi pijakan sistem hukum Prancis, Jerman, Italia, dan hampir semua negara Eropa. Dari teori ini, kemudian lahir hukum acara pidana, dan hukum acara perdata, dan hukum-hukum yang lain.
Teori “iltizam” adalah teori tentangketerikatan pada hukum, karena kesepakatan. Terlepas hukum itu benar atau tidak. Begitu juga tidak peduli, hakim itu adil atau zalim. Teori kesepakatan, sering diistilahkan dengan teori konsensus, yang kemudian berkembang dan dikenal dengan istilah konsensus nasional.
Ini berbeda dengan Islam. Islam tidak mengenal teori iltizam. Karena hukum Islam bersumber pada wahyu. Bukan kesepakatan manusia. Hukum Islam yang diterapkan di tengah masyarakat juga satu. Keputusan pengadilan di dalam Islam juga bersifat mengikat, tidak bisa dibatalkan oleh siapapun. Karena itu, Islam tidak mengenal peradilan banding, PK, dan sebagainya.
Jika Islam mengenal tiga bentuk peradilan, sesungguhnya hanya pembagian tugas dan fungsi. Karena hukum yang diterapkan hanya satu. Pertama Qadhi Khusumat yang menyelesaikan sengketa di tengah masyarakat, baik yang berkaitan dengan muamalah maupun ‘uqûbât (sanksi). Sengketa ini bisa melibatkan hak yang berkaitan dengan mu’amalah, seperti hutang-piutang, jual-beli, juga ‘uqûbât (sanksi), seperti sanksi bagi pezina, orang yang murtad, penganut aliran sesat, penyebar ide-ide sesat dan menyesatkan, dan sebagainya.
Kedua Qadhi Muhtasib, untuk menyelesaikan pelanggaran yang bisa membahayakan hak masyarakat (jamaah). Qadhi Muhtasib ini bertugas untuk mengkaji semua masalah yang terkait dengan hak umum, tanpa adanya penuntut. Kecuali, kasus hudûd (seperti perzinaan, menuduh berzina, mencuri, minum khamer, sodomi) dan jinâyât (seperti pembunuhan, melukai anggota badan orang).
Ketiga Qadhi Madzalim untuk menghilangkan kezaliman negara terhadap orang yang berada di bawah wilayah kekuasaannya, baik rakyat negara khilafah maupun bukan. Kezaliman tersebut dilakukan sendiri oleh khalifah, pejabat negara maupun pegawai yang lain.
Dan ketiga Qadhi tadi dikepalai dan di atur oleh Qadhi Qudhat. Dengan demikian tak ada pengaturan yang mengikuti tatacara peraturan selain Islam. Negara membolehkan non muslim melakukan tatacara ibadah mereka, dan negara tidak turut campur. Cakupan jaminan negara hanyalah di ranah sosial, non muslim wajib tunduk dan patuh. Sedangkan akidah dan ibadah diserahkan kepada pemuka agama masing-masing dan bukan menjadi kosentrasi negara.
Jika pun hari ini pemerintah terlihat serius sebenarnya karena tak tahu harus berbuat apalagi. Mereka seolah kerbau dicocok hidungnya mengikuti arahan musuh untuk terus mengibarkan kebencian kepada sesama saudara seakidah bahkan mencapnya sebagai terorisme jika bertentangan dengan kebijakan negara. Dan membuat program yang samasekali tak menyentuh persoalan kaum muslim yang sebenarnya. Yaitu tidak bisa beribadah secara total karena sekularisme.
Inilah pula rangkaian dari program Islamopobia yang semakin menjauhkan kaum muslim dari agamanya sendiri. Bukankah fokus pemerintah seharusnya kepada penerapan syariat sebagai satu-satunya hukum yang mengatur kehidupan bernegara? Sebab ketika bukan syariat yang diterapkan, bukan hanya pernikahan atau pencatatan pernikahan yang bermasalah.
Namun juga kelemahan keluarga membentuk generasi idiologis, kesejahteraan masyarakat, maraknya zina, dan lain sebagainya. Dengan syariat, membantu rakyat non muslim jelas lebih hakiki, karena mereka tak hanya dibiarkan berakidah dan beribadah sesuai keyakinan mereka namun harta, jiwa, bahkan nyawa ada dalam jaminan negara. Wallahualam bissawab.