TAK hanya masalah sertifikasi halal yang diributkan di negeri dengan mayoritas muslim ini. Kali ini perkara toleransi yang lagi-lagi Islam yang harus “ mengalah”. Sebab seringkali toleransi yang dimaksud justru tidak sesuai syariat.
Akan ada transformasi pelayanan Kantor Urusan Agama (KUA), hal ini disampaikan oleh Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas yaitu tak hanya melayani umat Islam saja, tetapi juga akan dijadikan tempat pencatatan pernikahan bagi semua agama.
Menteri Agama (Menag) Yaqut CQ menyebutkan kebijakan ini sebagai kesepakatan awal karena memang di tahun 2022 Yagur telah menjadikan revitalisasi Kantor Urusan Agama (KUA) sebagai Salah satu program prioritas. Menag ingin KUA tidak hanya mengurus pernikahan atau menjadi kantor urusan asmara (wartabanjar.com, 06/03/2022).
Tahun ini KUA bisa digunakan untuk tempat pernikahan semua agama. Pernyataan Menag Yaqut tersebut disampaikan dalam Rapat Kerja Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat (Bimas) Islam bertajuk Transformasi Layanan dan Bimbingan Keagamaan Islam sebagai Fondasi Pembangunan Nasional yang Berkelanjutan.
Menurut Yaqut, pengembangkan fungsi KUA sebagai tempat pencatatan pernikahan agama selain Islam dengan tujuan data-data pernikahan dan perceraian bisa lebih terintegrasi dengan baik. Terutama untuk non muslim yang selama ini mencatatkan pernikahannya di pencatatan sipil padahal semestinya menjadi urusan kementerian agama.
Aula-aula yang ada di KUA diharapkan Yaqut juga bisa menjadi tempat ibadah sementara bagi umat non-Muslim yang masih kesulitan mendirikan rumah ibadah sendiri karena faktor ekonomi, sosial, dan lain-lain.
Menanggapi wacana ini, Direktur Jenderal (Dirjen) Bimas Islam Kamaruddin Amin menegaskan bahwa pihaknya di tahun 2024, memang akan meluncurkan KUA sebagai pusat layanan keagamaan lintas agama.
Kemudian Komisi VIII DPR, yang membidangi agama, sosial, kebencanaan, pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, mendukung rencana itu asalkan dengan kesiapan regulasi, hal ini disampaikan oleh Wakil Ketua Komisi VIII DPR Fraksi Golkar Ace Hasan Syadzily (detikNews.com, 26/2/2024).
Anggota Komisi VIII DPR Fraksi PKB Luqman Hakim meskipun mengatakan kebijakan ini agak terlambat, namun memastikan pihaknya mendukung rencana tersebut. Luqman menyebut manfaat rencana itu dapat menghilangkan potensi pemalsuan data pernikahan yang selama ini terjadi selain itu juga memang sebaiknya KUA melayani kebutuhan seluruh warga dari beragam agama.
Menilik Urgenitas Revitalisasi KUA
Ada saja program yang digagas Menteri Yaqut. Apakah memang sudah segenting itu bagi non muslim untuk segera mendapatkan bantuan dari pemerintah? Ataukah persoalan kaum Muslim di negeri ini sebatas pengelolaan Kantor Urusan Agama?
Selalu ada jalan menuju sebuah proyek intoleran dan moderasi beragama. Dana sudah tersedia sehingga butuh direalisasikan ke dalam sebuah proyek agar nampak “ bekerja”. Jika terorisme yang dimunculkan tak menimbulkan riak berarti bagi masyarakat, maka kali ini wacana lama revitalisasi KUA digulirkan kembali.
Sejatinya, adanya catatan sipil, pengadilan agama dan KUA adalah akibat mundurnya kaum muslim yang dimulai akhir abad 15-17 Masehi, saat mereka menerima kodifikasi undang-undang asing masuk ke dalam undang-undang Islam yang selama ini sudah berjalan. Dimana sebelumnya kaum Muslim hanya mengenal satu pengadilan saja. Hingga kini pertahanan kaum Muslim semakin melemah karena sudah ditutupnya pula pintu ijtihad.
Pada masa Islam memimpin dunia, urusan agama lain tak pernah menjadi persoalan. Sebab kewarganegaraan hanya ada dua, muslim dan non muslim yang meliputi Nasrani, yahudi, atheis dan lainnya. Dan semua berjalan di bawah pemerintahan Islam yang menerapkan syariat. Pengaturan ini berjalan sepanjang 1300 tahun tanpa konflik yang berarti.
Namun inilah wajah Kapitalisme sekuler, agama dipisahkan dari kehidupan bermasyarakat hingga bernegara. Apa -apa yang sudah jelas diharamkan dalam Islam masih saja dicari celah yang dapat memberikan mereka manfaat materi. Bahkan lebih hina lagi mereka rela mengusung program kafir dan memusuhi saudara seakidah.
Islam Adalah Aturan yang Sempurna
Hukum dan keadilan pun dibuat atas dasar kesepakatan, sebab hukum Allah dipisahkan sehingga yang berlaku adalah hukum manusia. Dan banyaknya peradilan di dalam sistem kapitalisme, tidak lepas dari filosofi hukum yang dianutnya.
Filosofi sistem hukum kapitalisme ini bersumber pada teori “iltizam”. Teori yang menjadi pijakan sistem hukum Prancis, Jerman, Italia, dan hampir semua negara Eropa. Dari teori ini, kemudian lahir hukum acara pidana, dan hukum acara perdata, dan hukum-hukum yang lain.
Teori “iltizam” adalah teori tentangketerikatan pada hukum, karena kesepakatan. Terlepas hukum itu benar atau tidak. Begitu juga tidak peduli, hakim itu adil atau zalim. Teori kesepakatan, sering diistilahkan dengan teori konsensus, yang kemudian berkembang dan dikenal dengan istilah konsensus nasional.
Ini berbeda dengan Islam. Islam tidak mengenal teori iltizam. Karena hukum Islam bersumber pada wahyu. Bukan kesepakatan manusia. Hukum Islam yang diterapkan di tengah masyarakat juga satu. Keputusan pengadilan di dalam Islam juga bersifat mengikat, tidak bisa dibatalkan oleh siapapun. Karena itu, Islam tidak mengenal peradilan banding, PK, dan sebagainya.
Jika Islam mengenal tiga bentuk peradilan, sesungguhnya hanya pembagian tugas dan fungsi. Karena hukum yang diterapkan hanya satu. Pertama Qadhi Khusumat yang menyelesaikan sengketa di tengah masyarakat, baik yang berkaitan dengan muamalah maupun ‘uqûbât (sanksi). Sengketa ini bisa melibatkan hak yang berkaitan dengan mu’amalah, seperti hutang-piutang, jual-beli, juga ‘uqûbât (sanksi), seperti sanksi bagi pezina, orang yang murtad, penganut aliran sesat, penyebar ide-ide sesat dan menyesatkan, dan sebagainya.
Kedua Qadhi Muhtasib, untuk menyelesaikan pelanggaran yang bisa membahayakan hak masyarakat (jamaah). Qadhi Muhtasib ini bertugas untuk mengkaji semua masalah yang terkait dengan hak umum, tanpa adanya penuntut. Kecuali, kasus hudûd (seperti perzinaan, menuduh berzina, mencuri, minum khamer, sodomi) dan jinâyât (seperti pembunuhan, melukai anggota badan orang).
Ketiga Qadhi Madzalim untuk menghilangkan kezaliman negara terhadap orang yang berada di bawah wilayah kekuasaannya, baik rakyat negara khilafah maupun bukan. Kezaliman tersebut dilakukan sendiri oleh khalifah, pejabat negara maupun pegawai yang lain.
Dan ketiga Qadhi tadi dikepalai dan di atur oleh Qadhi Qudhat. Dengan demikian tak ada pengaturan yang mengikuti tatacara peraturan selain Islam. Negara membolehkan non muslim melakukan tatacara ibadah mereka, dan negara tidak turut campur. Cakupan jaminan negara hanyalah di ranah sosial, non muslim wajib tunduk dan patuh. Sedangkan akidah dan ibadah diserahkan kepada pemuka agama masing-masing dan bukan menjadi kosentrasi negara.
Jika pun hari ini pemerintah terlihat serius sebenarnya karena tak tahu harus berbuat apalagi. Mereka seolah kerbau dicocok hidungnya mengikuti arahan musuh untuk terus mengibarkan kebencian kepada sesama saudara seakidah bahkan mencapnya sebagai terorisme jika bertentangan dengan kebijakan negara. Dan membuat program yang samasekali tak menyentuh persoalan kaum muslim yang sebenarnya. Yaitu tidak bisa beribadah secara total karena sekularisme.
Inilah pula rangkaian dari program Islamopobia yang semakin menjauhkan kaum muslim dari agamanya sendiri. Bukankah fokus pemerintah seharusnya kepada penerapan syariat sebagai satu-satunya hukum yang mengatur kehidupan bernegara? Sebab ketika bukan syariat yang diterapkan, bukan hanya pernikahan atau pencatatan pernikahan yang bermasalah.
Namun juga kelemahan keluarga membentuk generasi idiologis, kesejahteraan masyarakat, maraknya zina, dan lain sebagainya. Dengan syariat, membantu rakyat non muslim jelas lebih hakiki, karena mereka tak hanya dibiarkan berakidah dan beribadah sesuai keyakinan mereka namun harta, jiwa, bahkan nyawa ada dalam jaminan negara. Wallahualam bissawab.