Indeks Demokrasi Indonesia Merosot, Faisal Basri Sebut Lebih Rendah dari Papua Nugini

Ⓒ Hak cipta foto di atas dikembalikan sesungguhnya kepada pemilik foto

Ⓒ Hak cipta foto di atas dikembalikan sesungguhnya kepada pemilik foto

BANDA ACEH – Ekonom Senior Universitas Indonesia Faisal Basri menyoroti merosotnya indeks di demokrasi Indonesia. Berdasarkan data V-Dem Democracy Index 2024, indeks demokrasi Indonesia turun signifikan, dari posisi 79 ke 87 atau berada di peringkat yang lebih rendah dari Papua Nugini dan Timor Leste. 

Faisal Basri mengungkapkan bahwa indeks demokrasi Indonesia terjung bebas. Hal tersebut disampaikannya dalam acara “Temu Ilmiah Guru Besar/Akademisi Se-Jabodetabek” di Universitas Indonesia (UI), di Salemba, Jakarta, Kamis (14/3).

 

“Ini democracy index kita terjun bebas. V-Dem Democracy Index 2024 melaporkan bahwa ranking Indonesia terjun bebas dari 79 ke 87. Skornya turun dari 0,43 menjadi 0,36 mendekati 0. Lebih rendah dari Papua Nugini dan Timor Leste. Terbaru. Kita terbaik di urutan 63, sekarang 87, skornya terbaik 0,53, dibikin sama Jokowi tinggal 0,36,” ujar Faisal.

 

Faisal menyampaikan, kepemimpinan Presiden Joko WIdodo (Jokowi) dimulai saat Indonesia menjadi negara dengan demokrasi yang tingkatnya mencapai level tertinggi. Akan tetapi, menurut Faisal, hal ini berubah sejak Jokowi menjadi Presiden Republik Indonesia. 

 

Ia juga menyinggung majunya Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden di Pilpres 2024. Menurutnya, keunggulan Gibran saat ini tak terlepas dari campur tangan Jokowi yang dinilai oleh Faisal telah merusak demokrasi di Indonesia. 

 

“Sekarang kita mingkem, malu membicarakan demokrasi karena sudah dirampok oleh Jokowi. Karena dia tahu demokrasi yang genuine tidak mungkin menghadirkan dinasti Politik. Dia harus rusak dulu demokrasi, baru Gibran bisa jadi wakil presiden,” tegas Faisal. 

 

“Apa yang dia lakukan? Dia perlemah institusi-institusi demokrasi, tapi dia enggak punya modal. Apa yang dia lakukan? Dia rangkul para konglomerat, dia ajak dalam kekuasaan, penguasa dan pengusaha berada dalam satu badan, satu badan. Pak Harto enggak (begitu),” tuturnya. 

 

Dalam konteks yang disebutkan, Faisal menyiratkan bahwa dukungan dari para pengusaha dapat menjadi faktor penting dalam mendukung kandidat politik tertentu, dalam hal ini, Prabowo Subianto.

 

“Demokrasi mendekati 0, kekayaan alam dirampok. Timah kita habis. Batu bara. Nikel dijual ke China, luar biasa dahsyatnya. Pelanggaran terhadap Undang-Undang Dasar 1945, bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai oleh negara bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Bukan kemakmuran Boy Thohir, bukan kemakmuran Luhut Pandjaitan, bukan kemakmuran Airlangga Hartarto, bukan elite-elite,” papar Faisal. 

 

Faisal pun menegaskan, kondisi ini tidak boleh dibiarkan terjadi terus-menerus. Dia mendorong anak muda untuk menghentikan aksi para pengusaha dan penguasa tersebut. 

 

“Penting untuk menilai kepentingan dan motivasi di balik dukungan dari para pengusaha terhadap seorang kandidat politik. Apakah dukungan tersebut didasarkan pada kebijakan yang diusulkan, kepentingan bisnis, atau hubungan pribadi,” pungkasnya. 

Exit mobile version