Ekonom dari Universitas Indonesia yang juga merupakan Ekonom Samuel Sekuritas Indonesia Fithra Faisal Hastiadi menjelaskan, tekanan daya beli yang dialami kelas menengah itu disebabkan dua hal. Pertama ialah pendapatannya yang terus menerus tergerus inflasi dan pekerjaan yang tidak berkualitas, dan kedua ialah kebijakan pemerintah yang tak fokus memperbaiki kondisi ekonomi mereka.
“Jadi bisa jadi dari gaji yang enggak ngejar inflasi, bisa jadi dari pekerjaan yang enggak layak, karena mereka kelompok yang terlempar dari formal ke informal sectors, kemudian ada kebijakan-kebijakan yang memang jangankan memihak mereka bahkan cenderung destruktif terhadap middle class,” ucap Fithra kepada CNBC Indonesia, Selasa (26/3/2024).
Dari sisi gaji yang tergerus inflasi atau kenaikan harga-harga barang, khususnya harga pangan, sebetulnya diakui oleh Bank Indonesia. Inflasi harga pangan bergejolak atau volitile food per Februari 2024 mencapai 8,47% secara tahunan atau year on year (yoy) lebih tinggi dari kenaikan UMR rata-rata 4,9% pada 2020-2024.
“Makanya top of mind dari middle class itu selalu bicara job and prices, karena kalau dari sisi harga misalnya memang kalau inflasi umum kita lihat secara rata-rata selama dua sampai tiga tahun terakhir memang rendah antara 2-3%, cuma masalahnya income mereka enggak ngejar,” ucap Fithra.
Dari sisi kualitas pekerjaan, yang Fithra sebut rendah atau tergolong informal tercermin dari data Badan Pusat Statistik (BPS). Data terbaru pada Agustus 2023 menunjukkan bahwa porsi tenaga kerja informal di Indonesia mencapai 59,11%, naik dari posisi pada Agustus 2019 sebesar 55,88%. Sedangkan porsi pekerja formal hanya 40,89% atau turun dari 44,12%.
“Kalau kita lihat di angka pengangguran baik-baik saja. tapi masalahnya banyak yang terlempar ke informal sectors. Artinya ketika terlempar tingkat gaji tidak setinggi sebelumnya makanya mereka masih bekerja tapi income nya enggak mampu ngejar kenaikan harga yang sebetulnya enggak tinggi-tinggu banget. Jadi jobs and prices masih menjadi acuan,” tuturnya.
Adapun dari sisi kebijakan pemerintah yang tak membantu kondisi ekonomi kelas menengah, menurut Fithra tercemin dari gelontoran kebijakan perlindungan sosial pemerintah yang mencapai Rp 489 triliun pada 2024 namum hanya untuk mengurus kelas menengah ke bawah. Insentif fiskal yang digelontorkan hanya dinikmati kalangan kelas menengah ke atas.
“Jadi apa nih kalau kita tanya. middle class ini mau dibantu gimana sih, mau dikasih raskin enggak bisa karena dia bukan orang miskin, mau dikasih fasilitasi pajak ya enggak signifkan karena mereka bukan fokusnya di situ. Apa yang mereka butuhkan, mereka butuhkan jobs, pekerjaan,” turue Fithra.
Ekonom Center of Reforms on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menyatakan hal serupa. Namun, ia lebih memfokuskan penyebab dari turunnya pendapat kelas menengah saat ini dipicu oleh lingkungan pekerjaan yang tengah tertekan dari kondisi ketidakpastian ekonomi global, seperti perusahaan tambang.
Ia berujar, pada tahun lalu indikasi pelemahan konsumsi sebenarnya sudah terlihat, terutama pada upah riil. pertumbuhan upah riil sektor pertambangan sudah terkontraksi 2% dibandingkan tahun sebelumnya. Sektor pertambangan sendiri menyerap 1,2% dari 52,69 juta pekerja dengan status buruh/karyawan/pegawai.
“Meski persentase pekerja sektor pertambangan relatif sedikit, penurunan upah pada sektor ini perlu diperhatikan, mengingat posisinya sebagai tiga besar sektor dengan gaji tertinggi di Indonesia,” tegas Yusuf.
Selaras dengan kondisi sektor pertambangan, sektor Jasa Keuangan dan Asuransi serta sektor Informasi dan Komunikasi juga mengalami penurunan rata-rata upah riil masing-masing sebesar 4% dan 8%. Terkontraksinya pertumbuhan upah ketiga sektor ini perlu diwaspadai mengingat kelompok menengah atas adalah penggerak utama konsumsi swasta, dimana 60% penduduk berpengeluaran sedang dan tinggi berkontribusi terhadap 81,94% konsumsi masyarakat.
Sementara pada sektor yang banyak menyerap pekerja, pertumbuhan rata-rata upah riil tahunan juga terlihat melemah atau tumbuh tipis. Pada sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan serta sektor industri pengolahan, upah mengalami pertumbuhan berturut-turut 2,2% dan 1,3%. Sementara pada perdagangan besar dan eceran, reparasi mobil dan sepeda motor upah menurun secara tahunan sebesar 2%.