Pria yang tergeletak di lantai dengan celana penuh kotoran dari pantat, semakin panik mendengar intimidasi tentara itu. Terutama anak dan istri diancam akan dihabisi. “Najis itu sudah keluar penuh celana karena saya tak bisa menahan kesakitan,” ucap dia.
Saat melihat Miftahudin masih membongkar pistol, Sukandi berdiri dan lari turun dari lantai dua. Namun, dari dalam dia mendengar bunyi tembakan. Bunyi tembakan itu mengagetkan warga lain. Satu per satu mulai berdatangan. “Kalau di Desa Panambuang tanya soal ini, pasti semua warga cerita,” ucap dia.
Bunyi senapan membuatnya terkejut, lalu tubuhnya roboh ke tanah. Sukandi berdiri, ia mau berlari sekali lagi. Namun, seorang perempuan berteriak. “Nyong, jangan lari lagi,” ucapan itu masih sempat didengar Sukandi.
Dari markas berdinding papan ini, Miftahudin muncul dengan menenteng pistol. “Jangan lari! Lari saya tembak kapalamu,” ucap Sukandi mengingat teriakan dan gelogok Miftahudin.
Dia pun kembali ditangkap. Diseret naik ke lantai dua, tempat awal dia dianiaya. Penganiayaan kepada Sukandi kembali berlanjut. “Saat itu saya tak tahu berapa kali saya dipukul. Karena berulang-kali,” ujarnya.
Idham muncul. Kali ini membawa selang plastik dan mencambukkannya ke punggung Sukandi sekitar lima kali. Sukandi menjerit. Idham menyerahkan selang itu ke anggota lainnya, Aris. Atas perintah Miftahudin, Aris menghajar punggung lelaki itu berkali-kali. “Punggung saya sampai hancur karena Aris yang cambuk.”
Saat ancaman membunuh diulang Miftahudin, Sukandi langsung pasrah. Dia memohon supaya tiga tentara itu berhenti melukai tubuhnya. “Kaka, saya minta tolong jangan pukul saya. Jangan bunuh saya. Anak-anak saya masih kecil,” tutur Sukandi, ayah beranak empat ini. Dua anak lainnya, Putri (18) dan Fandri (15) tinggal di rumah kakek-nenek mereka.
Prajurit TNI AL Minta Sukandi Buat Surat Pernyataan
Sukandi yang sengsara membuat surat berisi pernyataan tidak lagi melakukan peliputan berita tentang AL dan Polairud Maluku Utara dan menyatakan berhenti sebagai jurnalis. Surat itu atas paksaan tentara ini.
“’Mulai detik ini, saya tidak mau melihat muka kamu meliput berita di sepanjang pantai Desa Labua sampai Panambuang’,” tutur Miftahudin dan Idham, diulangi Sukandi.
Tak lama, Idham menelepon seorang wartawan perempuan. Wartawan ini membawa tiga jurnalis lain mendatangi tempat penganiayaan Sukandi. Mereka disuruh memfoto surat pernyataan Sukandi berhenti dari jurnalis. Sementara Idham memegang surat pernyataan tidak melakukan peliputan.
Sekitar pukul 17.30 WIT, seseorang bernama Andre muncul dengan satu personel Polairud menggunakan mobil pribadi. Keduanya menjemput Sukandi dengan tubuh penuh luka, lebam, dan remuk di Pos AL. Sukandi langsung disuruh masuk mobil. Dia pun dijanjikan akan diberikan pekerjaan oleh Idham.
Idham pun menyodorkan uang Rp 100 ribu. Katanya ongkos beli obat. “Saya tak mau ambil. Karena lihat wajahnya seram, saya takut kalau tidak terima saya diturunkan dari mobil. Makanya saya ambil,” ucap dia, mengingat ketakutan yang buncah di kepalanya.
Mobil yang ia tumpangi itu langsung melaju, menjauh, dari kejahatan yang menerkamnya di markas Miftahudin.
Sekitar dua ratus meter dari rumah di Desa Babang, Andre menurunkan Sukandi. Dia melangkah dengan tubuh kesakitan. Sampai di rumah seluas 5×6 meter dia terduduk, lemas. Asmiati, Dilan, dan Dinda mengerubungnya. Mereka terkejut melihat tubuh suami atau bapak mereka luka dan rusak.
“Bapak, itu luka semua. Kenapa itu?” dua anak itu bertanya. Air mata Asmiati mengucur.
“Nah, itu tadi waktu datang panggil saya sudah bilang, jangan pergi,” ucap Asmiati dengan air mata. Suaminya terdiam. “Melihat anak dan istri, saya langsung nangis,” tutur Sukandi dengan suara bergetar di seberang telepon.
Kini perih, di tubuhnya belum hilang. Ia memperlihatkan video berisi bekas luka di bagian punggung dan lengan dengan bekas goresan sekitar sepuluh sentimeter. Dia mengatakan luka itu mulai membaik. “Punggung, bagian dada, dan tangan bagian kiri masih sakit. Sakit sekali,” ucap dia.