Cerita Jurnalis di Halmahera yang Dianiaya Tiga Prajurit TNI AL: Jangan Bunuh, Anak Saya Masih Kecil

Ⓒ Hak cipta foto di atas dikembalikan sesungguhnya kepada pemilik foto

Ⓒ Hak cipta foto di atas dikembalikan sesungguhnya kepada pemilik foto

BANDA ACEH – Sukandi Ali dan istrinya, Asmiati Hasan, tengah berbaring di kamar. Di antara pasangan ini ada dua anaknya masih tertidur pulas. Jurnalis media Sidikkasus.co.id ini tersentak bangun dari ranjang saat ketukan pintu rumahnya berbunyi beberapa kali pada Kamis siang, 28 Maret 2024..Sukandi bangkit. Dia melangkah ke pintu. Saat daun pintu dibuka tampak dua anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) Angkatan Laut berseragam lengkap berdiri di luar.

Dua tentara ini, Komandan Pos Angkatan Laut Letnan Dua Miftahudin dan anak buahnya, Idham. Keduanya diantar seorang bintara pembina desa (Babinsa) yang mengetahui rumah Sukandi di Desa Babang, Kecamatan Bacan Timur, Halmahera Selatan, Maluku Utara.

Siang terik itu pula, Miftahudin dan Idham mendesak Sukandi berangkat ke Pos Angkatan Laut di Pelabuhan Perikanan Panambuang, Pulau Bacan, Halmahera Selatan. Keduanya datang menggunakan mobil dinas AL.

“Ikut dulu ke Pos Angkatan Laut di Desa Panambuang,” kata Miftahudin, seperti ditirukan Sukandi kepada Tempo, Jumat, 15 April 2024. Dua tentara ini tak bilang alasan Sukandi diajak ke pos.

Dada Asmiati, 23 tahun, berdebar menyaksikan suaminya dijemput dua tentara. Prajurit ini tak meminta izin ke Asmiati bahwa mereka membawa suaminya.

“Tidak usah pergi,” kata Asmiati kepada Sukandi saat bersiap berangkat. “Saya berangkat saja. Tidak apa-apa,” jawab Sukandi kepada istrinya. Jam dinding menunjuk angka 12.30 WIT.

Sukandi meminta izin kepada dua prajurit yang menjemputnya agar dia naik sepeda motor. Dua kali ia memohon, dua kali pula ditolak. “Tidak usah. Nanti pakai mobil dengan kami sama-sama,” jawab seorang tentara AL itu.

Sukandi pun masuk ke mobil. Ketiganya melaju dan menghilang. Dua anaknya, Dilan, 6 tahun, dan Dinda, 3 tahun, masih tertidur pulas di kamar yang baru ditinggal Sukandi.

Penyiksaan Dimulai 

“Braak!” Tendangan tiba-tiba mengenai pinggang kanan Sukandi. Dia terkejut, tapi tubuhnya sudah tersungkur di lantai. Itulah aksi kekerasan pertama yang dilakukan Miftahudin saat membawa Sukandi ke lantai dua Pos AL itu. Tinju dan tendangan silih berganti mengenai tubuhnya. Sepatu lars di kaki Miftahudin dan Idham dipakai menginjak pria itu tanpa ampun.

“Tanpa omong, saya langsung ditendang, diinjak, ditonjok,” tutur Sukandi, mengenang aksi kekerasan kepada dirinya. Saat tubuhnya terguling di lantai, ia kehabisan tenaga untuk bisa berdiri. “Saya sudah tak bisa lihat lagi. Saya dipukul terus-menerus. Saya minta ampun.”

Brutalisme itu bermula dari berita TNI AL menangkap kapal pengangkut bahan bakar minyak di laut Halmahera Timur pada Rabu malam, 20 Maret 2024 yang ditulis Sukandi.

Kapal itu berisi BBM jenis Dexlite 20.400 liter dan 395.000 liter minyak tanah. “Alasan penahanan itu karena ada dokumen dan perlengkapan berlayar tidak lengkap,” kata Sukandi menceritakan informasi yang dia terima. 

Kapal pengangkut Dexlite dan minyak tanah ini bernama SPOB Rimas. Kapal itu ditahan oleh TNI AL yang berpatroli dengan KRI Madidihang-855 milik Kaormada III TNI AL—bermarkas di Sorong, Papua Barat.

Kapal pengangkut minyak Polairud Polda Maluku Utara ini diseret ke Pelabuhan Perikanan Panambuang. Setelah Sukandi menerima informasi dengan sejumlah dokumen, dia langsung mencari tahu kabar itu. 

Bahkan dia dan dua rekan wartawan lain, Abdillah dan Taslim menuju Ternate untuk mengkonfirmasi adanya penangkapan Kapal Rimas.

Menurut dia, semua sumber dari Polairud, Pertamina, Syahbandar, Angkatan Laut, hingga Mualim I Kapal Rimas, sudah dimintai konfirmasi. Termasuk Miftahudin yang belakangan memukul, menendang, dan mengancam membunuh Sukandi.

Sukandi Diancam Dibunuh

Saat Sukandi meminta ampun, dua tentara ini menghentikan kekerasannya. Namun, Miftahudin, tutur dia, malah mencabut pistol yang tersimpan di bagian belakang badannya.

Sukandi bercerita, pistol itu sudah dibawa Miftahudin saat menjemput dirinya di rumah. “Sebelum cabut pistol, dia bilang pokoknya hari ini saya bunuh kamu,” ujar wartawan kelahiran Juni 1988 itu mengingat ancaman prajurit TNI AL tersebut.

Pistol itu dikokang empat kali. Setelah itu Miftahudin meletakkan senapan api di atas meja. Dia membongkar-bongkar pistol itu sambil berbicara kepada Sukandi. “Apa pun itu, hari ini saya bunuh kamu. Habis bunuh kamu, saya bunuh anak-istri kamu di rumah,” ujar Miftahudin mengancam, ditirukan Sukandi.

Pria yang tergeletak di lantai dengan celana penuh kotoran dari pantat, semakin panik mendengar intimidasi tentara itu. Terutama anak dan istri diancam akan dihabisi. “Najis itu sudah keluar penuh celana karena saya tak bisa menahan kesakitan,” ucap dia.

Saat melihat Miftahudin masih membongkar pistol, Sukandi berdiri dan lari turun dari lantai dua. Namun, dari dalam dia mendengar bunyi tembakan. Bunyi tembakan itu mengagetkan warga lain. Satu per satu mulai berdatangan. “Kalau di Desa Panambuang tanya soal ini, pasti semua warga cerita,” ucap dia.

Bunyi senapan membuatnya terkejut, lalu tubuhnya roboh ke tanah. Sukandi berdiri, ia mau berlari sekali lagi. Namun, seorang perempuan berteriak. “Nyong, jangan lari lagi,” ucapan itu masih sempat didengar Sukandi.

Dari markas berdinding papan ini, Miftahudin muncul dengan menenteng pistol. “Jangan lari! Lari saya tembak kapalamu,” ucap Sukandi mengingat teriakan dan gelogok Miftahudin.

Dia pun kembali ditangkap. Diseret naik ke lantai dua, tempat awal dia dianiaya. Penganiayaan kepada Sukandi kembali berlanjut. “Saat itu saya tak tahu berapa kali saya dipukul. Karena berulang-kali,” ujarnya.

Idham muncul. Kali ini membawa selang plastik dan mencambukkannya ke punggung Sukandi sekitar lima kali. Sukandi menjerit. Idham menyerahkan selang itu ke anggota lainnya, Aris. Atas perintah Miftahudin, Aris menghajar punggung lelaki itu berkali-kali. “Punggung saya sampai hancur karena Aris yang cambuk.”

Saat ancaman membunuh diulang Miftahudin, Sukandi langsung pasrah. Dia memohon supaya tiga tentara itu berhenti melukai tubuhnya. “Kaka, saya minta tolong jangan pukul saya. Jangan bunuh saya. Anak-anak saya masih kecil,” tutur Sukandi, ayah beranak empat ini. Dua anak lainnya, Putri (18) dan Fandri (15) tinggal di rumah kakek-nenek mereka.

Prajurit TNI AL Minta Sukandi Buat Surat Pernyataan

Sukandi yang sengsara membuat surat berisi pernyataan tidak lagi melakukan peliputan berita tentang AL dan Polairud Maluku Utara dan menyatakan berhenti sebagai jurnalis. Surat itu atas paksaan tentara ini.

“’Mulai detik ini, saya tidak mau melihat muka kamu meliput berita di sepanjang pantai Desa Labua sampai Panambuang’,” tutur Miftahudin dan Idham, diulangi Sukandi.

Tak lama, Idham menelepon seorang wartawan perempuan. Wartawan ini membawa tiga jurnalis lain mendatangi tempat penganiayaan Sukandi. Mereka disuruh memfoto surat pernyataan Sukandi berhenti dari jurnalis. Sementara Idham memegang surat pernyataan tidak melakukan peliputan.

Sekitar pukul 17.30 WIT, seseorang bernama Andre muncul dengan satu personel Polairud menggunakan mobil pribadi. Keduanya menjemput Sukandi dengan tubuh penuh luka, lebam, dan remuk di Pos AL. Sukandi langsung disuruh masuk mobil. Dia pun dijanjikan akan diberikan pekerjaan oleh Idham.

Idham pun menyodorkan uang Rp 100 ribu. Katanya ongkos beli obat. “Saya tak mau ambil. Karena lihat wajahnya seram, saya takut kalau tidak terima saya diturunkan dari mobil. Makanya saya ambil,” ucap dia, mengingat ketakutan yang buncah di kepalanya.

Mobil yang ia tumpangi itu langsung melaju, menjauh, dari kejahatan yang menerkamnya di markas Miftahudin.

Sekitar dua ratus meter dari rumah di Desa Babang, Andre menurunkan Sukandi. Dia melangkah dengan tubuh kesakitan. Sampai di rumah seluas 5×6 meter dia terduduk, lemas. Asmiati, Dilan, dan Dinda mengerubungnya. Mereka terkejut melihat tubuh suami atau bapak mereka luka dan rusak.

“Bapak, itu luka semua. Kenapa itu?” dua anak itu bertanya. Air mata Asmiati mengucur.

“Nah, itu tadi waktu datang panggil saya sudah bilang, jangan pergi,” ucap Asmiati dengan air mata. Suaminya terdiam. “Melihat anak dan istri, saya langsung nangis,” tutur Sukandi dengan suara bergetar di seberang telepon.

Kini perih, di tubuhnya belum hilang. Ia memperlihatkan video berisi bekas luka di bagian punggung dan lengan dengan bekas goresan sekitar sepuluh sentimeter. Dia mengatakan luka itu mulai membaik. “Punggung, bagian dada, dan tangan bagian kiri masih sakit. Sakit sekali,” ucap dia.

Nyeri pun masih terasa di bagian kepala. Setelah dipulangkan dia memang dibawa ke Rumah Sakit Umum Daerah Labuha, Halmahera Selatan. Dia sempat meminta pulang karena merasa tak punya uang membiayai ongkos perawatan. Namun, dokter mencegahnya karena mengkhawatirkan pendarahan di bagian kepala. Saat itu dia bertahan.

“Alhamdulillah sedikit membaik. Hanya kepala saya masih terasa keram-keram. Jadi masih butuh waktu berobat. Yang digunakan saat ini obat tradisional,” kata dia.

Tanggapan TNI AL

TNI Angkatan Laut menjamin proses hukum terhadap prajurit yang menganiaya Sukandi terus berjalan sampai tuntas.

Komandan Pangkalan TNI AL (Danlanal) Ternate Kolonel Marinir Ridwan Aziz menyatakan Miftahuddin saat ini dimintai keterangan oleh polisi militer TNI AL.

Ia membantah pula pernyataan yang menyebut ajakan damai terhadap korban bakal menggugurkan proses hukum terhadap pelaku. “Kami melakukan aksi damai dengan yang bersangkutan (korban, red.) itu tidak untuk menghentikan penyelidikan terhadap permasalahannya atau kasus anggota di dalam kami tetap laksanakan tindakan sesuai hukum yang berlaku. Kami tidak gugurkan,” kata Danlanal Ternate dikutip dari Antara.

Dia menyebut polisi militer TNI AL saat ini masih mengumpulkan bukti-bukti dan keterangan dari prajurit yang diyakini menganiaya Sukandi.

Exit mobile version