BANDA ACEH – Ketua Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Kaka Suminta mengkritik pernyataan hakim konstitusi, Arief Hidayat soal “tidak elok” memanggil Presiden RI Joko Widodo ke persidangan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU). Kaka menilai sikap ini dapat membangun persepsi bahwa presiden kebal hukum.
Kaka menegaskan presiden dapat dipanggil ke persidangan sesuai kebutuhan. Ungkapan Hakim Arief Hidayat dinilainya seolah menguatkan mitos bahwa presiden tidak bisa diadili.
“Sikap hakim MK ini politis, kan, Presiden bisa dipanggil. Lebih baik hal itu tidak diucapkan. Ketika terucap, MK justru membuat postulat seolah tak bisa mengadili presiden. Bagaimana tidak, dipanggil ke sidang pun tak bisa,” kata Kaka, Sabtu (6/4/2024).
Sebelumnya, Arief Hidayat mengakui bahwa Pilpres 2024 lebih “hiruk pikuk” karena ada dugaan cawe-cawe Jokowi untuk anaknya. Namun, Arief merasa tidak elok jika harus memanggil kepala negara ke persidangan.
“Mahkamah sebetulnya juga, apa iya kita memanggil kepala negara, Presiden Republik Indonesia? Kelihatannya kan kurang elok, karena presiden sekaligus kepala negara dan kepala pemerintahan,” kata Arief dalam sidang pada Jumat (5/4/2024).
“Kalau hanya sekedar kepala pemerintahan akan kita hadirkan di persidangan ini, tapi karena presiden sebagai kepala negara, simbol negara yang harus kita junjung tinggi oleh semua stakeholder, maka kita memanggil para pembantunya, dan pembantunya ini yang berkaitan dengan dalil pemohon.”
Kaka menilai seorang hakim konstitusi tidak seharusnya mengatakan hal tersebut. Dengan sikap demikian, Kaka menilai MK telah membatasi kewenangan sendiri.
Kaka juga menyorot kehadiran empat menteri yang kurang digali secara mendetail keterangannya oleh MK. Menurutnya, masih ada perasaan sungkan terhadap presiden beserta jajaran pembantunya.
“Kalau memang Presiden perlu hadir, ya, dihadirkan saja. Apalagi, jawaban keempat menteri yang dipanggil juga normatif,” kata Kaka dikutip HARIANACEH.co.id dari Kompas.id.
Di lain sisi, Kaka menilai masih banyak hal yang perlu didalami MK sehingga piha-pihak lain perlu didatangkan. Ia menyinggung dugaan keterlibatan aparat Polri, TNI, dan ASN selama Pemilu 2024.
“Kami berharap MK bisa komprehensif dalam membuat keputusan nanti. Putusan perlu menerangkan secara gamblang permasalahan dan mengembalikan marwah demokrasi nasional,” katanya.
Sementara itu, peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil menyebut Presiden Jokowi seharusnya bisa dihadirkan kemarin. Pasalnya, proses pembuktian di MK sudah selesai per Jumat (5/4).
Kesaksian Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri Sosial Tri Rismaharini, Menko Perekonomian Airlangga Hartanto, dan Menko PMK Muhadjir Effendy dianggap terlalu normatif dan umum, sehingga tidak menjawab secara menyeluruh terkait politisasi bantuan sosial.
“Meski begitu, pengetahuan dan keyakinan hakim dalam konteks politisasi bantuan sosial serta lainnya, kan, tidak hanya bersumber dari keterangan menteri. Tentu nanti akan diverifikasi dengan keterangan, bukti, dan petunjuk lain. Mungkin ini nanti yang bisa membuat terang perkara PHPU,” kata Fadli. (*)