Contoh lain, guna mendukung tujuan Global Indonesia menjadi pusat halal dunia, maka Kementerian Perindustrian (Kemenperin) merilis sertifikasi halal bagi berbagai produk yang dihasilkan, termasuk makanan dan minuman.
Plt Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian Putu Juli Ardika mengatakan, ada data pasar domestik, bahwa muslim di Indonesia mencatatkan pengeluaran sebesar 184 miliar dolar AS pada 2020. Angka itu diproyeksikan meningkat hingga 14,96 persen pada 2025 atau sebesar 281,6 miliar dolar AS.
Hal ini menjadikan Indonesia sebagai konsumen pasar halal terbesar di dunia dengan pangsa 11,34 persen dari total pengeluaran halal global. Inilah kesempatan mengisi peluang pengembangan industri halal. Dan sungguh yang tampak dari menggungulkan produk halal ini hanya sekadar menjadi peluang bisnis, bukan tuntutan akidah. Meski yang berbicara adalah pejabat muslim.
Di sisi lain, peraturan kewajiban halal yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2021 terkait seluruh produk makanan, minuman, hasil sembelihan, dan jasa sembelihan yang diberlakukan di seluruh wilayah di Tanah Air ternyata tebang pilih. Tidak semua gratis, bahkan berbayar dengan beberapa range harga.
Putu mengatakan, Kemenperin dalam tiga tahun terakhir, Pusat Pemberdayaan Industri Halal (PPIH) Kementerian Perindustrian telah memberikan fasilitasi sertifikasi halal kepada 3.095 IK, baik dengan skema reguler maupun self declare (pernyataan dari pelaku UKM sendiri bahwa produknya halal terutama untuk pelaku industri kecil).
Dan di tahun 2024, PPIH akan kembali memberikan fasilitas sertifikasi halal kepada 1.250 Industri Kecil. Meliputi pengajuan sertifikat halal dan pemberian pelatihan penyelia halal bagi industri kecil calon penerima fasilitas. Di sini ada dua celah yang kemungkinan bisa disalahgunakan dan kedepannya akan memberikan dampak negatif, pertama pemberian sertifikat halal gratis hanya bagi pelaku usaha yang sudah mengikuti pelatihan. Bagaimana yang tidak karena terkendala teknologi dan informasi?
Kedua mekanisme self declare jelas akan merancukan makna halal itu sendiri, negara samasekali tak menjamin kehalalan sebuah produk hanya karena skalanya kecil dan cukup mengisi formulir “ halal”, padahal, dengan kondisi kaum muslim hari ini yang sangat mundur pemahamannya terkait syariat harus ada pihak penjamin yang benar-benar bisa memastikan kehalalan produk tersebut, sejak produksi hingga distribusi yang sampai kepada masyarakat untuk dikonsumsi.
Bukti bahwa pelayanan sertifikasi halal hanya lips servis pemerintah agar segera terakselerasi akses menuju pasar halal global di atas. Apalagi peluang Indonesia menguasainya sangatlah besar, tapi bagaimana pertanggungjawaban kepada Allah swt yang notabene pihak yang memerintahkan halal haram atas semua amal?
Bisakah kita merasa tenang jika prosedur pemastian halal haram sebatas sertifikat yang nilainya untuk industri bisnis. Padahal halal haram itu menyangkut sistem karena berlaku untuk semua hal. Baik permodalan, muamalah, kerjasama ekonomi, proses produksi, bahan baku dan lainnya harus mengedepankan halal, bukan sekuler atau memisahkan agama dari kehidupan kemudian mengambil hukum manusia.
Halal Haram Bukan Kebutuhan Industri Semata Tapi Akidah
Akidah seorang muslim memang mengharuskan halal haram jadi sandaran setiap amal. Maka, negara seharusnya menjamin kehalalan itu dari hulu hingga hilir, jika pun bentuknya berupa sertifikat maka negara memberikannya secara gratis.
Menjadi rancu ketika halal haram disandingkan dengan industri dan penguatan ekonomi, apalagi halal dikompetisikan atau dirangking. Semua ini hanya akal-akalan kapitalisme dan kaum muslim telah terjebak di dalamnya.
Halal haram menjadi standar amal apapun, termasuk fungsi riayah negara kepada rakyatnya, bukan terus menerus mendorong rakyat untuk mengembangkan usaha, sementara kesejahteraan rakyat mengais sendiri. Padahal Rasulullah Saw.bersabda, “Barang siapa yang diangkat oleh Allah menjadi pemimpin bagi kaum Muslim, lalu ia menutupi dirinya tanpa memenuhi kebutuhan mereka, (menutup) perhatian terhadap mereka, dan kemiskinan mereka. Allah akan menutupi (diri-Nya), tanpa memenuhi kebutuhannya, perhatian kepadanya dan kemiskinannya.” (Diriwayatkan dari Abu Dawud dan Tirmidzi dari Abu Maryam).