Prof Yusril Ihza Mahendra Cerita Sempat Dicaci-maki Usai Jadi Lawyer Tim Pembela Prabowo-Gibran

Ⓒ Hak cipta foto di atas dikembalikan sesungguhnya kepada pemilik foto

Ⓒ Hak cipta foto di atas dikembalikan sesungguhnya kepada pemilik foto

BANDA ACEH  – Ketua Tim Pembela Prabowo-Gibran, Prof Yusril Ihza Mahendra mengungkapkan pada Pilpres 2024 ketegangan tidak terlalu dirasakan, tetap saling serang antar pendukung masih ada dalam batas wajar.

Bahkan dirinya yang bukan calon presiden juga mendapat perlakuan tak menyenangkan.

Yusril mengaku dirinya dan keluarga mendapat cacian di media sosial usai menjadi lawyer ketua tim pembela Prabowo-Gibran.

“Saya saja bukan calon presiden dan hanya lawyer ketua tim pembela Prabowo-Gibran setiap hari dicaci maki komentar media sosial. Bukan hanya saya tapi juga istri dikata-katain macam-macam,” kata Prof Yusril Ihza Mahendra saat wawancara khusus dengan Tribun Network, Jumat (19/4/2024).

Yusril menilai orang-orang yang berkata tidak pantas di media sosial tidak pernah memikirkan anak-anaknya yang masih remaja.

Menurutnya, anak-anaknya salah apa mengetahui bapaknya dicaci maki hanya karena membela Prabowo-Gibran.

“Gini ajalah bagi saya mungkin mereka sudah kalah berdebat akhirnya melakukan character assassination (pembunuhan karakter), menjelek-jelekkan orang dan itu sebagai risiko yang saya terima,” imbuhnya.

Yusril meyakini Prabowo sebagai Presiden terpilih akan menciptakan satu rekonsiliasi.

Dirinya juga sudah mendengar ada rencana pertemuan Megawati Soekarnoputri dengan Prabowo Subianto.

“Ya kita belum tahu apakah terjadi atau tidak tapi ada sinyal-sinyal. Saya sepenuhnya menyerahkan ke Pak Prabowo yang akan menentukan ke mana arah kebijakan di waktu yang akan datang,” urainya.

Berikut lanjutan wawancara Direktur Pemberitaan Tribun Network Febby Mahendra Putra dengan Yusril Ihza Mahendra:

Prof munculnya amicus curae termasuk yang diajukan Ibu Megawati Soekarnoputri sebagai Ketum PDI Perjuangan. Ada yang berpendapat Bu Mega tidak masuk bagian dari para pihak bagaimana Anda melihat fenomena ini?

Dalam sidang mereka itu kan mendalilkan Pilpres ini curang, Pilpres ini manipulatif. Pertanyaannya siapa yang melakukan kecurangan, mereka bilang Jokowi. Jokowi itu curang menyerahkan bansos seenaknya.

Mengangkat kepala daerah seenaknya untuk memenangkan pasangan Prabowo Gibran. Jokowi ini kan bukan pihak, Jokowi kan tidak dipanggil ke MK. Kan jadi bumerang lagi.

Sekarang ketika Bu Mega menyampaikan amicus curiae sebagai sahabat pengadilan mereka bilang Bu Mega kan bukan pihak. Ketika Jokowi bukan pihak tapi kok dipersoalkan terus di dalam sidang.

Kami sih sampai hari ini nggak mau mempersoalkannya bahwa Bu Mega itu pihak atau bukan pihak indirect ya bisa dikait-kaitkan.

Yang memohon sebagai pemohon 1 siapa, itu kan Ganjar-Mahfud, mereka bukan perorangan tapi adalah pasangan calon presiden dan wakil presiden yang ikut menjadi kontestan pilpres.

Nah siapa yang mencalonkan Ganjar-Mahfud itu adalah PDI Perjuangan, siapa ketua PDI Perjuangan namanya Megawati Soekarnoputri ya kan, jadi mau apa kita.

Kalau kita lihat dalam sejarah amicus curae itu kan sebenarnya diajukan oleh pihak yang netral. Ada persoalan fundamental di pengadilan misalnya persoalan kesetaraan dan sebagainya.

Jadi kalau di zaman Romawi kuno biasa ada pihak menyampaikan surat ke pengadilan. Dalam tradisi hukum Islam hal semacam itu juga terjadi.

Ulama atau seorang ahli fiqih dia berpendapat tentang satu masalah yang memang sedang diperiksa atau sedang diadili.

Saya pernah membaca majelis hikmah atau lembaga hikmah dan kebijakan publik PP Muhammadiyah itu bertindak sebagai amicus curae dalam sengketa antara kebun kelapa sawit di Riau.

Kasus itu sampai ke meja Pengadilan Tata Usaha Negara di Medan. Lembaga hikmah itu menyampaikan surat kepada mahkamah pendapat PP Muhammadiyah terhadap persoalan ini.

Saya pikir tindakan PP Muhammadiyah ini betul karena dia tidak terlibat langsung dengan sengketa lahan antara rakyat dan perkebunan kelapa sawit di sana.

Kalau ada yang mengatakan Bu Mega tidak ada kaitan langsung dengan sengketa PHPU. Saya kira itu sikap yang inkonsisten, menurut saya, kita harus fair juga melihat ini di pengadilan.

Terkait pemanggilan empat menteri bahwa Bu Sri Mulyani menyatakan uang yang dipakai oleh Pak Jokowi berasal dari dana operasional presiden, secara rule of the game apakah boleh?

Yang diberikan oleh Pak Jokowi itu bukan Bansos tetapi anggaran bantuan presiden, menteri juga punya, anggota DPR punya, begitupun bupati walikota.

Kalau zaman Pak Soeharto dulu namanya dana taktis menteri. Uang itu dapat digunakan oleh pejabat dan nanti dipertanggung jawabkan.

Saya dulu Menteri Kehakiman dan HAM dan saya ini dulu aktivis HMI, begitu saya jadi menteri datangnya adik-adik mahasiswa dari kampus UI, lalu datang dari yayasan dan dari masjid-masjid.

Dari mana kita akan memberikan sumbangan kepada kegiatan-kegiatan ini. Gaji menteri pada waktu itu Rp 18 juta per bulan.

Kalau HMI saya kasih Rp 5 juta, lalu yang lain taruh lah dikalikan tiga sudah habis gaji saya tersisa Rp 3 juta. Karena itulah dana operasional menteri ini yang diberikan para pejabat untuk membantu kegiatan.

Misalnya ada seorang tokoh atau kiai yang diminta Presiden untuk ke Jakarta dari Makassar. Masa terus biaya tiket pesawatnya kiai tidak diganti, nah dari situlah dana operasional digunakan.

Kubu 02 meyakini bahwa tanggal 22 April 2024 nanti semua petitum dari pihak pemohon bakal kandas?

Saya kira iya karena fair saja kita itu kan tidak mengenal asas pembuktian terbalik walaupun indirect iya.

Kami membuktikan bahwa dalil-dalil mereka itu tidak terbukti jadi barang siapa yang menuduh dia harus membuktikan. Jangan kita nuduh-nuduh orang lantas meminta orang yang dituduh untuk membuktikan.

Misalnya saya bilang Pak Jokowi itu ijazahnya palsu terus kita minta Pak Jokowi harus datang ke pengadilam bawa ijazah. Ini kan asas pembuktian terbalik. Kalau Anda menuduh lho Anda dong yang membuktikan bukan Pak Jokowi yang harus membuktikan.

Nah ini kan kacau, kalau misalnya pemohon 1 dan pemohon 2 mendalilkan ada kecurangan ya buktikan dong. Misalnya Sirekap dijadikan alat kecurangan penipuan pemilu.

Tapi di persidangan KPU kan menjawab Sirekap tidak dipakai untuk penghitungan tetapi KPU memakai penghitungan manual berjenjang. Dari hasil penghitungan kabupaten A dan Kabupaten B kemudian dimasukkan ke dalam Sirekap.

Jadi kita tidak menggunakan Sirekap sebagai dasar untuk menetapkan pemenang pemilu. Dalil mereka rontok dengan sendirinya.

Mereka bilang terjadi penggelembungan bansos El Nino, kan sudah dibantah oleh Bu Risma sendiri. Mereka mengatakam terjadi pengerahan aparat Pj – Pj.

Tapi tidak terbukti, kalaulah memang pejabat daerah itu dijadikan alat untuk memenangkan Prabowo Gibran dengan di Aceh.

Aceh itu 23 Pj dari 24 pejabat termasuk gubernur tapi Prabowo kalah telak yang menang Anies di Aceh. Sebaliknya di Bengkulu di antara 11 kepala daerah hanya ada satu Pj yang lainnya bupati dan walikota yang beneran, tapi Prabowo menang telak.

Memang tidak keterkaitannya dan kita Panggil saksi dan ahli anggota DPR membahas soal Pj-Pj. Ini kan sudah dibahas lama jauh sebelum pemilu disahkan menjadi undang-undang.

Saya pun ketawa-tawa dulu kan mulainya mau dipakai untuk kepentingan partai yang paling banyak suaranya di DPR. Dengan harapan Pj-Pj meme angkan mereka di Pemilu 2024.

Tapi mereka pecah kongsi sama Pak Jokowi lalu ngomel-ngomel karena tidak bisa memenangkan Pj-Pj untuk kemenangan dirinya. Ya kita jujur saja lah bicara, sama juga lah bicara soal angket.

Sama juga di MK di mana pars pihak mendalilkan Gibran tidak sah sebagai calon wakil presiden. Tapi kan ketika disahkan tiga paslon Anies mengucapkan selamat berharap pilpees berjalan adil.

Mereka berdebat kita semua nonton, kalau dari awal merasa tidak fair jangan datang dong ke Debat terbuka. Harusnya Pak Ganjar dan Pak Anies kompak tidak datang bilang dong Gibrannya tidak sah, masa saya mau debat sama orang yang tidak sah, kan nggak ada ngomong begitu.

Sudah kalah pilpres kok mau bilang nggak sah, saya nggak bisa paham cara-cara berpikir orang-orang ini.

Apapun keputusan MK hari Senin bagaimana konfigurasi partai Politik nanti? Apakah akan sangat berbeda dengan Pilpres 2019 atau bisa dicarikan satu rumusan kompromi?

Kadang-kadang saya berpikir demokrasi Pancasila tidak membutuhkan oposisi seperti demokrasi parlementer 1950-1960. Kala itu kita itu tidak oposisi tetapi amar maruf nahi mungkar (melarang orang berbuat yang jahat. Kalau benar kita dukung kalau nggak benar kita lawan.

Jadi kekuasaan itu kan menggoda PDI Perjuangan sudah lama berkuasa tentu dong ada kekhawatiran berada di luar kekuasaan. PKS sudah 10 tahun oposisi. Bisa saja terjadi pendekatan dan dialog-dialog.

Pilpres 2019 itu memang ketegangan antar kubu Pak Jokowi dan Pak Prabowo terlalu tajam. Karena melibatkan agama sangat dalam.

Ada ijtima ulama ada fatwa-fatwa yang bahkan wajib hukumnya mendukung pasangan calon yang didukung oleh ijtima ulama. Sebegitu tajamnya konflik itu diciptakan.

Konon katanya ada jenazah dibawa ke masjid saat hendak disolatkan ditanya ini pendukung Pak Prabowo atau Pak Jokowi. Sampai sebegitunya.

Dalil kafir mengkafirkan itu luar biasa Anda itu sudah jadi Tuhan saja saya bilang sejak kapan saya kafir. Sudah seperti itu keadaannya.

Akhirnya saya bisa memahami mula-mula saya agak bingung juga tiba-tiba Pak Prabowo masuk ke kabinet Pak Jokowi menjadi Menteri Pertahanan.

Mungkin Pak Jokowi berpikir jangan sampai konflik sampai ke bawah itu rusak. Ketika di atas sudah terjadi rekonsiliasi mudah-mudahan di bawah tidak terjadi lagi ketegangan.

Di pilpres 2024 ketegangan seperti itu hampir tidak terjadi. Tetap ada saling serang tapi biasa lah itu.

Saya saja bukan calon presiden dan hanya lawyer ketua tim pembela Prabowo-Gibran setiap hari dicaci maki komentar media sosial. Bukan hanya saya tapi juga istri dikata-katain macam-macam.

Mereka tidak berpikir bagaimana dengan anak saya yang masih remaja yang tidak tahu apa-apa bapaknya dicaci maki hanya karena saya membela Prabowo-Gibran.

Gini ajalah bagi saya mungkin mereka sudah kalah berdebat akhirnya melakukan character assassination (pembunuhan karakter), menjelek-jelekan orang dan itu sebagai risiko yang saya terima.

Jadi saya kira mungkin saja akan terjadi satu rekonsiliasi yang mana Pak Prabowo menawarkan itu, kita tahu Pak Surya Paloh sudah bertemu dengan Pak Jokowi meski tidak tahu apa isi pembicaraannya.

Kemudian juga sedang dirancang pertemuan Bu Megawati dengan Pak Prabowo. Ya kita belum tahu apakah terjadi atau tidak tapi ada sinyal-sinyal.

Saya sepenuhnya menyerahkan ke Pak Prabowo karena beliau Presiden Terpilih yang akan menentukan ke mana arah kebijakan di waktu yang akan datang.

Biarlah Pak Prabowo berpikir misalnya harus ada yang di luar pemerintah misalnya PDI Perjuangan dan PKS oposisi. Dan PKB NasDem gabung pemerintah atau PPP sudah akan bergabung.

Itu nanti Pak Prabowo yang putuskan bahwa nanti semuanya masuk kabinet saya kira harus saya hormati apa yang menjadi keputusan beliau

Exit mobile version