Hingga hari ini, belum ada komunikasi Prabowo dengan PKS. Baik presiden PKS maupun ketua Majelis Syura PKS.
Prabowo ingin merangkul semua. Selain memang itu adalah karakter Prabowo, bahwa merangkul PKS itu juga penting untuk menguatkan pemerintahannya ke depan. Apalagi, PKS pernah bersama-sama dengan Gerindra menjadi oposisi dan dua kali mendukung Prabowo nyapres.
Romantisme ini tidak akan pernah hilang dari memori Prabowo. Prabowo dikenal pemaaf, menghargai perkawanan dan “loman”. Tiga sikap positif yang dikenal oleh publik. Ini sisi personal. Bagaimana dengan integritas dan kemampuan Prabowo mengelola negara? Kita tunggu setelah pelantikan Oktober nanti.
Jika PDIP memilih oposisi dan berhasil mengajak semua parpol pengusung paslon 01, maka ke depan Prabowo bisa terancam kekuasaannya. Dalam hal ini, kendalanya ada di Nasdem dan PKB. Sebab, sulit membayangkan Nasdem dan PKB jadi oposisi. Tidak ada sejarahnya dua partai ini jadi oposisi. Mana tahan? Toh, bergabung dengan Prabowo tidak membuat dua partai ini akan kehilangan konstituennya.
Intinya, tidak ada beban apapun bagi kedua partai ini untuk bergabung, kecuali beban “janji perubahan”. Emang janji itu penting bagi partai untuk ditunaikan? Ini soal lain. Jejak Demokrat yang lebih dulu melupakan “janji perubahan” sedang diikuti oleh kedua partai ini. Justru PDIP yang malah tidak punya “janji perubahan”.
Sebaliknya, jika PDIP gabung ke pemerintahannya Prabowo, maka pengaruh Jokowi ke Prabowo bisa segera melemah. Syarat ini mutlak akan diajukan oleh PDIP jika partai pemenang Pemilu 2024 ini bersedia untuk gabung dengan Prabowo.
Selain tentu saja porsi kekuasaan yang cukup besar, minimal sama dengan Golkar. Posisi PDIP, sebagai pemenang pemilu, cukup kuat. Kuat untuk beroposisi, maupun kuat untuk bernegosiasi.
(Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa)