Prahara Berlanjut di Bank Aceh

Ⓒ Hak cipta foto di atas dikembalikan sesungguhnya kepada pemilik foto

Logo Bank Aceh Syariah yang terpampang di depan Kantor Pusat PT. Bank Aceh Syariah yang beralamat di Jl. Mr. Mohd. Hasan No. 89 Batoh, Lamcot, Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh - 23245. FOTO/Dok. Antara

Penulis: Khalil Ismail**

HARI Jum’at merupakan hari yang istimewa dalam kehidupan seorang muslim. Keutamaan hari Jum’at bukan hanya terletak pada shalat jum’at tetapi juga dalam doa, pengampunan dosa, dan pintu-pintu syurga yang dibuka. Hari Jum’at adalah Tuan segala hari yang paling agung di sisi Allah SWT. Hari yang paling agung di sisi Allah SWT dari hari Idul Adha dan Idul Fitri. Hari Jum’at disebut pula sebagai penghulu hari (Sayyidul Ayyam).

Tanpa bermaksud mengurangi makna keistimewaan hari Jum’at sebagaimana telah disebutkan di atas. Berita mengejutkan kita terima pada hari Jum’at tanggal 5 April 2024 M, bertepatan dengan 25 Ramadhan 1445 H, yang pada malamnya diyakini sebagai malam Lailatul Qadar, telah terjadi lagi prahara di Bank Aceh, yaitu dengan Pemberhentian Sementara (non aktiff) Muhammadsyah selaku Direktur Utama dan Zulkarnaini selaku Direktur Operasional dan Akuntansi. Kita sebut sebagai prahara berlanjut karena peristiwa yang sama juga terjadi pada tahun lalu (2023), empat anggota Direksi Bank Aceh, yautu Bob Rinaldi, Lazuardi, Amal Hasan dan Jusmaldiansyah diberhentikan secara tiba-tiba oleh Pj Gubernur Aceh Bapak Achmad Marzuki, yang juga terjadi pada bulan Ramadhan 1444 H.

Sepertinya pemberhentian (baik sementara maupun permanen) Direksi Bank Aceh di tengah jalan sudah menjadi sebuah tradisi. Tercatat pada saat krisis moneter di tahun 1998, Direksi Bank Aceh (saat itu masih bernama Bank BPD Aceh) diberhentikan, setelah Bank BPD Aceh gagal meningkatkan permodalan Bank untuk memenuhi ketentuan Capital Adequacy Ratio (CAR) minimum 8%. Ketentuan tersebut wajib dipenuhi  karena Bank BPD Aceh menjadi Bank yang ikut program penyehatan bank (Rekapitulasi Perbankan). Bank BPD Aceh  mendapat suntikan modal dari pemerintah RI (lazim disebut juga dengan Bank Rekap). Tradisi pemberhentian sebelum habis masa jabatan berlanjut di masa Gubernur Aceh Bapak Zaini Abdullah, yaitu Islamuddin selaku Direktur Utama, Tawaqal Alaihi dan Irfan Sofni selaku Direktur. Pemberhentian di tengah jalan oleh Gubernur Aceh selaku Pemegang Saham Pengendali (PSP) sudah tentu  dilatar belakangi oleh berbagai sebab dan alasan yang tidak perlu lagi kita sebutkan disini.

Dampak Pemberhentian Sementara dan Resiko Reputasi Bank

Sebelum kita bahas lebih lanjut, perlu dijelaskan, bahwa  yang dimaksud dengan Non Aktif (Pemberhentian Sementara) adalah pemberhentian yang mengakibatkan yang bersangkutan kehilangan statusnya untuk sementara waktu.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yaitu tidak menjalankan pekerjaan (tugas) lagi untuk sementara waktu, dan dapat diaktifkan kembali. Untuk lebih jelasnya, yang terkait dengan kasus ini, dapat dikatakan, bahwa pihak yang dinonaktifkan sementara waktu dimungkinkan untuk diaktifkan (dipekerjakan) kembali, apabila di dalam forum RUPS yang bersangkutan dinyatakan terbukti tidak bersalah.

Pengnonaktifan Direktur Utama serta Direktur Operasional dan Akuntansi  Bank Aceh (sebagaimana juga pemberhentian Direksi Bank Aceh sebelumnya) telah mengejutkan masyarakat Aceh, terlebih jajaran Bank Aceh, karena tanpa sinyal apapun dan tanpa dimengerti alasan yang sebenarnya, mengapa terjadi pemberhentian sementara secara mendadak ini sehingga telah menimbulkan pro dan kontra di tengah-tengah masyarakat.

Bagi mereka yang mendukung tentu sah-sah saja dengan berbagai argumen yang disampaikan. Meskipun tanpa mengetahui alasan yang logis, tanpa mengetahui dan melihat data-data kinerja Bank Aceh selama ini, dan tidak melihat prosedur yang ada terkait dengan proses pemberhentian sementara pengurus bank. Atau lebih spesifik lagi, perbuatan apa yang telah dilakukan oleh pihak yang di non aktifkan,

Pada saat berita pengnonaktifan itu saya baca di media. Saya (mungkin juga sebagian anggota masyarakat lainnya) menduga telah terjadi Tindak Pidana di Bank Aceh yang dilakukan oleh Direktur Utama  dan Direktur Operasonal dan Akuntansi, seperti misalnya pemalsuan neraca Bank, penipuan, penggelapan asset bank,  pemalsuan tanda tangan, menerima suap. Korupsi atau perbuatan fraud lainnya. Namun setelah saya teliti, saya tidak menemukan alasan yang jelas, apa jenis tindak pidana yang telah dilakukan oleh Pengurus Bank Aceh. Mereka yang mendukung peng-nonaktifan ini berbicara secara umum saja sekedar memberi dan memperlihatkan dukungan mereka kepada PSP. Pemberian dukungan semacam ini kurang tepat bagi institusi Bank, dan juga bagi pihak yang di non aktifkan.

Pemberitaan tentang pemberhentian sementara ini tanpa diikuti alasan dan dasar hukumnya bagi Bank Aceh dapat menimbulkan resiko reputasi. Resiko reputasi adalah resiko akibat menurunnya tingkat kepercayaan  pemangku kepentingan (stakeholders) yang antara lain disebabkan oleh adanya publikasi negatif yang terkait dengan kegiatan usaha Bank, atau persepsi negatif terhadap Bank. Dampak eksternalnya antara lain juga dapat menyebabkan hilangnya kepercayaan pengguna jasa bank, seperti nasabah, deposan, penabung, mitra kerja dan masyarakat luas pada umumnya. Dampak lain adalah timbulnya keraguan dari perbankan lain, baik di dalam dan luar negeri yang selama ini telah menjalin kerjasama bisnis dengan Bank Aceh. Reputasi Bank Aceh yang selama ini cukup baik dengan bukti adanya berbagai penghargaan tingkat nasional dari lembaga penilai yang independen, akan rusak seketika di mata masyarakat Aceh, Nasional dan Internasional.

Dampak pemberhentian sementara ini bagi internal bank juga bisa terjadi, yaitu dengan rusaknya semangat kerja yang selama ini telah terbina dan hilangnya kekompakan antar karyawan. Di samping itu, para karyawan akan merasa traumatik bila ingin mencapai karier ke pimpinan puncak (Direksi bank), karena dihantui oleh kemungkinan pemberhentian mendadak tanpa jelas sebab musababnya dan kesalahan yang mendasarinya.

Sedangkan bagi pihak yang di non aktifkan dapat “membunuh” karier dan reputasinya di Bank ysng selaama ini dinilai baik (buktinya lulus fit and proper test dari OJK). serta mencemari nama baik diri dan keluarganyadan juga rasa malu di tengah-tengah masyarakat.

Alasan Pemberhentian Sementara

Dari beberapa informasi dari media dapat kita ketahui di balik alasan dilakukannya pemberhentian sementara Direktur Utama dan Direktur Operasional & Akuntansi Bank Aceh adalah adanya teguran tertulis dan juga sanksi administratif oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Aceh. Surat pertama dengan nomor SR-10/KO.1502/2024 tanggal 10 Januari 2024, bahwa Bank Aceh dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis, dan dilanjutkan dengan surat OJK yang kedua bernomor  SR.66/KO/1502/2024 tanggal 1 Maret 2024 yang pada pokoknya berisi larangan melakukan ekspansi kegiatan usaha, dan larangan melakukan kegiatan usaha baru.

Adanya larangan ekspansi kegiatan usaha dan larangan melakukan kegiatan usaha baru biasanya menyangkut produk-produk baru yang akan dikeluarkan oleh  Bank. Larangan dari OJK ini biasanya berkaitan erat dengan penilaian dari item-item yang ada di dalam laporan GCG yang kualitasnya menurun, dengan kata lain nilainya tidak sesuai dengan yang dipersyaratkan oleh peraturan OJK.

Good Corporate Governence atau di singkat GCG merupakan prinsip-prinsip yang diterapkan oleh perusahaan untuk memaksimalkan nilai perusahaan, meningkatkan kinerja dan kontribusi perusahaan, serta menjaga keberlanjutan perusahaan secara jangka panjang. Tata kelola perusahaan yang baik menerapkan 5 (lima) prinsip dasar, yaitu  Keterbukaan (transparency). Akuntabilitas (accountability), Pertanggungjawaban (responsibility), Kemandirian (independency) dan Kesetaraan serta Kewajaran (fairness).

Penulis pernah menjadi anggota Tim penyusunan laporan GCG Bank Aceh, memaklumi bahwa sebab larangan melakukan ekspansi kegiatan usaha baru salah satunya menyangkut dengan kepengurusan Bank Aceh, baik Dewan Komisaris, Dewan Pengawas Syariah (DPS) maupun Dewan Direksi.

Melihat kepengurusan Bank Aceh selama ini, di dalam struktur organisasi Bank Aceh yang belum lengkap adalah kepengurusan Dewan Komisaris, sedangkan Dewan Pengawas Syariah (DPS) dan Dewan Direksi telah terisi lengkap. Prediksi penulis menyangkut larangan ekspansi kegiatan usaha baru, termasuk di dalamnya pembukaan kantor cabang baru, dikarenakan tidak mendapat izin dari OJK provinsi Aceh disebabkan oleh  belum lengkapnya kepengurusan di level Dewan Komisaris. Jadi pemberhentian sementara Direktur Utama dan Direktur Operasional & Akuntansi Bank Aceh bukan karena kinerja Bank yang merugi atau adanya perbuatan tindak pidana.

Sebagai informasi, bahwa kedua sosok yang diganti, yang pernah bersama-sama di Bank Aceh, dan dari beberapa forum pertemuan diskusi dengan para senior (para mantan Direksi dan Para Kepala Divisi yang telah pensiun), tidaklah berlebihan jika penulis menilai, bahwa mereka merupakan sosok yang  jujur, amanah, pekerja keras, dan dari segi pendidikan juga sangat mumpuni, serta mempunyai komitmen yang kuat untuk membawa Bank Aceh menjadi bank yang diperhitungkan oleh Bank-Bank BPD lain di Indonesia maupun dengan Bank-Bank lain  di tingkat nasional.

Menyangkut kewajiban pengisian kelengkapan di jajaran Dewan Komisaris, ini menjadi ranah, kewajiban dan tanggung jawab para pemegang saham Bank Aceh, bukan ranah, kewajiban dan tanggung jawab Dewan Direksi Bank Aceh. Untuk itu, pengisian kekurangan di jajaran Dewan Komisaris di Bank Aceh ini, perlu segera ditangani dengan mengajukan calon-calon Dewan Komisaris yang kredibel dan mempunyai wawasan serta sebaiknya belatar belakang pendidikan di bidang  ekonomi, moneter dan perbankan, untuk selanjutnya dikirim ke OJK untuk diseleksi dan dilakukan Fit and Proper Test. Apabila jajaran Dewan Komisaris telah terisi lengkap, maka larangan dari OJK akan dicabut, dan produk-produk baru Bank Aceh bisa segera direalisasikan.

Prosedur Pemberhentian Pengurus Bank dan Hak Membela Diri

Pemberhentian pengurus Bank Aceh adalah hak prerogatif (Istimewa) yang dimiliki pemegang saham pengendali (PSP), namun demikian penggunaan kewenangan pemilik bank harus tetap mengikuti dan berpedoman kepada Undang=Undang dan peraturan yang berlaku.

Di dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas (UUPT) Nomor 40 Tahun 2007 telah diatur dengan jelas di dalam pasal 105, antara lain di dalam ayat (1) bahwa Anggota Direksi dapat diberhentikan sewaktu-waktu  berdasarkan keputusan Rapt Umum Pemegang Saham (RUPS) dengan menyebutkan alasannya. Selanjutnya di dalam Ayat (2) dan ayat (3) mewajibkan anggota Direksi yang diberhentikan untuk membela diri. Pentingnya alasan membela diri bagi Direksi Bank Aceh yang diberhentikan  bukan semata-mata hanya untuk klarifikasi sebab musabab diberhentikan, tetapi lebih luas lagi  sebagai wujud memperbaiki dan mengembalikan nama baik Bank Aceh di mata masyarakat dan stakeholder. Pemberian kesempatan untuk membela diri tidak diperlukan apabila Direksi yang diberhentikan tidak keberatan dengan pemberhentian tersebut. Sikap ini yang diambil oleh para Direksi Bank Aceh sebelumnya yang diberhentikan di tengah jalan oleh Pj Gubernur Achmad Marzuki.

Bagaimana aturan mainnya, jika Direksi Bank Diberhentikan Sementara (non aktif)

Di dalam pasal 106 ayat (1) diperbolehkan dilakukan pemberhentian sementara oleh Dewan Komisaris, bukan oleh Pemegang Saham, dengan menyebut alasannya, dengan kewajiban dalam waku 30 hari harus diselenggarakan RUPS (ayat 4)  untuk memutuskan, apakah pemberhentian itu dikuatkan atau dicabut (ayat 6). Jika dalam waktu tersebut tidak dapat dilaksanakan RUPS, maka keputusan pemberhentian dinyatakan batal (ayat 8).

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga telah mengatur tata cara pemberhentian Direksi Bank. Di dalam Peraturan  OJK (POJK) No.17 Tahun 2023 Tentang Penerapan Tata Kelola Bagi Bank Umum pasal 10 ayat (2) disebutkan bahwa pemberhentian anggota Direksi  sebelum masa jabatan berakhir apabila tidak mampu melaksanakan tugas, tidak melalui penilaian yang subjektif tetapi harus objektif terkait dengan pengelola bank. Selanjutnya pemberhentian haruslah memperhatikan atau berdasarkan penilaian Komite yang menjalankan fungsi nominasi.

Peran OJK Aceh, Kemendagri dan Asbanda untuk Mencegah Prahara Lanjutan di Bank Aceh

Untuk mencegah terulangnya prahara lanjutan berupa pemberhentian pengurus Bank Aceh secara tiba-tiba tanpa sepenuhnya berpedoman kepada ketentuan yang berlaku, sangat dibutuhkan peran dan sikap tegas dari OJK. Merujuk aturan dari POJK No,17 Tahun 2023,  sebagaimana tercantum di dalam pasal 10 ayat (3) bahwa OJK berwenang melakukan evaluasi terhadap keputusan pemberhentian atau penggantian anggota Direksi yang dilakukan sebelum masa jabatannya berakhir. Di samping itu, penggantian Direktur Utama dan Direktur Kepatuhan sebelum masa jabatan berakhir wajib mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari OJK sebelum diputuskan di dalam RUPS.

Apabila OJK menilai rencana pemberhentian atau penggantian Direktur Utama  dan/atau Direktur Kepatuhan tidak layak, maka OJK tidak boleh menyetujui pemberhentian tersebut (pasal 11 ayat 5a), dan Bank disarankan untuk segera mengagendakan pemberhentian tersebut di dalam RUPS (ayat 5b). Oleh karenanya OJK diberikan kewenangan penuh untuk melakukan tindakan korektif dan evaluasi terhadap pemberhentian tersebut (pasal 13).

Merujuk kepada tugas-tugas OJK di sektor perbankan, sebagaimana diatur di dalam  Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 adalah membina, mengawasi dan memeriksa perbankan dalam mewujudkan lembaga keuangan yang transparan. Oleh karena itu, OJK akan berpihak kepada Bank dengan maksud untuk menjaga agar operasional bank tidak diganggu dengan hal-hal yang dapat menurunkan kredibilitas bank, menurunkan kepercayaan masyarakat kepada bank, tentu saja selama pengurus bank telah menjalankan tugasnya sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Selain peran OJK, yang tidak kalah pentingnya adalah Peran Kemendagri juga sangat diharapkan. Beberapa waktu yang lalu Mendagri telah mengeluarkan Surat Nomor 100.2.1.3/1575/SJ tanggal 23 Maret 2024 yang pada pokoknya adalah larangan bagi Kepala Daerah untuk melakukan mutasi ASN di daerah yang melaksanakan Pilkada. Maka untuk mencegah terulangnya pengnon aktifan pengurus bank BPD di seluruh Indonesia, khususnya yang Kepala Daerahnya berstatus PJ, Mendgri juga perlu mengeluarkan larangan yang diperluas mencakup juga larangan kepada Kepala Daerah yang berstatus Penjabat (Pj) untuk memberhentikan pengurus bank. Sedangkan peran Asbanda (Asosiasi Bank Daerah), perlu lebih instens melakukan konsuktasi dan koordinasi dengan pihak Kemendagri untuk terus secara aktif melakukan pembinaan dan memberi dukungan maksimal, agar Bank-Bank BPD di seluruh Indonesia dapat berjalan dengan baik tanpa diintervensi secara berlebihan, terkecuali pengurus Bank telah melakukan tindak pidana di bidang perbankan yang dapat merugikan bank. Dengan demikian peran Bank BPD sebagai mitra pemerintah daerah dalam membaangun daerah dapat lebih maksimal.

Sebagai penutup dari tulisan ini, kita sangat mengharapkan agar pemberhentian secara tiba-tiba pengurus Bank Aceh tanpa alasan yang jelas mejadi yang terakhir, terkecuali telah melakukan kesalahan yang fatal. Karena ada kekhawatiran kita, apabila nanti setelah terpilih Kepala Daerah Definitif hasil Pilkada, akan terjadi lagi pemberhentian yang serupa. Akibatnya pengurus Bank Aceh tidak bisa bekerja fokus dan maksimal, yang pada akhirnya dapat mengganggu operasional Bank, serta tidak bisa mencapai target yang telah disusun di dalam rencana kerja bank. Harapan kita untuk ke depan agar semua pengurus bank bersama pemilik serta, para stakeholder juga seluruh lapisan masyarakat dapat sama-sama menjaga kelangsungan Bank Aceh yang kita banggakan ini, agar ia tetap bisa hadir di tengah-tengah kita untuk seterusnya, dalam kondisi yang tetap baik-baik saja.

Meskipun jabatan Direksi Bank adalah jabatan politis, bukan berarti unsur-unsur politis yang biasa diterapkan di institusi di luar bank, bisa diterapkan sepenuhnya di Bank. Institusi bank tidak boleh dicampuri politik, karena bank adalah sebuah industri yang sarat dengan resiko dan penuh tantangan, baik regional dan global. Oleh karena itu sangat dibutuhkan kemampuan, ketelitian, inovasi dan kesungguhann serta kejujuran dalam mengelola bank. Kesalahan dalam mengelola bank, termasuk di dalamnya baank dicampuri dengan unsur-unsur politik dapat menghancurkan bank serta dapat beresiko sistemik, yaitu resiko yang menyebabkan kegagalan dari satu ataupun beberapa institusi keuangan sebagai hasil dari kejadian sistemik.

Prinsipnya Pemegang Saham boleh berganti. Pengurus Bank juga boleh berganti, tetapi Bank Aceh Syariah yang kita cintai, haruslah tetap kokoh berdiri.[]

**). Penulis adalah Direktur Kepatuhan Bank Aceh Periode 2006 – 2010

Exit mobile version