OPINI
OPINI

Korupsi Menggurita, Politik atau Budaya?

Dari penelitian  Pusat Studi Anti Korupsi dan Demokrasi (PUSAD) UM Surabaya,  secara umum kasus korupsi korupsi yang melibatkan pejabat utama  eksekutif dan legislatif di daerah terjadi akibat biaya politik yang tinggi. Seorang calon bupati atau walikota bisa menghabiskan dana Rp100 miliar untuk meraih posisi nomor satu. Saat menjabat, mereka terpaksa menempuh kejahatan (korupsi) untuk mengembalikan pengeluaran besar itu.

Hasil penelitian juga menunjukkan cara konservatif korupsi adalah penggelembungan nilal proyek dengan mencatut APBD, menerima atau memberi suap (gratifikasi), memeras, memungut secara illegal, menerima “upeti” dari bawahan atau staf dan uang bermotif perjanjian kerjasama. Faktor lain adanya upaya pelemahan KPK melalui UU No 19 tahun 2019 sebagai perubahan kedua atas UU No 30 tahun 2022 tentang Komisi pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Rancangan Undang-undangan Perampasan Aset yang belum diteken (ada upaya pelemahan integritas bangsa dalam komitmen pemberantasan korupsi). Kemudian kemajuan teknologi tanpa regulasi yang baku, membuka peluang munculnya transaksi elektronik serta bisnis- bisnis yang melibatkan banyak pihak sehingga menyulitkan pelacakan. Sistem sekuler liberal yang menafikan peran agama atau prinsip halal haram dalam kehidupan.

Namun sesungguhnya akar persoalannya adalah sistem hukum dan birokrasi yang justru membuka peluang kecurangan yaitu demokrasi-kapitalisme sekuler itu sendiri. Sistem sekuler liberal ini menafikan peran agama atau prinsip halal haram dalam kehidupann. Bahkan tak ada pengaturan hak milik, hingga menguatnya cengkraman oligarki yang berusaha menguasai aset publik demi upaya mengakumulasi modal sebesar-besarnya sehingga merasa perlu membangun hubungan saling menguntungkan dengan penguasa (sponsor kekuasan).

Faktor ideologis tersebut terwujud dalam nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat kini yang berkiblat pada Barat, seperti nilai kebebasan dan hedonisme. Korupsi seolah menjadi budaya (kebiasaan) merupakan salah satu kerusakan akibat paham kebebasan dan hedonisme ini. Diperkuat adanya tiga fakta lain yang berkembang di masyarakat,  Pertama, faktor lemahnya karakter individu (misalnya individu yang tak tahan godaan uang suap). Kedua, faktor lingkungan/masyarakat, seperti adanya budaya suap atau gratifikasi yang berawal dari inisiatif masyarakat. Ketiga, faktor penegakan hukum yang lemah, misalnya adanya sikap tebang pilih terhadap pelaku korupsi, serta sanksi bagi koruptor yang tidak menimbulkan efek jera. Yang jika ditarik garis lurus, pangkal lestarinya “budaya” berasal dari ideologi sekuler.  Indonesia  sendiri  sudah berkomitmen memberantas korupsi dalam UU no 7 tahun 2006 tentang ratifikasi   United Nations Convention Againts Corruption 2003 (Konvensi PBB antikorupsi 2003). Bukannya menghilangkan korupsi malah semakin menggurita.

Pandangan Islam

Dalam pandangan syariah Islam, korupsi termasuk perbuatan khianat. Orangnya disebut khâ`in. Korupsi adalah tindakan pengkhianatan yang dilakukan oleh seseorang, yaitu menggelapkan harta, yang memang diamanatkan kepada dirinya (Lihat: Abdurrahman al-Maliki, Nizhâm al-‘Uqûbât, hlm. 31). Akar masalah penyebab korupsi adalah  ideologi demokrasi-kapitalis. Langkah  utama dan paling penting yang paling wajib dilakukan adalah menghapuskan pemberlakuannya.  Kemudian diterapkan syariah Islam sebagai satu-satunya sistem hukum yang semestinya berlaku di negeri ini. Penerapan syariah Islam akan sangat efektif untuk membasmi korupsi, baik terkait pencegahan (preventif) maupun penindakan (kuratif).

Pencegahan  (preventif), Pertama: Rekrutmen SDM aparat negara wajib yang amanah serta berasaskan profesionalitas dan integritas, bukan berasaskan koneksitas atau nepotisme. Kedua: Negara wajib melakukan pembinaan kepada seluruh aparat dan pegawainya. Ketiga: Negara wajib memberikan gaji dan fasilitas yang layak kepada aparatnya juga menjamin pemenuhan kebutuhan pokok seluruh warga negara. Nabi saw. Bersabda, ”Siapa saja yang bekerja untuk kami, tetapi tak punya rumah, hendaklah dia mengambil rumah. Jika tak punya istri, hendaklah dia menikah. Jika tak punya pembantu atau kendaraan, hendaklah ia mengambil pembantu atau kendaraan.” (HR Ahmad).

1 2 3

Reaksi & Komentar

Berita Lainnya