Keheranan, laki-laki itu tak kuasa berkata apa-apa.
Dikatakan, ‘sudah dari sononya’ Fudhail sangat sopan dan berbudi luhur. Ia tak pernah mengambil barang-barang milik wanita dalam suatu kafilah. Ia juga tak pernah mengambil barang orang-orang yang hanya punya sedikit harta. Ia selalu meninggalkan korbannya dengan sedikit menyisakan harta mereka.
***
Dalam “Hilyah Al-Awliya wa Thabaqat Al-Asyfiya” karya Abu Nu’aim Al-Ishfahaniy (wafat 430 H) diceritakan sebagai berikut:
Suatu saat, setelah Fudhail bin Iyadh bertobat, ia mendatangi para anak buahnya. Kedatangan Fudhail bermaksud menghapuskan janji-janji yang telah disepakatinya dahulu, yang menyangkut pekerjaan rutin mereka, merampok dan menyamun.
Seluruh anak buah Fudhail menyetujui penghapusan janji-janji tersebut, kecuali seorang perampok Yahudi dari Abiward.
“Sekarang kita bisa dengan mudah mengejek pengikut Muhammad ini,” kata Si Yahudi, berbisik kepada temannya sambil menahan tawa. “Wahai Fudhail,” kata dia,” Aku bersedia menghapuskan janji setia di antara kita. Namun syaratnya, kau harus meratakan bukit itu,”Si Yahudi menunjuk sebuah bukit pasir.
“Bukit itu tidak mungkin dapat diratakan manusia kecuali dengan waktu yang sangat lama,” Fudhail bergumam dalam hati.
Namun demikian, demi menghapuskan perjanjian itu Fudhail menyetujui permintaan bekas anak buahnya tersebut. Hingga berhari-hari Fudhail belum juga mampu untuk meratakannya.
Suatu pagi, ketika Fudhail yang telah lelah menyekopi bukit tersebut, datanglah sebuah badai yang dengan sekejap meratakan bukit tersebut. Si Yahudi yang melihat kejadian tersebut panik bukan main, dan berkata, “Sesungguhnya aku bersumpah tidak akan pernah memaafkanmu kecuali engkau memberiku uang.”
“Sekarang taruhlah tanganmu di bawah karpet ini, ambillah segenggam penuh emas dan berikan kepadaku. Setelah itu barulah sumpahku terpenuhi, dan aku pun memaafkanmu.”
Fudhail memasuki rumah Si Yahudi. Yahudi tersebut menaruh tanah di bawah karpet tersebut. Fudhail menaruh tangannya di bawah karpet tersebut dan mengambil segenggam penuh uang dinar, lalu diberikannya kepada Si Yahudi.
“Dengan uang emas ini, berarti terhapus sudah perjanjian kita,” kata Fudhail.
Melihat hal tersebut, Si Yahudi terdiam. Ia tidak menyangka, keajaiban kembali mendatangi Fudhail bin Iyadh. Dengan terbata-bata, Si Yahudi meminta Fudhail mengislamkannya.
***
Dalam kitab yang ditulisnya dengan judul “Madāriju al-Sālikīn” Imam Ibnu al-Qayyim al-Jauziah menukil untaian hikmah dari Fudhail bin Iyādh. Fudhail pernah berkata,”Ada lima indikator kesengsaraan, yakni hati yang keras, air mata yang membeku, rasa malu yang berkurang, cinta dunia, dan angan-angan yang berlebihan.” [Sumber : Hilyah Al-Awliya wa Thabaqat Al-Asyfiya dan Tadzkiratul Auliya]