Saat Perampok Keji Jadi Wali Sufi: Fudhail bin Iyadh

Ⓒ Hak cipta foto di atas dikembalikan sesungguhnya kepada pemilik foto

Ⓒ Hak cipta foto di atas dikembalikan sesungguhnya kepada pemilik foto

Lelaki yang terheran-heran itu menuju Fudhail. Dilihatnya Si Pimpinan Perampok itu tengah shalat dengan kekhusyuan yang belum pernah dlihatnya, bahkan dari ulama mana pun. Lelaki itu pun menunggu hingga Fudhail selesai shalat, lalu segera bertanya,” Apa yang berlawanan tidak bisa bercampur, kata mereka. Bagaimana seseorang bisa berpuasa dan merampok, shalat dan membunuh orang Muslim pada saat bersamaan?”Di masa mudanya yang kelam, wali sufi Fudhail bin Iyadh adalah seorang perampok. Yang mengherankan, meski menjalani kehidupan seorang perampok, Fudhail muda juga seorang yang terbiasa melalukan puasa sunnah dan shalat dengan sangat khusyu.

Suatu hari sebuah kafilah besar melintas di ‘wilayah kekuasaan’ kelompok Fudhail. Seseorang di dalam kafilah tersebut telah mendengar tentang keberadaan Fudhail dan kelompoknya sebagai perampok terkenal di wilayah itu. Melihat kedatangan para perampok menyambangi kafilahnya, si lelaki itu berpikir bagaimana ia bisa menyelamatkan harta bendanya.

“Aku akan menyembunyikan tas ini,” katanya dalam hati. “Agar tak ketahuan dan harta bendaku aman.”

Lelaki itu keluar dari tendanya, bertemu dengan Fudhail di dekat tenda pemimpin perampok tersebut. Melihat pakaian yang dikenakan Fudhail, lelaki itu menyangka Fudhail seorang asketis (seorang fakir, darwish atau sufi). Dipercayakannya tasnya yang berisikan emas permata kepada Fudhail. 

“Pergilah,” kata Fudhail,” letakkan tasmu di sudut tenda.”

Lelaki itu mematuhi Fudhail, kemudian menghampiri kafilahnya yang tengah dikumpulkan para anak buah Fudhail. Semua barang sudah dijarah, dan semua teman seperjalanannya dalam keadaan terikat, tangan dan kaki mereka. Lelaki itu melepaskan ikatan mereka dan mengumpulkan apa yang masih tersisa. Lalu ia kembali ke tenda Fudhail untuk mengambil tasnya yang berisi emas dan permata. Ia melihat Fudhail berkumpul dengan para penyamun tersebut, bahkan membagi-bagikan hasil jarahan mereka.

“Ah, ternyata aku menitipkan tas kepada seorang perampok,” gumam laki-laki itu, kaget.

Melihat lelaki itu diam ketakutan di kejauhan, Fudhail segera memanggilya.

“Apa yang kau inginkan?” tanya lelaki itu saat mendekat dengan penuh ketakutan.

“Ambil tasmu yang kau letakkan di tendaku, lalu pergilah!” kata Fudhail.

Meski terkejut, lelaki itu segera mengambil tendanya, lalu cepat-cepat pergi.

Para anak buah Fudhail kontan protes. “Di kafilah itu kami tidak menemukan uang satu dirham pun. Mengapa kau mengembalikan tas yang isinya bisa sama dengan sepuluh ribu dirham?”

Fudhail menjawab tenang. “Tadi laki-laki itu berprasangka baik kepadaku, dan aku selalu berprasangka baik kepada Allah, bahwa Dia akan menganugerahkan bagiku jalan tobat. Aku membenarkan prasangka baiknya, agar Allah pun membenarkan prasangka baikku.”

***

Esok harinya, manakala kawanan itu menjarah harta kekayaan kafilah lain yang melintas wilayah mereka, seorang lelaki dari kafilah itu bertanya kepada para perampok yang sedang berkerumun makan bersama.

”Siapa pemimpin kalian?” tanya lelaki itu.

“Ia tidak bersama kami,” kata seorang kawanan Fudhail. “Ia ada di balik pohon di tepi sungai itu, sedang shalat.”

“Tapi ini kan bukan waktu shalat?” kata lelaki dari kafilah yang telah dirampok itu.

“Ia sedang melaksanakan ibadah Sunnah,” seorang perampok menjawabkan.

“Dan ia tidak makan enak bersama kalian?” lelaki itu lenjut bertanya.

“Ia sedang berpuasa.”

“Tapi ini kan bukan bulan Ramadhan?” lelaki dari kafilah itu tampak heran.

“Ya..puasanya sunnah juga.”   

Lelaki yang terheran-heran itu menuju Fudhail. Dilihatnya Si Pimpinan Perampok itu tengah shalat dengan kekhusyuan yang belum pernah dlihatnya, bahkan dari ulama mana pun. Lelaki itu pun menunggu hingga Fudhail selesai shalat, lalu segera bertanya,” Apa yang berlawanan tidak bisa bercampur, kata mereka. Bagaimana seseorang bisa berpuasa dan merampok, shalat dan membunuh orang Muslim pada saat bersamaan?”

“Apa kau tahu Alquran?” tanya Fudhail kepada laki-laki itu.

“Aku tahu,” jawab lelaki itu.

“Nah, bukankah Yang Mahakuasa berfirman,”Dan (ada pula) orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka, mereka mencampurbaurkan pekerjaan yang baik dengan pekerjaan lain yang buruk”?”  (QS At-Taubah:102).

Keheranan, laki-laki itu tak kuasa berkata apa-apa.

Dikatakan, ‘sudah dari sononya’ Fudhail sangat sopan dan berbudi luhur. Ia tak pernah mengambil barang-barang milik wanita dalam suatu kafilah. Ia juga tak pernah mengambil barang orang-orang yang hanya punya sedikit harta. Ia selalu meninggalkan korbannya dengan sedikit menyisakan harta mereka.

***

Dalam “Hilyah Al-Awliya wa Thabaqat Al-Asyfiya” karya Abu Nu’aim Al-Ishfahaniy (wafat 430 H) diceritakan sebagai berikut:

Suatu saat, setelah Fudhail bin Iyadh bertobat, ia mendatangi para anak buahnya. Kedatangan Fudhail bermaksud menghapuskan janji-janji yang telah disepakatinya dahulu, yang menyangkut pekerjaan rutin mereka, merampok dan menyamun.

Seluruh anak buah Fudhail menyetujui penghapusan janji-janji tersebut, kecuali seorang perampok Yahudi dari Abiward.

“Sekarang kita bisa dengan mudah mengejek pengikut Muhammad ini,” kata Si Yahudi, berbisik kepada temannya sambil menahan tawa. “Wahai Fudhail,” kata dia,” Aku bersedia menghapuskan janji setia di antara kita. Namun syaratnya, kau harus meratakan bukit itu,”Si Yahudi menunjuk sebuah bukit pasir.

“Bukit itu tidak mungkin dapat diratakan manusia kecuali dengan waktu yang sangat lama,” Fudhail bergumam dalam hati.

Namun demikian, demi menghapuskan perjanjian itu Fudhail menyetujui permintaan bekas anak buahnya tersebut. Hingga berhari-hari Fudhail belum juga mampu untuk meratakannya.

Suatu pagi, ketika Fudhail yang telah lelah menyekopi bukit tersebut, datanglah sebuah badai yang dengan sekejap meratakan bukit tersebut. Si Yahudi yang melihat kejadian tersebut panik bukan main, dan berkata, “Sesungguhnya aku bersumpah tidak akan pernah memaafkanmu kecuali engkau memberiku uang.”

“Sekarang taruhlah tanganmu di bawah karpet ini, ambillah segenggam penuh emas dan berikan kepadaku. Setelah itu barulah sumpahku terpenuhi, dan aku pun memaafkanmu.”

Fudhail memasuki rumah Si Yahudi. Yahudi tersebut menaruh tanah di bawah karpet tersebut. Fudhail menaruh tangannya di bawah karpet tersebut dan mengambil segenggam penuh uang dinar, lalu diberikannya kepada Si Yahudi.

“Dengan uang emas ini, berarti terhapus sudah perjanjian kita,” kata Fudhail.

Melihat hal tersebut, Si Yahudi terdiam. Ia tidak menyangka, keajaiban kembali mendatangi Fudhail bin Iyadh. Dengan terbata-bata, Si Yahudi meminta Fudhail mengislamkannya.

***

Dalam kitab yang ditulisnya dengan judul “Madāriju al-Sālikīn” Imam Ibnu al-Qayyim al-Jauziah menukil untaian hikmah dari Fudhail bin Iyādh. Fudhail pernah berkata,”Ada lima indikator kesengsaraan, yakni hati yang keras, air mata yang membeku, rasa malu yang berkurang, cinta dunia, dan angan-angan yang berlebihan.” [Sumber : Hilyah Al-Awliya wa Thabaqat Al-Asyfiya dan Tadzkiratul Auliya]

Exit mobile version