26 Tahun Reformasi Indonesia, Pengamat Nilai Lebih Parah dari Orde Baru

Ⓒ Hak cipta foto di atas dikembalikan sesungguhnya kepada pemilik foto

Ⓒ Hak cipta foto di atas dikembalikan sesungguhnya kepada pemilik foto

BANDA ACEH –  Pengamat Politik Ujang Komarudin mengatakan bahwa reformasi yang sudah berjalan di Indonesia sejak 21 Mei 1998, masih jauh dari harapan, bahkan lebih parah dari Orde Baru. Dia menyatakan bahwa masih banyak yang perlu diperbaiki untuk menuju Indonesia berkeadilan dalam enam aspek.

“Saya mengatakan lebih parah dari pada pemerintah dulu, walaupun memang kita kini sudah ada kebebasan pers, demokrasi sekarang ini berbicara bebas, tetapi itu kan hal-hal yang di jamin undang undang harus di jaga oleh negara ini,” katanya saat dihubungi Bisnis, Selasa (21/5/2024). 

ADVERTISEMENTS

Lebih lanjut, konteks reformasi yang dibahas akan dilihat dari enam agenda, di antaranya penegakan supremasi hukum; pemberantasan KKN; pengadilan mantan presiden Soeharto dan kroninya; amandemen konstitusi; pencabutan dwifungsi ABRI (TNI/Polri), dan; pemberian otonomi daerah seluas-luasnya.

ADVERTISEMENTS

Menurutnya jika berbicara soal reformasi, tentunya perlu untuk bersyukur karena berada di era reformasi, meski menurutnya saat ini reformasi tidak berjalan. 

ADVERTISEMENTS

Adapun secara rinci, enam agenda reformasi tersebut adalah:

ADVERTISEMENTS

1. Penegakan Supremasi Hukum

Dia menjelaskan bahwa saat ini penegakan hukum bisa dimainkan, bisa di acak-acak, lawan Politik jadi korban, jaringan penguasa yang berkasus diamankan penegakan hukumnya. 

ADVERTISEMENTS

“Kita kembali pada indikasi-indikasi pemerintahan yang lama walaupun tidak selalu mirip. Walaupun keliatan terbuka tapi kalau kita bicara konteks penegakan hukum, tentu lebih parah daripada Orde Baru,” ujarnya. 

ADVERTISEMENTS

Sementara itu, dia mengatakan bahwa jika bicara soal demokrasi maka selaras dengan penegakan hukum atau supremasi hukum, kalau demokrasinya ingin sehat, kuat dan bermartabat, penegakan hukumnya harus adil. 

“Nah di kita kan demokrasinya turun indeksnya walaupun kita keliatan baik-baik tapi [ternyata] tidak baik-baik, karena memang dalam penegakan hukumnya compang-camping, tebang pilih itu sehingga ya tadi antara penegakan hukum dengan demokrasi seiring, sejalan tapi karena penegakan hukumya compang-camping, maka demokrasi pun tadi hanya sekedar prosedural belum substansial hanya sekedar keliatan bagus tapi di dalamnya banyak kebobrokan yang harus diperbaiki,” ucapnya. 

Jadi, menurutnya jika bicara soal penegakan hukum atau supremasi hukum, hingga hari ini masih jauh dari harapan, karena saat ini penegak hukum pun masih bisa dimainkan untuk kepentingan politik. 

2. Pemberantasan Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN) 

Dia mengatakan bahwa untuk pemberantasan KKN saat ini tidak berjalan, justru menurutnya yang terjadi sekarang adalah oligarki semakin banyak, dinasti politik semakin tumbuh dan berkembang makin besar.

“Korupsinya juga makin merajalela, kalau dulu di jaman Orde Baru korupsi itu tersentral di keluarga presiden, kalau saat ini kan korupsi menjalar kemana-mana di setiap lembaga negara, di setiap kelompok, dan di setiap individu. Jadi kalau dulu itu korupsi itu di belakang meja gitu, sekarang ini korupsinya dengan meja-mejanya, lebih parah, makanya Mahfud MD mengatakan ketika jadi MenkoPolhukam, di tengok ke kanan-kiri, atas-bawah ya korupsi seperti itu. Jadi lebih parah,” ujarnya. 

Menurutnya, kebiasaan korupsi saat ini lebih parah, sehingga bangsa ini tidak berubah, KKN semakin banyak, baik di tingkat pusat maupun di daerah. 

3. Pengadilan Mantan Presiden Soeharto dan Kroninya

“Ya terhenti, pengadilan Soeharto kan gak jalan juga dan jangan lupa pemerintahan di masa SBY di masa Jokowi itu kan orang-orangnya Orde baru juga, yang menginginkan reformasi itu kan mahasiswa, tapi yang berkuasa itu kan tetap orang-orang Orde Baru juga jadi ya tidak pernah berubah sikap mental bangsa ini bahkan makin parah,” ucapnya. 

Menurutnya, soal pengadilan Presiden Soeharto dan keluarganya sampai saat ini tidak jelas, jadi dalam konteks itu hanya terus berkutat dalam persoalan yang tidak jelas sehingga dianggap main-main dan kacau. 

4. Amandemen Konstitusi

Dia mengatakan bahwa soal amandemen adalah kalau sudah di amandemen maka hanya perlu dijalankan dengan baik saja, karena itu sebenarnya adalah amanah. 

5. Pencabutan Dwifungsi ABRI (TNI/Polri)

Menurutnya, dwifungsi ABRI juga sudah di cabut dan tinggal dijalankan saja, tapi sekarang malah multifungsi polisi, TNI-nya kembali menjaga pertahanan negara, sekarang yang ikut politik justru polisi. 

“Bahkan bukan dwifungsi ABRI, sekarang polisi yang berkuasa bahkan multifungsi, kan menjadi persoalan juga,” ujarnya. 

Dia mengatakan bahwa yang satunya dikembalikan kepada fungsinya, dan polisi justru diberikan kewenangan untuk banyak mengurusi politik. 

6. Pemberian Otonomi Daerah Seluas-luasnya

Menurutnya, untuk saat ini pemberian otonomi daerah seluas-luasnya kacau balau. Dia mengatakan banyak daerah dikuasai oleh oligarki dan politik dinasti yang KKN-nya luar biasa besar. 

“Makannya yang ditangkap KPK itu kan anak, istrinya, suaminya yang menjadi bupati bersama-sama,” ujarnya. 

Kemudian menurutnya, masih banyak hal yang perlu dikoreksi, masih banyak kurang yang harus diperbaiki, mentalitas, pikiran, dan tindakan belum bisa berubah dari Orde yang lalu, maka kondisi bangsanya tidak pernah berubah. 

Exit mobile version