Karena bukan hanya seperti “pungguk merindukan bulan” menanti investasi Elon Musk dengan Tesla-nya membangun pabriknya di Indonesia, untuk sekedar mengambil komponen baterai EV-nya pun masih tanda tanya.
Padahal dulu sampai presiden kita sudah jauh-jauh sowan ke sana dan kemarin memperlakukannya sangat istimewa.
Posisi (ketidakberdayaan) Indonesia ini saya khawatirkan akan terus terjadi kalau awalnya sudah posisi begini, karena sebagaimana saya tulis sebelumnya, berdasarkan data Down Detector Starlink menggunakan satelit orbit rendah (LEO / Low Earth Orbital) yang masih menggunakan IP global. Hal ini berpotensi membahayakan data pribadi masyarakat dan kedaulatan negara.
Jelasnya Starlink sekarang sudah diizinkan beroperasi di Indonesia, namun masih belum menggunakan IP lokal. Jaringannya langsung tersambung ke Starlink di Amerika Serikat.
Dengan begitu, Pemerintah Indonesia tidak memiliki kontrol atas mereka. Sebagai informasi, alamat Internet Protocol (IP) adalah serangkaian angka yg menjadi identitas perangkat yang terhubung dengan jaringan.
IP ini juga dimiliki oleh komputer, ponsel, ataupun server dari website. Selain itu. penggunaan IP Global bisa memicu praktik perjudian online bisa makin menjamur di Indonesia. Ini karena IP nya tak memiliki NOC (Network Operating Control) di sini, sehingga tidak bisa bisa dicek langsung apalagi diintersepsi.
Indonesia sebenarnya mempunyai regulasi law interception, regulasi yang mengatur terkait dengan penyadapan. Hal ini tercantum dalam Peraturan Menteri (PM) Kemenkominfo No.08/2014.
Meski Menkominfo Budi Arie Setiadi dalam siaran live-nya di CNNI kemarin mengatakan kalau StarLink dijamin sudah menggunakan IP lokal, benar? Jangan-jangan ini seperti KPU yang waktu itu berani melakukan kebohongan publik dengan mengatakan data-data tidak disimpan di luar negeri, namun ternyata terbukti di sidang KIP, data-data -sesuai statement awal saya dahulu- disimpan di Aliyun Computing Co.Ltd Alibaba.com Singapore.
Kalau sumber penyimpanan datanya saja sudah bohong, wajar hasilnya pun tidak bisa dipercaya, namun sayangnya masyarakat bisa diperdaya.
Kesimpulannya, sebagaimana warning ATSI (Asosiasi Telepon Seluler Indonesia) dalam diskusi akhir tahun 2023 lalu yan sempat H2C/ harap-harap cemas, sekali lagi bukan H2SO4/ Samsul/ asam sulfat yang sempat jadi trending topic.
Kehadiran StarLink memang bak pisau bermata dua, bisa positif dan negatif. Beberapa syarat ATSI yang sempat diusulkan menurut saya bagus untuk dipertanyakan lagi agar dicapai level playing field yang sama. Misalnya StarLink harus memiliki izin Landing Right (hak labuh) dan memiliki NOC, juga harus membangun DRC (Disaster Recovery Center) di Indonesia, membayar biaya hak penggunaan (BHP) Telekomunikasi dan USO/ Universal Service Obligation. Apakah semua sudah dipenuhi? Kalau belum ya ambyar.
(Penulis adalah Pemerhati Telematika, Multinedia, AI & OCB)