BANDA ACEH – Draf revisi UU (RUU) Nomor 2/2002 tentang Polri terus menuai sorotan. Selain penambahan batas usia pensiun, dalam draf itu juga mengatur tentang kewenangan Polri dalam konteks fungsi keamanan negara. Yakni kewenangan pemblokiran, atau pemutusan dan perlambatan akses internet (ruang siber). Ketentuan itu diatur dalam pasal 16 ayat (1) huruf q draf RUU Polri. Hal itu merupakan tindak lanjut dari penambahan tugas pokok Polri dalam rangka pembinaan, pengawasan dan pengamanan ruang siber. ”Kewenangan ini sangat luas,” kata Hans G. Yosua dari KontraS.
Hans menjelaskan, kewenangan baru itu harus dipastikan tidak bertentangan dengan UU Perlindungan Data Pribadi (PDP). Selain itu, tidak melanggar hak privasi warga negara.
”Jangan sampai pembinaan dan pengawasan ruang siber ini berpengaruh terhadap digital integrity, digital safety dan digital security warga negara,” ujarnya.
Menurut Hans, kewenangan yang saat ini ada di bawah Kementerian Kominfo tersebut bisa memunculkan sejumlah risiko. Yakni potensi pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Berkaca pada kerusuhan Papua pada 2019 lalu, Polri memblokir akses internet dengan dalih membatasi hoaks. Pada 2020, PTUN memutuskan bahwa Presiden dinyatakan melanggar hak kebebasan informasi atas pemutusan akses internet itu.
Hans pun mempertanyakan konteks kewenangan pemblokiran akses ruang siber untuk keamanan negara. Menurutnya, konteks itu sangat luas dan bisa diterjemahkan oleh Polri sesuka hati. ”Kemungkinan terjadinya penyalahgunaan kewenangan sangat besar,” ungkapnya.
Terpisah, pakar hukum tata negara M Mahfud MD menilai revisi sejumlah undang-undang termasuk UU Polri dan UU TNI tidak ubahnya langkah untuk membagi-bagi kekuasaan di pemerintahan yang akan datang. Ada kesan kejar tayang dalam revisi sejumlah UU.
”Tujuannya bagi-bagi kekuasaan, kompensasi kue Politik bagi mereka yang dianggap berjasa atau untuk merangkul kembali,” ungkap Mahfud kemarin.
Mantan Menko Polhukam itu menyatakan bahwa langkah itu berpotensi menimbulkan dampak lain. Misalnya pengendalian kekuatan masyarakat sipil terkait kritik konstruktif bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Ini karena nantinya banyak hal dipagari dengan UU.
”Itulah sebenarnya salah satu contoh proses rule by law, bukan rule of law,” beber mantan Ketua MK itu.
‘ Kondisi itu, lanjut Mahfud, akan membuat pemerintahan yang berkuasa sulit untuk dilawan dan sulit dibantah lewat struktur hukum yang tersedia. Karena itu, Mahfud menilai wajar jika masyarakat berprasangka buruk dan merasa khawatir.
Di sisi lain, Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Achmad Baidowi belum mau berkomentar mengenai kewenangan baru Polri tersebut. Begitu pula anggota Komisi III Taufik Basari.
Saat dihubungi melalui pesan singkat, Achmad Baidowi menyerahkan sepenuhnya hal tersebut kepada Ketua Baleg DPR Supratman Andi Agtas. Supratman pun tidak membalas permintaan konfirmasi dari Jawa Pos.