Tantangan utama dalam menangani mogok kerja ini adalah menemukan titik temu antara kepentingan manajemen dan pekerja. Manajemen perusahaan memiliki tanggung jawab untuk menjaga keberlanjutan operasional dan profitabilitas perusahaan, sedangkan serikat pekerja berjuang untuk memastikan hak-hak dan kesejahteraan anggotanya terpenuhi. Ketegangan ini sering kali menghasilkan konflik yang sulit diselesaikan jika tidak ada upaya yang serius untuk memahami dan memenuhi kebutuhan kedua belah pihak.
Hambatan berikutnya adalah kurangnya transparansi dalam proses negosiasi. Sebagaimana diungkapkan oleh pemimpin serikat pekerja Samsung, Son Woomok, perusahaan seringkali mengumumkan kenaikan gaji tanpa melibatkan serikat pekerja dalam diskusi awal. Praktik ini menciptakan rasa ketidakadilan di kalangan pekerja, yang merasa bahwa suara mereka tidak didengar atau dihargai. Kurangnya transparansi ini memperburuk ketegangan dan membuat proses negosiasi menjadi lebih sulit dan panjang.
Selain itu, tantangan dalam mengelola ekspektasi dan persepsi publik juga tidak dapat diabaikan. Ketika aksi mogok kerja terjadi, media dan publik akan mengawasi dengan cermat perkembangan situasi ini. Citra perusahaan bisa rusak jika dianggap tidak peduli dengan kesejahteraan pekerja. Sebaliknya, serikat pekerja juga harus mempertimbangkan dampak dari aksi mogok terhadap pelanggan dan masyarakat luas yang mungkin bergantung pada produk dan layanan yang disediakan oleh Samsung. Tekanan dari berbagai pihak eksternal ini menambah kompleksitas dalam mencapai kesepakatan yang adil dan memuaskan.
Pendekatan yang inklusif dan kolaboratif memerlukan upaya lebih dari sekadar keinginan baik. Manajemen perlu mengambil langkah-langkah konkret untuk melibatkan serikat pekerja dalam setiap tahap proses pengambilan keputusan terkait kebijakan kompensasi dan kesejahteraan. Ini bisa dimulai dengan membuka saluran komunikasi yang lebih efektif dan mendengarkan masukan dari serikat pekerja secara rutin. Selain itu, perusahaan bisa mempertimbangkan untuk membentuk komite bersama yang terdiri dari perwakilan manajemen dan serikat pekerja untuk membahas isu-isu penting secara berkala. Dengan cara ini, keputusan yang diambil akan lebih transparan dan akuntabel, serta mencerminkan kepentingan semua pihak yang terlibat.
Namun, keberhasilan pendekatan ini juga sangat bergantung pada kesiapan dan sikap serikat pekerja. Serikat pekerja perlu bersikap proaktif dan konstruktif dalam negosiasi, bersedia mencari jalan tengah yang dapat diterima oleh manajemen. Sikap yang terlalu keras dan tidak kompromistis hanya akan memperpanjang konflik dan merugikan kedua belah pihak. Kunci keberhasilan adalah adanya saling pengertian dan komitmen untuk mencapai kesepakatan yang bermanfaat bagi semua.
Pada tataran yang lebih luas, pemerintah juga memiliki peran penting dalam memfasilitasi dialog antara manajemen dan serikat pekerja. Pemerintah dapat menyediakan mediasi independen yang dapat membantu kedua belah pihak mencapai kesepakatan. Selain itu, pemerintah juga bisa mengembangkan regulasi yang memastikan proses negosiasi berjalan adil dan transparan. Ini termasuk menetapkan standar minimum untuk keterlibatan serikat pekerja dalam proses pengambilan keputusan terkait upah dan kondisi kerja.
Dengan mengatasi tantangan dan hambatan ini melalui pendekatan yang inklusif, transparan, dan kolaboratif, diharapkan tercipta lingkungan kerja yang lebih harmonis dan produktif. Hal ini pada akhirnya akan mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan stabilitas industri di Korea Selatan. Pendekatan ini tidak hanya bermanfaat bagi perusahaan dan pekerja, tetapi juga bagi perekonomian nasional secara keseluruhan, karena menciptakan kondisi yang kondusif untuk pertumbuhan dan perkembangan yang berkelanjutan.[]
**). Penulis adalah Dosen UNTAG Banyuwangi