Seorang presiden terpilih, setelah menjabat, dan bersemangat untuk menetapkan agenda kebijakannya dan mengisi pemerintahan dengan orang-orang yang ditunjuk, akan terlibat dalam sejumlah keputusan dan kegiatan, beberapa di antaranya mungkin mengubah atau membatalkan tindakan pemerintahan sebelumnya.
Hasil penelitian menyebutkan, inti dari transisi jabatan mencakup sejumlah kegiatan, dimulai dengan perencanaan pra-pemilu dan berlanjut pada saat pelaksanaan. Proses tersebut perlu diawasi untuk memastikan terjadi secara transparan dan akuntabel.
Pada banyak kasus serupa, pada fase transisi presidensial memfasilitasi pembentukan administrasi baru dan mempersiapkannya untuk memerintah. Selain itu untuk merencanakan transisi, presiden membantu memastikan keamanan dan ketertiban negara.
Perpindahan kekuasaan yang lancar dan teratur pada umumnya merupakan ciri transisi pemerintahan republik, dan yang akan menjadi penguat bukti legitimasi dan daya tahan proses pemilu dan demokrasi.
Oleh karena itu, perlu dicermati munculnya ancaman bahaya adanya kerikil tajam dan tikungan tajam, antara aspek pelemahan pejabat petahana dengan aspek penyalahgunaan kekuasaan.
Dengan adanya polarisasi ini pada masa “bebek lumpuh”, maka perlu dilakukan pembentukan regulasi terhadap masa transisi pemerintahan secara singkat di Indonesia untuk meminimalisir penyimpangan dan penyalahgunaan yang dapat terjadi pada sistem pemerintahan yang sedang berjalan.
Pada akhirnya, pemerintahan “bebek lumpuh” bagaimanapun juga tidak akan bisa maksimal. Ujung-ujungnya yang dirugikan adalah rakyat itu sendiri. Sekaligus merupakan benalu yang mengganggu sehatnya pertumbuhan demokrasi, yang sekuat tenaga telah dijaga bersama segenap anak bangsa.
Adakah kita sudah siap mengantisipasi efek domino pemerintahan “bebek lumpuh”?
(Penulis adalah Wartawan Senior dan Pemerhati Masalah Sosial Budaya)