OLEH: ZAINAL BINTANG
SAAT ini pembuat undang-undang tengah mengalami periode “bebek lumpuh” (lame duck) atau masa transisi, yaitu saat eksekutif dan legislatif sudah terpilih tapi belum resmi menjabat.
Secara Politik, ini berarti eksekutif dan legislatif yang masih menjabat saat ini sebenarnya sudah tidak memiliki legitimasi. Karena itu, secara etik petahana tidak boleh lagi membuat kebijakan yang berdampak signifikan pada sistem bernegara. Ibarat penghuni sebuah rumah, mereka tidak boleh merusak rumah yang akan mereka tinggalkan untuk penghuni baru.
Repotnya, kerap terjadi pada masa lalu dan juga di negara-negara lain, justru pada masa inilah kesempatan itu diambil. Contohnya revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kitab Undang-undang Hukum Pidana dilakukan pada September 2019 dan memicu gerakan #reformasidikorupsi.
Waktu itu memang Presiden Joko Widodo hanya akan memasuki periode keduanya. Namun transisi bukan hanya soal pergantian orang, melainkan sebuah situasi di mana aktor-aktor politik dan warga lengah karena disibukkan dengan pergantian konfigurasi politik dan persiapan program kerja berdasarkan pemilihan umum yang baru berlangsung. (Bivitri Susanti, Harian Kompas, 6/6/2024).
Merujuk sumber, dikatakan dalam politik, yang dikategorikan sebagai “bebek lumpuh” atau lame duck, yakni politikus yang segera pergi (outgoing politician), adalah seorang pejabat terpilih yang penerusnya telah terpilih atau akan menggantikannya.
Seorang politikus yang segera pergi seringkali dipandang kurang berpengaruh dengan politikus lainnya karena waktu terbatas mereka meninggalkan jabatan. Sehingga, “bebek lumpuh” bebas untuk membuat keputusan untuk menjalankan kekuasaan-kekuasaan standar dengan kekhawatiran kecil dari konsekuensinya, seperti mengeluarkan perintah eksekutif, grasi atau fatwa kontroversial lainnya.
Politikus “bebek lumpuh” dihasilkan dari batas masa jabatan, pensiun yang direncanakan atau kekalahan pemilu, dan secara khusus dikenal saat sistem politik yang dibentuk menunda antara pengumuman hasil dan pengambilan jabatan oleh para pemenang pemilu.
Bahkan di tingkat lokal, para politikus yang tak terpilih kembali dapat kehilangan kredibilitas dan pengaruh. Proyek-proyek yang belum rampung dapat gagal di tengah jalan akibat pelucutan pengaruh mereka.
Dengan penjelasan di atas, maka tidak bisa tidak dikatakan, keberadaan pemerintahan transisi saat ini di Indonesia tidak bisa dihindari. Merupakan buah dari percaturan politik dengan aneka dinamika menyertainya. Keniscayaan lahirnya pemerintahan transisi, membuka ruang munculnya suatu fenomena politik yang melahirkan pemerintahan yang disebut “bebek lumpuh”.
Fakta tidak terbantahkan hari ini, bahwa Jokowi adalah presiden petahana hasil Pemilu 2019 yang dipasangkan dengan KH Ma’ruf Amin sebagai Wakil Presiden. Dan akan memerintah sampai Oktober 2024.
Pada saat yang sama sebelum masa jabatan Jokowi berakhir, telah hadir pula presiden yang baru terpilih hasil Pemilu 14 Februari 2024. Pasangan presiden dan wakil presiden baru, yaitu Prabowo Subianto dengan Gibran Rakabuming Raka selaku peraih suara terbanyak.
Pada periode “bebek lumpuh”, pada umumnya tim sukses pejabat terpilih terkadang tidak hanya mulai bergerak untuk melakukan persiapan transisi, akan tetapi seringkali ada juga secara tidak langsung melakukan intervensi politis.
Sebaliknya, ditemukan pula pejabat yang menggunakan periode “bebek lumpuh” sebagai sarana untuk mendapatkan dan memaksimalkan keuntungan yang dapat diperoleh selama masih menjabat karena mengetahui dirinya tidak lagi terpilih atau sudah memasuki masa purnabakti.
Kesempatan ini dimaksimalkan untuk memberikan keuntungan bagi dirinya dan tentu saja bagi kelompok pendukungnya. Pada sisi lain, pejabat yang sudah memasuki masa purnabakti tersebut dapat melakukan manuver tertentu. Dengan menggunakan berbagai kekuatan yang tersedia, baik presiden sebagai pejabat eksekutif maupun legislatif yang sedang menjabat, dapat menggunakan masa transisi untuk mencoba mengamankan warisannya atau mempengaruhi perubahan kebijakan.