Penulis: Andhika Wahyudiono**
SEKRETARIS Jenderal PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto mengkritik tindakan Wakil Presiden terpilih periode 2024-2029, Gibran Rakabuming Raka, yang membagikan buku tulis bersampul foto anaknya, Jan Ethes, kepada anak-anak Sekolah Dasar Negeri (SDN) Margorejo VI di Surabaya. Hasto berpendapat bahwa pemimpin yang bijak sebaiknya mendidik anak-anak dengan keteladanan melalui simbol-simbol pahlawan nasional. Kritik ini membuka diskusi penting mengenai pengaruh simbol dalam pendidikan karakter anak-anak.
Ketika Hasto Kristiyanto mengingat masa kecilnya, ia menyebutkan bahwa buku-buku yang ia terima saat itu bergambar pahlawan nasional seperti Pangeran Diponegoro, Jenderal Sudirman, Bung Karno, Bung Hatta, dan Raden Ajeng Kartini. Simbol-simbol ini dipandang sebagai representasi dari nilai-nilai keberanian, kepemimpinan, dan pengorbanan yang dapat menjadi teladan bagi anak-anak. Pahlawan nasional memiliki peran penting dalam membangun identitas nasional dan menanamkan nilai-nilai moral serta patriotisme pada generasi muda. Dengan menghadirkan gambar-gambar pahlawan ini pada buku-buku sekolah, diharapkan anak-anak dapat terinspirasi dan belajar dari kisah hidup para pahlawan tersebut.
Dalam konteks ini, kritik terhadap Gibran Rakabuming Raka berfokus pada penggunaan gambar Jan Ethes, cucu Presiden Joko Widodo, sebagai sampul buku. Penggunaan gambar anggota keluarga pejabat publik dalam materi pendidikan dapat dianggap kurang tepat karena dapat mengaburkan batas antara kepentingan publik dan pribadi. Sebagai figur publik, tindakan Gibran yang membagikan buku dengan gambar anaknya dapat dilihat sebagai upaya membangun citra pribadi atau keluarga di ruang publik yang seharusnya netral dan edukatif.
Selain itu, tindakan ini menimbulkan pertanyaan tentang pesan apa yang ingin disampaikan kepada anak-anak melalui simbol-simbol tersebut. Apakah gambar Jan Ethes, yang meskipun menggemaskan, dapat memberikan teladan yang sama kuatnya dengan gambar pahlawan nasional yang telah teruji oleh sejarah? Dalam hal ini, simbol-simbol memiliki kekuatan besar dalam membentuk persepsi dan nilai-nilai anak-anak. Gambar pahlawan nasional tidak hanya mengenalkan sejarah, tetapi juga menanamkan nilai-nilai keberanian, kejujuran, dan pengabdian.
Namun, di sisi lain, tindakan Gibran juga dapat dilihat dari perspektif yang lebih positif, yaitu sebagai upaya mendekatkan diri dengan masyarakat. Dengan membagikan buku, susu, dan gantungan kunci, Gibran berusaha menunjukkan kepedulian dan keberadaannya di tengah-tengah masyarakat. Anak-anak yang menerima hadiah tersebut mungkin merasa dihargai dan diperhatikan oleh figur publik yang mereka kenal.
Untuk mengatasi kritik ini, penting bagi pemimpin dan pejabat publik untuk mempertimbangkan dampak simbolik dari tindakan mereka. Penggunaan simbol dalam materi pendidikan harus diarahkan untuk mendukung tujuan pendidikan yang lebih besar, yaitu membentuk karakter dan nilai-nilai moral yang kuat. Dalam hal ini, simbol-simbol pahlawan nasional tetap relevan dan penting sebagai teladan yang dapat menginspirasi anak-anak.
Secara keseluruhan, kritik Hasto terhadap tindakan Gibran menyoroti pentingnya pemilihan simbol yang tepat dalam pendidikan karakter. Penggunaan simbol-simbol pahlawan nasional sebagai bahan pendidikan dapat membantu menanamkan nilai-nilai positif pada generasi muda. Namun, ada beberapa tantangan dan hambatan yang harus dihadapi dalam upaya ini.
Salah satu tantangan utama adalah bagaimana memastikan bahwa simbol-simbol yang digunakan dalam pendidikan benar-benar relevan dan mampu menginspirasi anak-anak. Tidak semua simbol pahlawan nasional mungkin memiliki resonansi yang sama bagi setiap generasi. Anak-anak masa kini hidup dalam konteks yang sangat berbeda dengan masa lalu, sehingga ada kebutuhan untuk memperbarui dan mengontekstualisasikan simbol-simbol tersebut agar tetap relevan dan inspiratif. Misalnya, cara pahlawan nasional disajikan dalam buku-buku dan materi pendidikan harus disesuaikan dengan gaya belajar dan minat anak-anak masa kini, termasuk penggunaan teknologi dan media digital.
Selain itu, ada hambatan dalam hal keterbatasan pengetahuan dan pemahaman guru serta orang tua tentang nilai-nilai yang ingin disampaikan melalui simbol-simbol tersebut. Pendidikan karakter melalui simbol-simbol pahlawan nasional memerlukan dukungan dari seluruh ekosistem pendidikan, termasuk guru dan orang tua. Namun, jika para guru dan orang tua sendiri tidak memiliki pemahaman yang mendalam tentang sejarah dan nilai-nilai yang diwakili oleh para pahlawan, maka pesan yang disampaikan kepada anak-anak bisa menjadi kurang efektif. Oleh karena itu, diperlukan program pelatihan dan peningkatan kapasitas bagi para pendidik dan orang tua untuk memastikan bahwa mereka mampu mengkomunikasikan nilai-nilai tersebut dengan baik.
Hambatan lain adalah potensi munculnya persepsi negatif atau konflik kepentingan, terutama ketika figur publik terlibat dalam kegiatan pendidikan. Seperti yang terlihat dalam kritik Hasto terhadap Gibran, tindakan yang mungkin dimaksudkan sebagai upaya kepedulian sosial dapat dipersepsikan berbeda oleh publik. Ketika figur publik membagikan materi pendidikan yang menampilkan gambar anggota keluarga mereka, hal ini dapat dianggap sebagai bentuk promosi pribadi atau keluarga, yang berpotensi merusak kepercayaan publik. Untuk mengatasi hal ini, figur publik harus berhati-hati dan bijaksana dalam memilih cara mereka berkontribusi terhadap pendidikan, memastikan bahwa tindakan mereka murni untuk kepentingan masyarakat tanpa ada unsur kepentingan pribadi.
Selain itu, tantangan lainnya adalah menjaga keseimbangan antara penggunaan simbol-simbol tradisional dengan kebutuhan untuk mengenalkan simbol-simbol baru yang relevan. Meskipun pahlawan nasional memiliki nilai sejarah yang penting, ada juga kebutuhan untuk mengenalkan figur-figur inspiratif masa kini yang dapat menjadi teladan bagi anak-anak. Ini termasuk tokoh-tokoh dari berbagai bidang seperti ilmu pengetahuan, seni, dan olahraga yang juga membawa nilai-nilai positif dan relevan dengan dunia modern. Menyeimbangkan antara penghormatan terhadap warisan sejarah dan pengenalan simbol-simbol baru adalah tantangan yang perlu dihadapi dalam pendidikan karakter.
Akhirnya, ada juga hambatan dalam bentuk resistensi terhadap perubahan dari berbagai pihak yang mungkin merasa nyaman dengan status quo. Mengubah cara simbol-simbol pendidikan disajikan memerlukan upaya dan waktu, serta komitmen dari berbagai pihak termasuk pemerintah, sekolah, dan masyarakat. Untuk mengatasi resistensi ini, diperlukan pendekatan yang inklusif dan partisipatif, melibatkan berbagai stakeholder dalam proses perubahan agar mereka merasa memiliki dan mendukung inisiatif tersebut.
Secara keseluruhan, pendidikan karakter melalui simbol-simbol yang tepat memerlukan pendekatan yang hati-hati dan strategis. Tantangan dan hambatan yang ada harus dihadapi dengan solusi yang kreatif dan kolaboratif, memastikan bahwa tujuan utama yaitu membentuk generasi muda yang berintegritas dan berjiwa patriotik dapat tercapai dengan efektif.
**). Dosen UNTAG Banyuwangi