Oleh: Damai Hari LubisPengamat Hukum & Politik Mujahid 212
Seandainya, Anies Baswedan, benar mau menerima kandidat pasangan bakal cawagubnya di Pilkada DKI Jakarta 2024/ DKI 1. adalah Kaesang atau sosok lain dari partai yang nota bene merupakan kelompok yang sudah menyatakan anti ide perubahan dan nyata-nyata mendiskreditkan golongan muslim sebagai kelompok terbesar di tanah air dengan penyebutan diskriminatif politik identitas.
Oleh karenanya, andai Anies menerima bakal pasangannya dari kelompok anti perubahan dan kerap diskriminatif, yang hakekatnya justru berpandangan negatif terhadap Anies yang merupakan bagian dari golongan mayoritas. Maka bisa jadi bakal ada penyematan oleh sebagian besar perspektif publik bahwa Anies seorang berkarakter BIADAB, dalam arti tidak konsisten terhadap yang Ia nyatakan dan Ia perbuat atau MUNAFIK serta sebaliknya akan memunculkan tengara buruk publik daripada eks konstituennya dalam Pilpres 2024 maupun eks pemilih saat pilgub DKI 1 Anies ternyata memiliki faktor “mens rea politics”.
Namun pastinya, sebuah laju dan fenomena politik, merupakan peristiwa kasuistis, sehingga mesti dihadapi dengan cara realistis.
Artinya politik kadang bahkan sering dalam prakteknya, ada peristiwa kondisional yang tidak diharapkan, dan pola mengatasinya tentu fleksibel atau kompromistis, artinya tidak bisa harga mati.
Sehingga fenomena praktek politik pilpres 2024 dapat menjadi sebuah ilustrasi sejarah politik, dimana ada “kedekatan semu” antara pasangan 01 dan 03, yang kemudian diikuti perilaku grassroot yang nampak fragmatis di berbagai media sosial, dikarenakan merasa memiliki persamaan nasib, demi melawan cawe-cawe Jokowi, sehingga “seolah ingin bersama menyatu dalam perjuangan, walau beda prinsip, ‘demi sekedar mengalahkan’ Jokowi”.
Walau andaikata berhasil, model persekutuan temporer dimaksud pada pilpres 2024, akhirnya akan berbuah pertarungan antara mereka pada putaran kedua antara 01 melawan 03, jika kemarin mereka (01- 03) lolos putaran pertama pada pilpres 2024.
Sepertinya perlu dipikirkan, baiknya Anies tetap konsisten dengan track menuju ide perubahan yang ia gagas. Ide yang bukan sekedar main-main data empirik membuktikan, masyarakat bangsa ini antusias termasuk para tokoh ulama melalui ijtimak ulama, sebagai tanda ketertarikan terkait perubahan terhadap model kekuasaan rezim kontemporer, karena umumnya memang dirasakan amat membutuhkan perubahan di banyak sistim, utamanya keprihatinan pertumbuhan mentalitas bangsa, yang nampak realitas amat rapuh dan terpuruk.
Jika pun Anies merasa punya alasan politik bakal tetap dalam kerangka ide perubahan, sebaiknya dalil-dalil argumentasi (latarbelakang) politiknya, agar diutarakan lebih dulu langsung kepada publik warga Jakarta, salah satunya melalui Imam Besar Dr. Habib Rizieq Shihab, selaku salah seorang sosok tokoh ulama terbesar dan legendaris, pendukungnya dalam 2 kali pemilu, yang masih tetap eksis, yakni pilkada DKI Jakarta 2017 dan pilpres 2024. Jika hal ini tidak dilakukan maka apakah Anies memang “memiliki faktor mens rea ?”
Untuk itu, Anies sebaiknya atau tidak ada salahnya berkonsultasi lebih dulu kepada Beliau Sang Imam Besar, perihal dasar berfikir dan alasan dirinya akan maju kembali pada Pilkada DKI Jakarta 2024, lalu ingin berpasangan dengan seorang sosok yang berasal dari kelompok anti perubahan yang juga diskriminatif.
Lalu, atas hasil konsul dimaksud, berikut catatan-catatan, maka apapun prinsip hasil konsulnya, Anies ideal untuk mengikuti. Jika Anies hanya sekedar berdiskusi dengan para sosok ulama kawe-kawe mirip “makelar”, lalu hadir menodong dukungan Sang Imam Besar, dengan alasan ide pencalonan sudah dijajaki sejak lama, disertai aproach/ pendekatan kepada partai-partai sehingga sudah mengantongi partai-partai politik.
Tentunya pola pendekatan demikian, indikasi “pemojokkan” dan mirip pemaksaan, lalu direstui namun sekedar dan oleh sebab dari sisi kebebasan HAM sebagai memang hak individual Anies sebagai WNI yang ingin turut berkompetisi dalam pilkada.