Di Masa Orde Lama Orang Takut Naik Haji, Khawatir Dituding Simpatisan Masyumi

Ⓒ Hak cipta foto di atas dikembalikan sesungguhnya kepada pemilik foto

Ⓒ Hak cipta foto di atas dikembalikan sesungguhnya kepada pemilik foto

Saat itu Asrul mengalami pergolakan batin luar biasa. Menurut Misbach (wawancara dengan penyusun buku pada 6 Mei 2010), pada hari akan mengambil paspornya di Departemen Luar Negeri, Asrul menawarkan kepada Misbach untuk menggantinya berhaji ke Tanah Suci. Misbach menolak, Asrul berangkat– dan mengalami pergolakan batin istimewa yang tidak terduga di depan Kakbah, yang juga dimuat dalam buku itu. Kementerian Agama (Kemenag) mencatat, tahun ini Indonesia memberangkatkan 241 ribu jemaah haji. Antusiasme untuk beribadah haji dalam masyarakat Indonesia memang tinggi. Waktu tunggu dari pendaftaran hingga berangkatnya seorang jamaah yang kini bahkan telah melampaui angka 15, bahkan 20-an tahun, tidak menyurutkan tekad warga untuk berhaji! Tapi percayakah bahwa ada masa ketika rakyat Indonesia ngeri untuk beribadah haji karena kuatir dituding anggota atau simpatisan partai yang dilarang pemerintah?

Itu terjadi di era Orde lama alias Orla, terutama setelah pembubaran Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) dan Partai Sosialis Indonesia (PSI) tahun 1960. 

Dukungan bukti akan hal itu tercatat dalam “Naik Haji di Masa Silam”: Buku 3, 1954-1964”, yang disusun Henri Chambert-Loir. Di sana diungkap, bagaimana sastrawan-seniman-tokoh film terkemuka Asrul Sani, anggota NU dan salah seorang pelopor “humanisme universal”. Jelas, Asrul telah lama menjadi sasaran orang-orang komunis saat itu (PKI).

Apalagi pada 1963 itu, bersama Djamaludin Malik, salah seorang tokoh terkemuka dalam produksi perfilman Indonesia, Asrul memutuskan akan memproduksi sebuah film tentang ibadah haji. Keputusan itu jelas juga sebuah tindakan Politik yang bertujuan menegaskan nilai-nilai agama Islam dalam menghadapi propaganda komunis yang semakin agresif. Film yang direncanakan Djamaludin itu akan berjudul “Tauhid”, diproduksi Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi)—ormas kesenian, anak organisasi NU– dengan dana dari Kementerian Agama dan Kementerian Penerangan. Asrul Sani dipilih sebagai sutradara, dibantu Misbach Yusa Biran.

Agar “afdhal”, Asrul direncanakan diberangkatkan untuk naik haji pada 1963. Pengambilan gambar akan dilaksanakan pada musim haji berikutnya, 1964. 

Namun, saat itu Asrul mengalami pergolakan batin luar biasa. Menurut Misbach (wawancara dengan penyusun buku pada 6 Mei 2010), pada hari akan mengambil paspornya di Departemen Luar Negeri, Asrul menawarkan kepada Misbach untuk menggantinya berhaji ke Tanah Suci. Misbach menolak, Asrul berangkat– dan mengalami pergolakan batin istimewa yang tidak terduga di depan Kakbah, yang juga dimuat dalam buku itu. 

Film itu kelar memang. Namun menurut kenangan Misbach, distribusi dan ketertontonan “Tauhid” sangat jelek. Itu karena para pengelola dan pemilik bioskop masa itu bersikap hati hati sekali, dan takut filmnya akan dicap anti-Revolusi. Tambahan lagi pada masa-masa sebelum 1965 itu, orang-orang yang berminat naik haji terbatas pada masyarakat kelas bawah. Kelas menengah tidak bersemangat dan hati-hati. “Takut dicap Masyumi,”kata Misbach. 

Orde Baru memang segera merombak situasi itu. Jumlah jemaah haji melonjak pada awal tahun 1970-an: 14.052 tahun 1971 (naik 51 persen dari tahun sebelumnya), 22.344 tahun 1972 ( naik 59 persen), 44.582 tahun 1973 (atau naik 100 persen); 76.038 pada 1989, terus sampai dua ratusan ribu saat ini. 

Di masa pra-kemerdekaan, jumlah jamaah haji pada akhir 1800-an melonjak, hingga mencetak rekor pada 1896 dengan jumlah 10.000 orang. Snouck Hurgronje (sekitar tahun 1885) mengomentarinya sebagai “lonjakan luar biasa jumlah jemaah.” Rekor berikutnya tercatat pada 1927, sebanyak 52.000 atau barangkali 64.000 jemaah. Angka luar biasa ini disebabkan dua faktor, sebagaimana diamati Hamka: “Berita kemenangan Tanah Hejaz di tangan Ibnu Sa’ud, dan kenaikan harga getah (karet), semua menyebabkan orang banyak naik haji.” 

Saat Orla, yang terjadi justru penurunan. Tahun 1958 misalnya, hanya  direncanakan keberangkatan 8.280 jemaah dengan empat. Namun karena dua kapal tidak dapat berangkat akibat peraturan baru di bidang pelayaran, jemaah yang bisa berangkat hanya 6.874 orang.

Exit mobile version