Kamis, 04/07/2024 - 22:28 WIB
IndonesianArabicEnglishRussianGermanFrenchChinese (Simplified)JapaneseMalayHindi

TERBARU

ISLAM

Meniru Sifat Kepemimpinan Nabi

JAKARTA — Dalam fikih siyasah Islam, dasar kebijakan dan tindakan pemimpin adalah kemaslahatan umum. Dikatakan, “tasharruf al-imam `ala al-ra`iyyah manuthun bi al-mashlahah.” Tindakan pemimpin atas rakyat terikat oleh kemaslahatan umum. Jadi, pemimpin wajib bertindak tegas demi kebaikan bangsa, bukan kebaikan diri dan kelompoknya semata.

Kaidah tersebut diturunkan dari moral kepemimpinan Nabi Muhammad SAW, seperti diterangkan dalam Alquran. Firman Allah dalam surah at-Taubah ayat 128, artinya, “Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.”

Sekurang-kurangnya, ada tiga sifat kepemimpinan yang ditampilkan Rasulullah SAW, yakni berdasarkan keterangan ayat di atas.

Pertama, “azizin alaihi ma anittum” (berat dirasakan oleh Nabi SAW penderitan orang lain). Dalam bahasa modern, sifat ini disebut sebagai sense of crisis, yaitu kepekaan pada kesulitan rakyat. Hal itu ditunjukkan dengan kemampuannya bersimpati dan berempati pada pihak-pihak masyarakat yang kurang beruntung.

Berita Lainnya:
Anak dan Istri Makan Hasil Judi Online Suami, Apakah Ikut Berdosa?

 

Empati berarti kemampuan memahami dan merasakan kesulitan orang lain. Itu lantas mendorong simpati, yaitu dukungan, baik moral maupun materiel, untuk mengurangi penderitaan orang yang mengalami kesulitan.

Kedua, “harishun `alaikum” (amat sangat berkeinginan agar orang lain aman dan sentosa). Dalam bahasa modern, sifat ini dinamakan sense of achievement, yaitu semangat yang mengebu-gebu agar masyarakat meraih kemajuan. Tugas pemimpin memang menumbuhkan harapan dan membuat peta jalan menuju harapan itu.

Berita Lainnya:
Amalan yang Paling Dicintai Allah

Terakhir, “raufun rahim” (pengasih dan penyayang). Allah SWT memiliki sifat Maha-pengasih dan Maha-penyayang. Rasulullah SAW juga seorang yang pengasih dan penyayang.

Kaum Mukminin wajib pula meneruskan kasih sayang Allah dan Rasul SAW itu dengan mencintai dan mengasihi sesama manusia. Kasih sayang (rahmah) adalah pangkal kebaikan. Tanpa kasih sayang, sulit dibayangkan seseorang bisa berbuat baik. Sabda Nabi, “Orang yang tak memiliki kasih sayang, tak bisa diharap kebaikan darinya.”

Menurut tokoh modernis Islam Rasyid Ridha, tiga moral di atas wajib hukumnya ada bagi sosok pemimpin. Sebab, tanpa ketiga moral itu, seorang pemimpin bisa dipastikan tidak bekerja untuk rakyat, tetapi demi kepentingan diri, keluarga, dan kelompoknya saja.

sumber : Hikmah Republika oleh A Ilyas Ismail

Sumber: Republika


Reaksi & Komentar

وَرَبُّكَ الْغَفُورُ ذُو الرَّحْمَةِ ۖ لَوْ يُؤَاخِذُهُم بِمَا كَسَبُوا لَعَجَّلَ لَهُمُ الْعَذَابَ ۚ بَل لَّهُم مَّوْعِدٌ لَّن يَجِدُوا مِن دُونِهِ مَوْئِلًا الكهف [58] Listen
And your Lord is the Forgiving, full of mercy. If He were to impose blame upon them for what they earned, He would have hastened for them the punishment. Rather, for them is an appointment from which they will never find an escape. Al-Kahf ( The Cave ) [58] Listen

Berita Lainnya

Tampilkan Lainnya Loading...Tidak ditemukan berita/artikel lainnya.
IndonesianArabicEnglishRussianGermanFrenchChinese (Simplified)JapaneseMalayHindi