Sikap Orba dalam Peristiwa Kudatuli Cermin Pemerintah Sekarang
NASIONAL
NASIONAL

Sikap Orba dalam Peristiwa Kudatuli Cermin Pemerintah Sekarang

ADVERTISMENTS
Iklan Ucapan Selamat Hari Raya Idul Fitri 1446 H dari Bank Aceh Syariah
image_pdfimage_print

BANDA ACEH -Kerusuhan 27 Juli 1996 atau Kudatuli merupakan peristiwa kelam  sebagai bagian dari sikap represif pemerintah Orde Baru (Orba) saat itu.

ADVERTISMENTS

Direktur Eksekutif Amnesty International, Usman Hamid menjelaskan bahwa serangan terhadap kantor PDI pada 27 Juli 1996 seharusnya disebut “raid” atau penyerangan, bukan “riot” atau kerusuhan. 

“Istilah serangan itu, itu menunjukkan ada satu pihak dari otoritas keamanan bersama sekelompok preman yang secara sengaja menggunakan kekerasan, menyerang sekretariat PDI, dan menggunakan kekerasan untuk menyingkirkan seluruh orang-orang yang ada di sana,” kata Usman dalam diskusi publik peringatan 28 tahun Kudatuli, bertajuk “Kami Tidak Lupa” di kantor pusat partai di Jalan Diponegoro, Menteng, Jakarta Pusat, pada Sabtu (20/7). 

ADVERTISMENTS

Usman menambahkan bahwa serangan tersebut bertujuan untuk menyingkirkan kepemimpinan Megawati Soekarnoputri, sebagai bagian dari upaya penyingkiran oposisi Politik

Berita Lainnya:
Brigadir Ade Kuniawan Ditetapkan jadi Tersangka Kasus Pembunuhan Bayi Hasil Hubungan Gelap

“Jadi, sampai di titik itu, jelas peristiwa 27 Juli adalah peristiwa yang lahir sebagai produk dari intervensi politik kekuasaan, termasuk politik kekerasan negara berupa pengambilalihan paksa dan penangkapan, penyerangan, dan lain-lain gitu,” tegasnya.

ADVERTISMENTS

Dia juga menekankan keterlibatan aparat keamanan dalam serangan tersebut, meskipun beberapa menggunakan seragam sipil. 

“Tetapi, kalaupun aparat TNI misalnya menggunakan seragam sipil, aparat kepolisian juga masih jelas menggunakan seragam resmi dan ikut melakukan penyerangan atau pembubaran aksi mimbar bebas yang ada di dalam areal kantor PDI ketika itu,” ungkapnya.

Peristiwa tersebut memicu kemarahan masyarakat yang ditunjukkan melalui protes di berbagai lokasi seperti Senen, Kramat, Menteng, dan Jalan Diponegoro. 

Rekayasa politik pemerintah itu, kata Usman, terlihat jelas dengan menggusur kepemimpinan oposisi, yang memicu protes keras di berbagai tempat

Berita Lainnya:
Dulu Bergelimang Harta, Saldo ATM Nunung Kini Hanya Rp 251 Ribu, Ini Reaksi Melaney Ricardo

Menurutnya, peristiwa 27 Juli juga menjadi pemicu gelombang penculikan dan penghilangan paksa, dimulai dengan aktivis PRD dan penculikan Wiji Thukul. 

Gelombang pertama penculikan dimulai dari peristiwa 27 Juli, diikuti oleh gelombang kedua pada sidang umum MPR tahun 1998.

“Gelombang ketiga penculikan dan penghilangan paksa terjadi pada bulan Mei ketika saksi-saksi kunci yang melihat keterlibatan aparat itu disingkirkan, dieliminasi,” jelasnya. 

Atas dasar itu, Usman Hamid menegaskan bahwa peristiwa 27 Juli merupakan cerminan intervensi kebijakan politik dan keamanan pemerintah untuk memperpanjang kekuasaan dan menyingkirkan lawan politik, mirip dengan situasi politik saat ini. 

“Persis seperti pemerintah sekarang ini yang mencoba memperpanjang periode kepresidenannya atau memperpanjang pemerintahannya, menunda pemilunya, dan menyingkirkan lawan-lawan politiknya dengan menjadikan hukum sebagai alat kekuasaan,” demikian Usman. 

Reaksi & Komentar

Berita Lainnya

ADVERTISMENTS