Utang Pemerintah Era Jokowi Melambung, Faisal Basri: Itu Belum Termasuk Pinjaman BUMN

Ⓒ Hak cipta foto di atas dikembalikan sesungguhnya kepada pemilik foto

Ⓒ Hak cipta foto di atas dikembalikan sesungguhnya kepada pemilik foto

BANDA ACEH – Pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi akan mengakhiri 10 tahun masa kepemimpinan. Menjelang masa jabatannya usai, utang pemerintah telah menembus Rp 8,3 kuadriliun. Data terakhir APBN Kementerian Keuangan mencatat, posisi utang pemerintah mencapai Rp 8.335 triliun per April 2024.Ekonom senior Faisal Basri mengatakan angka tersebut hanya menghitung utang dalam bentuk Surat Berharga Negara (SBN) dan pinjaman luar negeri. Belum termasuk utang Badan Usaha Milik Negara atau BUMN.

“Utang-utang lain masih ada, misalnya utang pemerintah untuk bayar pensiun, utang ke BUMN yang belum dibayar, kalau dijumlah itu sudah 45 persen dari PDB (Produk Domestik Bruto),” ujar Faisal Basri ditemui di Jakarta, Jumat, 26 Juli 2024.

Hingga Juni 2024, rasio utang pemerintah telah mencapai 39,13 persen terhadap PDB. Namun jika menghitung pinjaman lain, Faisal Basri meyakini rasio utang telah melampaui angka tersebut.

Faisal Basri mengatakan argumen utang untuk pembiayaan infrastruktur juga perlu ditelaah. Karena sebagian besar infrastuktur itu justru meningkatkan utang BUMN yang ditugaskan. Kalau ditambah utang BUMN, itu juga akibat ulah Jokowi,

Utang BUMN yang melambung, menurut Faisal Basri, disebabkan Jokowi yang menugasi perusahaan negara melebihi dari kapasitasnya. “Kan mulai kelabakan sekarang, Wijaya Karya, macam-macam, itu tidak kelihatan di utang pemerintah (yang disebutkan),” ujarnya.

Pengelolaan anggaran, menurut Faisal Basri, juga sembrono. Ia mencontohkan anggaran subsidi yang tidak transparan, karena dana kompensasi dihitung terpisah. Faisal Basri mengatakan dana kompensasi akan muncul dari laporan keuangan pemerintah pusat (LKPP) dan penghitungannya tidak teratur. 

Data LKPP menunjukkan pembayaran kompensasi tahun sebelumnya. “Akibatnya, Pertamina dan PLN jadi kesulitan cashflow,” kata dia.

Beban utang menggunung menurut Faisal Basri, juga memberatkan APBN karena harus membayar beban bunga utang yang tinggi. Pembayaran bunga pinjaman telah memakai porsi sekitar 20 persen dana APBN pada 2023 dan 2024.

Exit mobile version