Otak-Atik Peraturan, Liberalisme Tambah Takaran

Ⓒ Hak cipta foto di atas dikembalikan sesungguhnya kepada pemilik foto

Ⓒ Hak cipta foto di atas dikembalikan sesungguhnya kepada pemilik foto

PP Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang (UU) Nomor 17 tentang Kesehatan itu mencakup beberapa program kesehatan termasuk kesehatan sistem reproduksi, resmi diketok palu tanggal 27 Juli 2024 lalu, pada pasal 103 mengenai upaya kesehatan sistem reproduksi usia sekolah dan remaja memunculkan polemik khususnya Ayat (4) butir “e” yaitu penyediaan alat kontrasepsi.

ADVERTISEMENTS

Banyak pihak menanyakan apa pentingnya remaja usia sekolah disediakan alat kontrasepsi? Apakah ini sama artinya dengan bolehnya mereka melakukan seks bebas dengan pengaman?

ADVERTISEMENTS

Salah satu yang meminta PP ini direvisi adalah Netty Prasetiyani, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (RI) di Komisi IX yang membidangi kesehatan dan kependudukan. Ia mengatakan  pernyataannya dalam  PP bisa  menimbulkan anggapan pembolehan hubungan seksual pada anak usia sekolah dan remaja.

ADVERTISEMENTS

Anggota  Partai Keadilan Sejahtera itu juga menanyakan remaja mau dibekali alat kontrasepsi apakah dengan maksud untuk memfasilitasi hubungan seksual di luar pernikahan? Juga perlu diperjelas apa maksud dan tujuan dilakukan  edukasi perilaku seksual yang sehat, aman dan bertanggungjawab (pasal 103 ayat 2).  Apakah ini mengarah pada pembolehan seks sebelum nikah asal bertanggungjawab?

ADVERTISEMENTS

Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Hasto Wardoyo, merasa perlu pihaknya “ duduk bersama” dengan kementerian kesehatan dan  juga dengan berbagai pakar termasuk tokoh agama untuk merumuskan aturan tersebut secara teknis. Sebab pihaknya selama ini untuk pemberian alat kontrasepsi hanya menyasar pasangan suami istri atau yang dirujuk sebagai “pasangan usia subur”.

ADVERTISEMENTS

Adapun untuk usia sekolah dan remaja, hanyalah  pemberian edukasi mengenai seks dan kesehatan reproduksi dan bukannya pemberian alat kontrasepsi.

Berbeda lagi dengan Aktivis dan konsultan gender, Tunggal Pawestri, ia menyatakan tidak perlu ada kekhawatiran yang berlebihan mengenai pelaksanaan PP tersebut. Sebab di Indonesia hampir semua hal dikaitkan dengan agama, padahal faktanya data di lapangan banyak remaja yang sudah aktif secara seksual, apakah kita masih akan menutup mata? Peraturan pemerintah ini sungguh diperlukan, mengingat tingginya angka kehamilan tidak diinginkan yang juga berpengaruh terhadap tingginya stunting, pungkas Tunggal.

Semakin membingungkan,  Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi,  menegaskan pelayanan kontrasepsi bukan untuk semua remaja melainkan remaja yang sudah menikah tetapi menunda kehamilan hingga umur yang aman untuk hamil”. Kondom tetap untuk yang sudah menikah. Usia sekolah dan remaja tidak perlu kontrasepsi. Mereka harusnya abstinensi [tidak melakukan kegiatan seksual].

Poin di sini menurut Nadia adalah karena kesehatan reproduksi itu mengikuti kebutuhan siklus kehidupan. Setiap siklus kehidupan, kebutuhan akan kesehatan reproduksi berbeda.  Banyak remaja yang sudah menikah di usia 15 tahun, mereka adalah sasaran di di Pasal 109 yang berisi pelayanan kontrasepsi bagi PUS [pasangan usia subur] dan kelompok usia subur yang beresiko. Jadi bukan untuk semua remaja.

Banyak Peraturan Nol Hasil

Pemerintah kita dalam menangani satu kasus selalu memunculkan banyak peraturan, sekaligus memunculkan banyak polemik. Apalagi jika bukan karena pasal karet, yang ambigu dan multitafsir. Terkait kesehatan reproduksi, pada tahun 2012, Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi bermaksud  membuat terobosan dengan kampanye penggunaan kondom dan membagikannya ke sekolah-sekolah menengah atas, mengingat jumlah orang yang terinfeksi HIV di Indonesia saat itu  cukup besar yakni 1,8 juta jiwa.

Jika kali ini terjadi lagi sungguh tidak mengherankan, apalagi ditambahkan bahwa solusi ini untuk menurunkan angka Stunting, lebih tidak masuk akal lagi. Yang tampak justru pengurusan negara yang setengah hati kepada rakyatnya. Namun apa hendak dikata kita memang ada dalam sistem kapitalisme demokrasi, yang tidak pernah bisa melahirkan pemimpin amanah meski mereka muslim.

Sebenarnya ada beberapa hal yang menjadi fokus dalam hal ini yaitu pernikahan, pergaulan dan kesejahteraan agar tak muncul stunting yang memang masih menjadi PR bagi negara, secara dampak, angkanya terus meroket. Kasus terus bermunculan.  Namun dengan sistem hari ini yang berbasis sekular atau memisahkan agama dari kehidupan adalah hal yang mustah bisa selesai secara tuntas. Yang ada malah timbul masalah baru yang semakin merusak.

Kontrasepsi Untuk Anak Sekolah dan Remaja Perkuat Liberalisasi Perilaku

Liberalisasi perilaku kian kuat dikampanyekan oleh pemerintah, setiap bagiannya jika tidak beradu argumen seringkali menghindar dari tuduhan masyarakat.

Padahal, kewajiban menyediakan layanan kesehatan reproduksi salah satunya dengan menyediakan kontrasepsi untuk anak sekolah dan remaja atas nama seks aman akan mengantarkan pada liberalisasi perilaku. Membebaskan tanpa hambatan yang akan membawa kerusakan pada masyarakat. Meski diklaim aman dari persoalan kesehatan, namun akan menghantarkan kepada perzinahan yang hukumnya haram.

Aturan ini meneguhkan Indonesia sebagai negara sekuler yang mengabaikan aturan agama. Kerusakan perilaku akan makin marak dan membahayakan masyarakat dan peradaban manusia, terlebih negara juga menerapkan sistem pendidikan sekuler, yang menjadikan kepuasan jasmani sebagai tujuan.

Penguatan karakter Pancasila yang digadang mampu mencetak generasi berkualitas, tak ada evaluasi samasekali, sebab memang tumpul dari menghadang faktor-faktor perangsang perilaku bebas. Tontonan pornoaksi dan pornografi kian marak, pemerintah keok melindungi dari predator seks online, bahkan undang-undang pornografi hanya bisa menjerat mucikari dan bukan pelaku. Apalagi jika perbuatan seks dilakukan suka sama suka, yang melaporkan malah jadi tersangka.

Sistem pergaulan juga sangat miris, tak ada pelarangan gender. Semua bisa berubah menjadi pria atau wanita sesuka hati, tanpa batasan. Bahkan tanpa beragama pun tak menjadi soal. Banyak konten yang menunjukkan betapa parah orientasi seksual hari ini, tak hanya pada jenis kelamin tapi sudah sistem pergaulan.

Sekulerisme Menghinakan Manusia, Islam Memuliakan

Tentu harus menjadi keprihatinan kita semua jika generasi penerus kita diberlakukan peraturan yang dampaknya menghilangkan sisi kemanusiaan mereka bahkan lebih hina dari hewan. Setiap hari bukannya menempa potensi “usia produktif” mereka dengan kepribadian yang tangguh dan bertakwa malah terus semakin dalam terjebak dalam pusaran aktifitas haram.

Islam mewajibkan negara membangun kepribadian Islam pada setiap individu.  Untuk mewujudkannya negara akan menerapkan sistem Islam secara kafah termasuk dalam sistem pendidikan dan melakukan edukasi melalui berbagai sarana khususnya media.  Penerapan sistem sanksi sesuai Islam secara tegas akan mencegah perilaku liberal.

Pelaku zina tidak akan pernah tenang berkeliaran melakukan aksinya hingga tak jarang menjadi idola seperti dalam sistem kapitalisme, sebab hukum dalam Islam ada dua fungsi, yaitu jawabir ( karena di dunia sudah dihukum, di akhirat tidak diazab atas dosanya ini) dan zawabir ( memberi efek jera bagi yang belum melakukan). Yaitu hukum cambuk 100 kali bagi yang belum menikah dan rajam hingga mati jika sudah menikah.

Maka, benarlah firman Allah SWT. Yang artinya,” Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (TQS Al Maidah: 50). Wallahualam bissawab.

Exit mobile version