Rabu, 06/11/2024 - 13:40 WIB
IndonesianArabicEnglishRussianGermanFrenchChinese (Simplified)JapaneseMalayHindi

TERBARU

ADVERTISEMENTS
Ucapan Selamat dan Sukses atas Pelantikan 3 Pj Bupati dan Pj Walikota di Provinsi Aceh
OPINI
OPINI

Otak-Atik Peraturan, Liberalisme Tambah Takaran

PP Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang (UU) Nomor 17 tentang Kesehatan itu mencakup beberapa program kesehatan termasuk kesehatan sistem reproduksi, resmi diketok palu tanggal 27 Juli 2024 lalu, pada pasal 103 mengenai upaya kesehatan sistem reproduksi usia sekolah dan remaja memunculkan polemik khususnya Ayat (4) butir “e” yaitu penyediaan alat kontrasepsi.

Banyak pihak menanyakan apa pentingnya remaja usia sekolah disediakan alat kontrasepsi? Apakah ini sama artinya dengan bolehnya mereka melakukan seks bebas dengan pengaman?

Salah satu yang meminta PP ini direvisi adalah Netty Prasetiyani, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (RI) di Komisi IX yang membidangi kesehatan dan kependudukan. Ia mengatakan  pernyataannya dalam  PP bisa  menimbulkan anggapan pembolehan hubungan seksual pada anak usia sekolah dan remaja.

Anggota  Partai Keadilan Sejahtera itu juga menanyakan remaja mau dibekali alat kontrasepsi apakah dengan maksud untuk memfasilitasi hubungan seksual di luar pernikahan? Juga perlu diperjelas apa maksud dan tujuan dilakukan  edukasi perilaku seksual yang sehat, aman dan bertanggungjawab (pasal 103 ayat 2).  Apakah ini mengarah pada pembolehan seks sebelum nikah asal bertanggungjawab?

Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Hasto Wardoyo, merasa perlu pihaknya “ duduk bersama” dengan kementerian kesehatan dan  juga dengan berbagai pakar termasuk tokoh agama untuk merumuskan aturan tersebut secara teknis. Sebab pihaknya selama ini untuk pemberian alat kontrasepsi hanya menyasar pasangan suami istri atau yang dirujuk sebagai “pasangan usia subur”.

Adapun untuk usia sekolah dan remaja, hanyalah  pemberian edukasi mengenai seks dan kesehatan reproduksi dan bukannya pemberian alat kontrasepsi.

Berbeda lagi dengan Aktivis dan konsultan gender, Tunggal Pawestri, ia menyatakan tidak perlu ada kekhawatiran yang berlebihan mengenai pelaksanaan PP tersebut. Sebab di Indonesia hampir semua hal dikaitkan dengan agama, padahal faktanya data di lapangan banyak remaja yang sudah aktif secara seksual, apakah kita masih akan menutup mata? Peraturan pemerintah ini sungguh diperlukan, mengingat tingginya angka kehamilan tidak diinginkan yang juga berpengaruh terhadap tingginya stunting, pungkas Tunggal.

Semakin membingungkan,  Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi,  menegaskan pelayanan kontrasepsi bukan untuk semua remaja melainkan remaja yang sudah menikah tetapi menunda kehamilan hingga umur yang aman untuk hamil”. Kondom tetap untuk yang sudah menikah. Usia sekolah dan remaja tidak perlu kontrasepsi. Mereka harusnya abstinensi [tidak melakukan kegiatan seksual].

Poin di sini menurut Nadia adalah karena kesehatan reproduksi itu mengikuti kebutuhan siklus kehidupan. Setiap siklus kehidupan, kebutuhan akan kesehatan reproduksi berbeda.  Banyak remaja yang sudah menikah di usia 15 tahun, mereka adalah sasaran di di Pasal 109 yang berisi pelayanan kontrasepsi bagi PUS [pasangan usia subur] dan kelompok usia subur yang beresiko. Jadi bukan untuk semua remaja.

Banyak Peraturan Nol Hasil

Pemerintah kita dalam menangani satu kasus selalu memunculkan banyak peraturan, sekaligus memunculkan banyak polemik. Apalagi jika bukan karena pasal karet, yang ambigu dan multitafsir. Terkait kesehatan reproduksi, pada tahun 2012, Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi bermaksud  membuat terobosan dengan kampanye penggunaan kondom dan membagikannya ke sekolah-sekolah menengah atas, mengingat jumlah orang yang terinfeksi HIV di Indonesia saat itu  cukup besar yakni 1,8 juta jiwa.

Jika kali ini terjadi lagi sungguh tidak mengherankan, apalagi ditambahkan bahwa solusi ini untuk menurunkan angka Stunting, lebih tidak masuk akal lagi. Yang tampak justru pengurusan negara yang setengah hati kepada rakyatnya. Namun apa hendak dikata kita memang ada dalam sistem kapitalisme demokrasi, yang tidak pernah bisa melahirkan pemimpin amanah meski mereka muslim.

Sebenarnya ada beberapa hal yang menjadi fokus dalam hal ini yaitu pernikahan, pergaulan dan kesejahteraan agar tak muncul stunting yang memang masih menjadi PR bagi negara, secara dampak, angkanya terus meroket. Kasus terus bermunculan.  Namun dengan sistem hari ini yang berbasis sekular atau memisahkan agama dari kehidupan adalah hal yang mustah bisa selesai secara tuntas. Yang ada malah timbul masalah baru yang semakin merusak.

Kontrasepsi Untuk Anak Sekolah dan Remaja Perkuat Liberalisasi Perilaku

Liberalisasi perilaku kian kuat dikampanyekan oleh pemerintah, setiap bagiannya jika tidak beradu argumen seringkali menghindar dari tuduhan masyarakat.

1 2

Reaksi & Komentar

وَإِذْ أَخَذْنَا مِيثَاقَكُمْ لَا تَسْفِكُونَ دِمَاءَكُمْ وَلَا تُخْرِجُونَ أَنفُسَكُم مِّن دِيَارِكُمْ ثُمَّ أَقْرَرْتُمْ وَأَنتُمْ تَشْهَدُونَ البقرة [84] Listen
And [recall] when We took your covenant, [saying], "Do not shed each other's blood or evict one another from your homes." Then you acknowledged [this] while you were witnessing. Al-Baqarah ( The Cow ) [84] Listen

Berita Lainnya

Tampilkan Lainnya Loading...Tidak ditemukan berita/artikel lainnya.
IndonesianArabicEnglishRussianGermanFrenchChinese (Simplified)JapaneseMalayHindi