Birahi Politik Partai Dakwah

Ⓒ Hak cipta foto di atas dikembalikan sesungguhnya kepada pemilik foto

Birahi Politik Partai Dakwah - Logo Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Ilustrasi. Ⓒ Hak cipta foto di atas dikembalikan sesungguhnya kepada pemilik foto

MASYARAKAT merasakan kecewa pasca Partai Keadilan Sejahtera (PKS) memastikan bergabung dengan Koalisi Indonesia Maju (KIM) dan menyatakan sikap mendukung Bobby Nasution di Pilkada Sumatera Utara. Keputusan ini cukup mengejutkan karena ekspektasi masyarakat terhadap keteguhan sikap PKS sangat tinggi. Melihat sikap PKS beberapa waktu silam rasanya tidak mungkin PKS akan sampai pada titik ini, yaitu memperturutkan birahi politik, mengorbankan idealisme, menjilat ludahnya sendiri, dan bergabung dengan politik dinasti. Netizen  Indonesia pun mengucapkan selamat tinggal kepada PKS dengan frasa ‘Bye PKS’.

PKS adalah sebuah partai politik dengan basis Islam yang kuat, selama ini dikenal sebagai Partai Dakwah. Partai ini menjadi pelabuhan terakhir bagi masyarakat yang melihat berbagai pertunjukan kotor partai politik dalam menjalankan demokrasi di negeri ini. Selama ini masyarakat melihat bagaimana kader-kader PKS berjibaku melawan kedzaliman di parlemen, namun diujung jalan PKS tertawan. Bahkan PKS blak-blakan mengaku sudah ditawari untuk mendapatkan jatah Calon Wakil Gubernur (Cawagub) DKI Jakarta.

Dalamnya kekecewaan yang dirasakan oleh masyarakat sebab bergabungnya PKS ke KIM dan meninggalkan Anies Baswedan menunjukkan bahwa masyarakat kita belum move on. Netizen tak habis pikir bagaimana bisa PKS dengan basis Islam yang kuat berkolaborasi dengan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang kader-kadernya kerap menyerang Islam. Masyarakat terus bertanya, bagaimana bisa? Bagaimana bisa?

Realitas ini menunjukkan bahwa masyarakat kita masih saja terpesona pada bungkus dan label bukan pada substansi yang sesungguhnya. Entah bagaimana pula jika besok lusa ternyata Anies Baswedan justru maju dengan dukungan PDIP, misalnya. Apakah masyarakat akan termehek-mehek kembali? Padahal inilah politik sirkus demokrasi, tidak ada kawan yang abadi, yang ada hanya kepentingan yang abadi.

Ada baiknya kita mengingat kembali hadits berikut;

“Ruh-ruh itu bagaikan pasukan yang dihimpun dalam kesatuan. Jika saling mengenal diantara mereka maka akan bersatu, dan yang saling merasa asing diantara mereka maka akan berpisah.” (HR. Muslim, 6376).

Partai Politik Islam Tertawan

Jika kita cermati perjalanan PKS di Indonesia, sejatinya hal ini merupakan realitas partai Islam yang terulang di berbagai negara. PKS hadir dalam upaya mewujudkan cita-cita mereka, yakni membangkitkan Islam dan kaum Muslimin dari berbagai keterpurukannya. Namun sebagaimana nasib partai-partai pendahulunya yang berjibaku dalam atmosphir demokrasi akhirnya harus menyerah pada keadaan bahkan mengubah arah perjuangannya.

Pada akhirnya PKS lahir sekadar sebagai pengekor pendahulu mereka, menempuh jalur perjuangan yang tidak jauh berbeda dan akhirnya menuai kegagalan yang sama. Wajar jika para konstituen PKS memanen kekecewaan yang berlipat-lipat, namun inilah demokrasi, berkoalisi atau hancur sendiri? Tidak ada kawan atau musuh yang abadi, hari ini lawan besok berkawan yang penting kepentingan terealisasikan dan pastinya menguntungkan. Cita-cita mewujudkan kebangkitan Islam menguap entah kemana, dikalahkan oleh birahi politik dan kekuasaan.

PKS pun tak menutupi lagi pragmatisme mereka. Melihat sikap para pemimpin partai tampak bahwa PKS telah siap dengan segala resiko tersebut termasuk ditinggalkan oleh konstituennya. Pragmatisme adalah aliran filsafat yang mengajarkan bahwa kebenaran dari segala sesuatu, baik ucapan, dalil, ataupun teori, diukur berdasarkan pada manfaat yang diberikannya. Pragmatisme merupakan cabang dari pemikiran kapitalisme. Asasnya pun sama yaitu sekulerisme.

Karakter yang melekat pada pragmatisme adalah ketundukan pada realitas dan manfaat yang diperoleh. Kita bisa mengindera bagaimana partai politik membina koalisi untuk mendapatkan bagian dalam kekuasaan dengan mengorbankan ideologi dan arah perjuangan. Sikap pragmatis cenderung menggunakan segala cara mengabaikan prinsip-prinsip kebenaran dan kepantasan.

Oleh sebab itu masyarakat tidak perlu kaget ketika Edy Rahmayadi kini diusung oleh PDIP untuk maju di Pilkada Sumatera Utara, sementara Bobby Nasution didukung oleh super koalisi termasuk PKS di dalamnya. Koalisi-koalisi ini bergabung dengan tujuan dan dalih yang sama yaitu demi memperjuangkan perbaikan bangsa dan negara.

Namun di sisi lain, sepak terjang PKS dapat menimbulkan stigma negatif bagi partai politik Islam yang benar-benar mengemban politik Islam. Masyarakat akan mengingat partai Islam sebagaimana kenangan mereka tentang PKS sejajar dengan partai-partai sekuler lainnya yang mempraktikkan politik kotor dan penuh tipu daya.

Dalam hal ini Muhammad Hawari dalam bukunya As-Siyasah al-Hizbiyyah li-al Harakah al-Islamiyah merangkum dua (2) sisi sebab-sebab kegagalan partai Islam yaitu pertama, dari aspek pemikiran dan tujuan yang menyatukan sebuah partai, apakah pemikiran yang mendasarinya sahih atau keliru? Kedua, dari aspek keorganisasian yaitu dari asas yang membangun partai tersebut.

Pada dasarnya, sebuah partai pasti tersusun di atas empat aspek berikut ini; Pertama, pemikiran (fikrah) yang menentukan tujuan serta yang menjadi asas untuk menyatukan masyarakat dengan partai. Kedua, metode (thariqah) yang ditempuh partai untuk meraih tujuannya. Ketiga, anggota-anggota partai serta sejauh mana keyakinan mereka terhadap pemikiran (fikrah) dan metode (thariqah) partainya. Keempat, cara (kayfiyah) untuk menyatukan masyarakat dengan partai tersebut. Keempat aspek ini sangat penting dimana jika partai kehilangan salah satu daripadanya dipastikan partai tersebut akan gagal mewujudkan tujuannya.

Apabila kita teliti lebih mendalam maka kita dapat menyimpulkan bahwa sebuah partai telah gagal dari sisi keorganisasiannya karena mengabaikan keempat aspek tersebut diatas. Hal tersebut didasarkan atas kenyataaan;

Pertama, partai Islam atau partai dakwah ternyata telah berdiri di atas pemikiran (fikrah) yang bersifat umum, kabur dan samar padahal seharusnya pemikiran yang mendasari sebuah partai memerlukan kristalisasi, pembersihan dan penyucian. Partai Islam seharusnya terikat pada ideologi Islam dan tidak pernah lepas dari amanah pengembanan dakwah Islam sebagaimana yang diperintahkan dalam QS Ali Imran ayat 104;

“Hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyeru kebaikan (Islam) serta melakukan amar makruf nahi mungkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung.”

Kedua, dalam perjalanannya ternyata partai tersebut tidak memahami metode yang benar untuk mengaplikasikan pemikiran-pemikirannya. Bahkan implementasi ide-ide diaplikasikan secara serampangan bahkan terkesan mengikuti arus yang ada.

Ketiga, harus kita akui bahwa partai tersebut ternyata bertumpu pada orang-orang yang tidak memiliki kesadaran dan kehendak yang benar. Ternyata mereka hanya sekumpulan orang yang berbekal semangat dan keinginan saja. Ketika partai ditimpa berbagai tantangan dan ujian menyebabkan mereka tak dapat bertahan lalu memutar haluan.

Keempat, yang lebih memprihatinkan adalah kenyataan bahwa orang-orang yang memikul tugas kepartaian tidak memiliki ikatan yang benar di antara mereka kecuali sekadar ikatan keorganisasian, sehingga mudah sekali dihinggapi pragmatisme berpolitik.

Oleh sebab itu, pilihan yang diambil oleh PKS telah menunjukkan kepada masyarakat tentang kemunduran berpolitik yang menyentuh titik terendahnya. Kita tidak mendapatkan apapun dari partai-partai Islam yang berkompromi dengan sekulerisme, kecuali sekadar harapan perubahan dan kemajuan semu.[]

Exit mobile version