Teunak Ulama, Trend Gila Pengguna Media

Ⓒ Hak cipta foto di atas dikembalikan sesungguhnya kepada pemilik foto

Ilustrasi caci maki atau dalam bahasa Aceh 'Teunak' Ulama yang menjadi trend gila pengguna media. FOTO/NU. Ⓒ Hak cipta foto di atas dikembalikan sesungguhnya kepada pemilik foto

Penulis: Tgk. Mukhlisuddin**

“Al-Ulama Warasatul Ambiya” artinya ulama adalah pewarisnya para Nabi. Para ulama memiliki kedudukan yang mulia dan agung di sisi Allah. Allah telah meninggikan derajat  mengistimewakan mereka dari yang lainnya sebagai ahli ilmu. Dalam Qs. Al. Mujadalah :11 Allah berfirman “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” [al-Mujadilah/58 : 11].

BANYAK dalil yang menegaskan keistimewaan ulama dan penegasan untuk memuliakan serta wajibnya menghormati dan menjunjung tinggi kehormatan para ulama. Karena mereka merupakan pewaris Nabi, penerus misi dakwah yang dibawa oleh Rasulullah SAW.

Tentu jelaslah bahwa kewajiban setiap muslim terhadap para ulama  adalah mencintai dan menyukai mereka, menghormati dan memuliakan mereka, tanpa berlebih-lebihan atau merendahkan. Mengolok-olok ulama, mengejek atau melecehkan mereka, tentu saja bertentangan dengan perintah untuk mencintai dan memuliakan mereka. Melecehkan ulama sama artinya dengan menghina dan merendahkan mereka atau disebutkan sebagai istihza’ (mengolok-olok).

Imam Al-Ghazali menyebutkan makna istihza’, yaitu merendahkan, menghinakan dan menyebutkan aib dan kekurangan, supaya orang lain mentertawainya; bisa jadi dengan perkataan, dan bisa dengan perbuatan dan isyarat. Mengolok-olok dan memandang rendah para ulama, termasuk sifat orang kafir dan salah satu cabang kemunafikan.

“Trend” Menghina Ulama di Media

Sebuah penyakit sosial “pungo” yang mendera “pengguna media sosial di Aceh  adalah munculnya content creator yang secara “konsisten” memproduksi narasi penghinaan terhadap ulama,  bahkan penghinaan terhadap ulama tidak hanya sebatas pada ketidaksukaannya saja, tetapi sampai pada klaim “Ulama Suuk, Ulama Peminum Darah, Ulama Syetan” dan bahkan sampai memfitnah ulama sebagai “Pencuri, Pembunuh, dll” yang Na’uzubillah telah sampai taraf penghinaan ulama yang di luar nalar kewarasan (trend pungo).

Viralnya content creator penghina ulama dan “konsistenya” mereka memproduksi narasi jahat tersebut tidak berdiri sendiri, tapi ketika  muatan penghinaan tersebut diproduksi, banyaknya pengguna media sisial lain yang menontonnya, memberikan tanda suka, menikmatinya bahkan membagikannya bahkan menambah narasi penghinaan lain  untuk ulama dan membagikan ulang sebagai bagian dari dukungan terhadap “penghinaan” kepada Ulama yang ini merupakan bagian dari “wujud dukungan” penghinaan terhadap ulama terus berlanjut.

Ulama memang bukanlah manusia suci yang tidak punya kesalahan, teapi ada adab dan etika yang mengharuskan tabayyun supaya tidak muncul respon mencela bahkan memunculkan fitnah terhadap ulama. Meskipun demikian, kita tidak bisa menaruh sangka buruk apalagi disertai ujaran kebencian terhadap mereka. Buruk sangka tanpa pembuktian dan tabayun, ghibah, ujaran kebencian, dan fitnah terhadap semua orang tidak terkecuali para ulama dan orang saleh adalah tindakan menyakitkan yang dilarang agama.

Tindakan menyakitkan ini dapat berakibat fatal, yaitu meruntuhkan keimanan kepada Allah. Hal ini dipesan oleh Sahal At-Tustari yang dikutip Syekh Abdul Wahhab As-Sya’rani “Pokok (iman) kami ada tujuh: 1) berpegang pada kitab suci Allah Al-Quran, 2) meneladani Rasulullah SAW, 3) mengonsumsi makanan halal, 4) menjauhi maksiat, 5) bertobat, 6) menunaikan kewajiban, dan 7) menahan diri dari tindakan menyakitkan bagi orang lain. Penahanan diri agar tidak menyakiti orang lain terbagi dua: 1) menahan anggota badan. dan 2) menahan batin dari buruk sangka terhadap orang lain yang melintas di hati. Pasalnya, buruk sangka termasuk racun mematikan, tetapi bahaya ini jarang disadari oleh banyak orang, terlebih lagi buruk sangka terhadap para wali, ulama, dan para penghafal Al-Quran”

Buruk sangka tanpa pembuktian dan tabayun, ghibah, ujaran kebencian, dan fitnah terhadap ulama bukan hanya menutup pintu rahmat Allah, tetapi juga membuka lebar pintu murka Allah. Pesan ini berulang kali disampaikan Syekh Ali Wafa kepada Syekh Abdul Wahab As-Sya’rani :  Wahai para murid, waspadalah kamu terhadap hak salah seorang sahabat gurumu karena daging para wali adalah racun sekalipun mereka tidak mengambil tindakan terhadapmu. Waspada dan waspada atas penghinaan berupa ghibah terhadap salah seorang dari mereka sekalipun ghibah itu tidak sampai ke telinga mereka. Tetapi yang seharusnya paling kalian takuti adalah ketika ghibahmu sampai ke telinga mereka karena sungguh pelindung mereka adalah Allah. Sadarilah hal ini wahai saudaraku,”

Pesan dan pandangan yang disampaikan oleh Syekh Abdul Wahhab As-Sya‘rani bukan mengada-ada. Mereka semua merujuk pada larangan Al-Quran pada Surat Al-Hujurat:7 “Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah banyak sangka. Sungguh, sebagian sangka merupakan sebuah dosa. Jangan kalian mencari-cari kesalahan orang lain. Janganlah sebagian kalian mengghibah sebagian lainnya. Apakah salah seorang dari kalian senang memakan daging bangkai saudaranya? Kalian tentu tidak menyukainya. Takutlah kepada Allah. Sungguh, Allah maha penerima tobat lagi penyayang,”

Mencela orang lain adalah cerminan diri si pencela tersebut, tidak mungkin  keburukan terhadap orang lain lahir dari jiwa yang baik, tentu jiwa yang penuh keburukanlah yang suka memfitnah orang lain lebih lagi memfitnah ulama, begitu pula tidak mungkin jiwa baik akan menikmati kontent keburukan, hanya jiwa yang dilumuri keburukan yang menikmati keburukan tersebut.

Mereka yang seakan merasa sangat lezat menghina para ulama, tentu saja efek negatif dan akibat buruk akan dirasakan oleh mereka pencela baik di dunia terlebih di akhirat nantinya. Salah satu di antara sekian banyaknya yang akan dirasakan oleh pencela dann penghina ulama, akhir hidup mereka akan berhujung dengan titel su-ul khatimah.

Pernah diceritakan pada zaman dulu salah seorang bernama Al-Qadhi Az-Zubaidi, ketika dia meninggal dunia lisannya berubah menjadi hitam, hal ini disebabkan beliau semasa hidupnya suka mencibir salah seorang ulama terkemuka di dunia Islam Al-Imam An-Nawawi.

Beranjak dari itu mari kita menghormati ulama sebagai warisatul ambiya dan mengajak diri dan keluarga serta masyarakat untuk tidak ikut mencaci ulama baik secara langsung maupun tidak langsung. Mari terus kita doakan ulama dan guru kita diberi sehat wal afiyat dan umur panjang nan berkah demi pengabdiannya untuk umat sekalian.[]

**). Penulis adalah Ketua PD IPARI Pidie, Pengurus ISAD Aceh, Pengurus ISNU Pidie

Exit mobile version