10 Tahun Jokowi, Berantas Kemiskinan Masih Sekadar Janji

Ⓒ Hak cipta foto di atas dikembalikan sesungguhnya kepada pemilik foto

Ⓒ Hak cipta foto di atas dikembalikan sesungguhnya kepada pemilik foto

BANDA ACEH – 10 tahun yang lalu muncul dengan sebuah karya anak bangsa bernama Esemka, kemudian di penghujung masa jabatannya diakhiri dengan kemegahan Ibu Kota Nusantara (IKN).Ya, Joko Widodo (Jokowi), Presiden RI periode 2014-2024 membawa agenda prioritas pemerintahannya kala itu yang disebut Nawacita. Isinya, sembilan gagasan yang akan dilakoni kabinet pemerintahan Jokowi-Jusuf Kala.

Salah satu agenda prioritasnya adalah melindungi serta memberikan rasa aman bagi bangsa Indonesia, pemerintahan bersih dan demokratis, membangun Indonesia dari pinggiran serta memajukan daerah dan desa.

Namun sepertinya Nawacita tinggal cerita dan gula-gula masa lalu. Karena kenyataannya pemerintah masih belum bixa menjamin rasa aman rakyatnya dengan segala macam kejahatan jalanan yang kerap meneror.

Tingginya angka kejahatan lantaran kepemimpinan Jokowi selama 10 tahun belum berhasil mengentaskan kemiskinan, ditambah lagi dengan sulitnya mendapatkan pekerjaan.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan pada Maret 2014, jumlah masyarakat miskin sebanyak 28,28 juta orang dengan tingkat kemiskinan 11,25 persen.

Per Maret 2024, angka kemiskinan terus mengalami penurunan menjadi 25,22 juta orang dengan tingkat kemiskinan 9,03 persen. Artinya, angka kemiskinan masih jauh di atas target Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).

Jumlah penduduk miskin berkurang sekitar 3,06 juta orang atau turun sekitar 2,22 poin persentase dalam 10 tahun terakhir dan secara rata-rata jumlah penduduk miskin berkurang sekitar 300 ribu orang per tahun.

Peneliti Institute For Development of Economics and Finance (INDEF), Abra Talattov mengingatkan janji Politik Jokowi saat kampanye 2014 tentang penurunan angka kemiskinan hingga ke level 6 sampai 7,5 persen.

Menurutnya kemiskinan selalu berkaitan dengan angka pengangguran, dan Jokowi pernah menyatakan janji akan menggerus angka pengangguran nasional menjadi 3,5 hingga 4 persen.

“Lagi-lagi kenyataannya meleset. Angka pengangguran di Indonesia masih di angka 5,2 persen,” ujarnya.

Sementara itu Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) Elly Rosita Silaban menilai 10 tahun Jokowi memimpin hanya memprioritaskan program pembangunan infrastruktur. Sebut saja proyek jalan tol, bandara, hingga pembangunan IKN.

Namun perhatian terhadap kemiskinan dan persoalan ketenagakerjaan diakuinya tidak terlalu diperhatikan. Apalagi, ketika disahkannya kontroversi Undang-Undang (UU) Cipta Kerja, membuat masa depan dan kesejahteraan buruh semakin menderita.

Jokowi juga diakuinya tidak terlalu memperdulikan terkait dampak perkembangan digitalisasi platform saat ini. Dimana dampak digitalisasi platform ini, telah banyak menggantikan pekerjaan manusia di dunia kerja.

“Di balik permasalahan ini semua, menciptakan pengangguran di Indonesia semakin tinggi. Ketimpangan sosial ini semakin tajam di tengah masyarakat. Jumlah kemiskinan dan pengangguran masih tinggi, ditambah lagi Indonesia semakin mengalami krisis keadilan. Kalau masalah ini tidak disikapi serius, bisa jadi negara akan mengalami kerusuhan sosial,” ujarnya.

Berdasarkan laporan ‘World Economic Outlook April 2024’ yang disusun Dana Moneter Internasional (IMF), Indonesia adalah negara dengan tingkat pengangguran tertinggi di antara enam negara ASEAN pada 2024.

Indonesia menempati posisi pertama dalam proporsi jumlah pengangguran di negara-negara ASEAN per April 2024. Indonesia yang berpenduduk 279,96 juta orang itu mencatatkan angka pengangguran terbuka sebesar 5,2 persen. Di bawahnya ada negara yang selalu “panas”, Filipina, dengan 5,1 persen (114,16 juta penduduk); Malaysia: 3,5 persen (33,46 juta penduduk); Vietnam: 2,1 persen (100,77 juta penduduk); Singapura: 1,9 persen (5,94 juta penduduk) dan Thailand: 1,1 persen (70,27 juta penduduk).

Sejatinya, Jokowi memulai langkah kepemimpinannya dengan doa dan harapan. Bukan hanya dari dalam negeri, melainkan dari dunia internasional.

Majalah Time pernah menerbitkan edisi Presiden Joko Widodo sebagai sampul utama, berjudul “Jokowi: A New Hope” pada Oktober 2014.

Edisi itu mencerminkan harapan besar yang ditempatkan pada Jokowi setelah terpilih sebagai presiden Indonesia pada 2014. Saat itu ia dianggap sebagai pemimpin baru yang membawa harapan dan perubahan untuk Indonesia.

Perubahan yang dilakukan tidak lain adalah membangun IKN, salah satu proyek mercusuar yang dikejar demi terlaksananya perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan RI ke-79.

Perayaan HUT RI ke-79 di IKN, pemerintah harus menggelontorkan anggaran Rp87 miliar, yang angkanya 60 persen lebih besar dibanding perayaan HUT RI tahun sebelumnya yang digelar di Jakarta.

Banyak kalangan menilai dana tersebut lebih baik dialokasikan untuk kebutuhan mendesak lainnya, seperti infrastruktur, pendidikan, atau kesehatan, dan sektor produktif.

Namun di tengah sulitnya perekonomian Indonesia, Elly berharap, tidak terjadi kerusuhan sosial. Sebab, kerusuhan sosial di tengah masyarakat itu menurutnya tidak pernah menjadi solusi tapi justru menambah persoalan baru.

“Masyarakat harus belajar pengalaman dari chaos sosial yang terjadi Mei 1998. Karena kerusuhan ini dilatarbekakangi oleh krisis ketidakadilan, demokrasi yang dibungkam dan praktik KKN (Kolusi Kolusi Nepotisme) di era pemerintahan Orde Baru (Orba),” pungkas Elly.

Exit mobile version