Kontes Waria dan “Debu di Tubuh Kita”

Ⓒ Hak cipta foto di atas dikembalikan sesungguhnya kepada pemilik foto

Tangkapan layar Kontes Waria di Hotel Orchardz Jakarta Pusat. FOTO/Tangkapan Layar. Ⓒ Hak cipta foto di atas dikembalikan sesungguhnya kepada pemilik foto

Penulis: Khalil Ismail**

Khalil Ismail adalh Direktur Kepatuhan Bank Aceh Periode 2006 – 2010. FOTO/Dok. Pribadi.
Khalil Ismail

SUNGGUH sulit bagi saya, sebenarnya harus dari mana saya memulai tulisan ini, untuk menilai atau lebih tepat bersikap terhadap kehebohan sebuah berita yang viral sejagad raya nusantara. Drama yang dilakoni oleh seorang transpuan (sebutan lain untuk waria) yang memiliki nama NYAK AYU SAREE, yang “mengaku” atau jelasnya telah membawa-bawa nama Provinsi Aceh pada sebuah kontes transpuan se-Indonesia yang dilaksanakan pada tanggal 4 Agustus 2024 di Jakarta Pusat, tepatnya Grand Ballroom Orchardz Industri Hotel.

Secara tiba-tiba saya teringat sepenggal bait sebuah lagu dari Ebiet G Ade yang berjudul “UNTUK KITA RENUNGKAN. Begini syair lagunya:

“Kita mesti “telanjang” dan benar-benar bersih.
Suci lahir dan di dalam bathin.
Tengoklah ke dalam sebelum bicara.
Singkirkan debu yang masih melekat.
Hoo hoo..singkirkan debu yang masih melekat”

Syair lagu tersebut sangat cocok dengan apa yang sedang berlaku di Aceh, yang sedang ramai menanggapi dan merespon apa yang dipertontonkan dari sebuah kontes transpuan, yang salah satu pesertanya “mewakili” Propinsi Aceh. Yang lebih menghebohkan lagi, peserta yang mewakili Aceh menjadi juara satu pulak.

Sontak seluruh rakyat Aceh menjadi heboh. Orang sering meng-istilahkannya dengan kata “Kebakaran jenggot’. Semua kalangan berbicara lantang, menghujat, mengecam dan menyesali terselenggaranya kontes ini yang membawa nama Provinsi Aceh.  Terlebih para tokoh lintas profesi, baik tokoh ulama. Tokoh masyarakat. Tentu tak mau ketinggalan adalah mereka yang ssat ini akan bertarung di Pilkada yang akan datang. Ini moment yang sangat tepat untuk mempromosikan dan menunjukkan diri kepada masyarakat, bahwa mereka memberi perhatian serius pada kasus ini, yang telah mencoreng syariat Islam di Aceh.

Pada kontes kecantikan transpuan yang bertajuk “Festival Miss Beauty Star Indonesia 2024 yang diikuti  oleh peserta dari seluruh Indonesia sebenarnya akan berjalan biasa-biasa saja. Artinya tidak akan terjadi kehebohan sedemikian rupa, jika tidak diikuti oleh peserta dari Provinsi Aceh. Buktinya, kita tidak mendengar adanya klaim atau kecaman yang berlebihan dari masyarakat provinsi lain di Indonesia. Dan kontes sejenis  juga sudah berlangsung sejak beberapa tahun lalu dengan tema atau ajang yang berbeda. Dan Nyak Ayu Saree merupakan perserta yang kerap mengikuti kontes ini.

Kiprah Nyak Ayu Saree dalam mengikuti kontes kecantikan transpuan bukan kaleng-kaleng, artinya dia sering meraih prestasi dari ajang tersebut. Pada tahun 2018, Nyak Ayu Saree berhasil menjadi finalis yang masuk 10 besar pada ajang Miss Transchool 2018. Nyak Ayu Saree juga menjadi runner up 3 pada Miss Prada 2022. Prestasi yang ditoreh Nyak Ayu Saree terus berlanjut, yaitu berhasil menjuarai ajang Putri MMH Prada 2023, Miss Queen Puan 2024, hingga yang terakhir adalah Miss Beauty Star Indonesia 2024.

Ada beberapa faktor penyebab terjadinya kehebohan di tengah-tengah masyarakat Aceh atas terselenggaranya kontes transpuan tersebut.

Faktor Pertama, karena provinsi Aceh merupakaan daerah yang telah menerapkan syariat Islam. Perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang bertentangan dengan syariat Islam. Konon lagi, dipertontonkan secara vulgar ke seluruh Indonesia melalui media massa, baik televisi, media cetak maupun media lainnya. Kontes ini, jelas sangat mempermalukan masyarakat Aceh.

Pemberlakuan syariat Islam di Aceh telah dilaksanakan sejak 1 Muharram 1423 H, berdasarkan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propnsi Daerah Istimewa Aceh pada tanggal 4 Oktober 1999. Jadi sangat patut, jika Pemerintaah Daerah dan para tokohnya mengecam keras Panitia kontes ini, bahkan kecaman lebih terfokus lagi kepada sosok peserta yang meng-atasnamakan atau merasa diri mewakili Provinsi Aceh.

Banyak pihak, khususnya orang-orang di luar Aceh, yang tidak mengetahui dan memahami ciri-ciri khas Islam di Aceh dalam konteks penerapan syariat Islam. Adapun ciri-ciri khas tersebut, antara lain adalah kebersihan, sopan santun, etika, tata krama, memuliakan tamu, dan hal tatanan sosial masyarakat lainnya.

Jika kita kaji secara mendalam, jelas terlihat bahwa kontes transpuan tersebut tidak pantas diikuti oleh peserta dari Provinsi aceh, termasuk peserta yang bukan orang Aceh, tetapi kiikutsertaannya mengatasnamakan atau merasa mewakili Provinsi Aceh.

Kedua, ada indikasi atau dugaan dari masyarakat Aceh, bahwa ada pihak-pihak yang dengan sengaja ingin mempermalukan rakyat Aceh yang hidup dengan damai dengan syariat Islam secara kaffah, yaitu dengan cara menyelenggarakan acara-acara yang bertentangan dengan syariat Islam, dengan mengikutsertakan  pemuda-pemudi dari Aceh. Cara yang paling efektif dan efisien serta langsung ke jantung sendi-sendi kehidupan masyarakat Aceh adalah dengan merusak fondasi syariat Islam yang berlaku di Aceh, antara lain dengan menyelenggarakan event-event vulgar, model busana yang jauh nilai-nilai islami, model kehidupan pergaulan bebas ala selebritis, melalui musik anti Islam, film-film yang tidak mendidik. Pokoknya segala sesuatu yang digandrungi oleh masyarakat,

khususnya para remaja dan pemuda-pemudi muslim, yang kesemuanya bertentangan dengan syariat Islam. Meskipun demikian, dugaan ini belum dapat kita pastikan, sebelum keluarnya hasil investigasi dari pihak berwenang, karena berdasarkan pemberitaan media, panitia kontes ini telah dilaporkan ke pihak kepolisian.

Kecaman atas Kontes Waria dan “Debu di Tubuh Kita”

Judul opini ini mungkin sedikit terlihat misteri. Apa hubungannya kontes transpuan dengan “debu yang ada di tubuh kita”.

Setelah kita cermati  berbagai tanggapan, kecaman maupun sikap yang menyesalkan yang datang dari masyarakat atas penyelenggaraan kontes ini, ternyata adalah karena kontes ini sangat bertentangan dengan syariat islam yang berlaku di Aceh.

Penulis tidak bermaksud untuk mengatakan bahwa kecaman dan penolakan dari masyarakat itu tidak tepat.  Malah begitulah seharusnya sikap dan reaksi yang harus kita sampaikan. Akan tetapi setelah kita memahami penyebab kecaman tersebut, maka kita perlu instrokpeksi diri lebih mendalam, apakah untuk menegakkan syariat islam di bumi serambi mekkah ini cukup hanya sebatas dengan mengecam sikap dan kelakuan pihak luar Aceh yang tidak menghargai dan mnghormati pemberlakuan syariat islam di Aceh. Di satu sisi kita malah abai dan lupa untuk menerapkan, mengawal dan menjaga secara serius kemurniaan dan kemuliaan syariat Islam.

Bait dari lagu Ebiet G Ade di awal tulisan ini sangat pantas untuk kita renungkan lagi.

“Tengoklah ke dalam sebelum bicara.
Singkirkan debu yang masih melekat,
ho..oo.. singkirkan debu yang masih melekat”.

Maknanya adalah, selain kita mengecam setiap perbuatan, perkataan, sikap dan tindak tanduk yang dilakukan oleh orang lain yang melanggar syariat Islam, terlebih yang datangnya dari masyarakat di luar Aceh (seperti kasus kontes waria di Jakarta), maka kita juga wajib melihat ke “dalam”, ke diri kita sendiri, ke masyarakat kita. Sudahkah kita menerapkan dan  melaksanakan syariat Islam dengan benar..?. Apakah selama ini Pemerintah Daerah telah ikut mendukung, mengawal dan melaksanakan syariat Islam secara Kaffah..?, seperti  harapan yang disampaikan  saat pertama di “deklarasikan” oleh Pemerintah Daerah..?. Apakah selama ini di daerah yang kita banggakan dengan julukan SERAMBI MEKKAH ini masih terjadi perbuatan, perkataan, sikap dan tindak tanduk yang melanggar syariat Islam…?,

Syariat Islam Kaffah adalah ajaran Islam yang menggambarkan kesempurnaan, dan seluruh aspek ajaran Islam yang universal. Ini berarti bukan hanya sebatas penerapan hukum positif, tetapi juga menjangkau aspek-aspek aqidah, akhlak, syariah serta muamalah.

Sungguh sangat banyak pertanyaan yang bisa kita ajukan, akan tetapi nampaknya agak sulit bagi kita menjawab dengan jujur. Mungkin karena masih ada rasa malu, masih ada rasa bersalah, sehingga kita seperti menutup mata, apa yang terjadi pada diri kita, pada  keluarga kita, pada lingkungan kita, bahkan yang terjadi pada Aceh yang lon sayang.

Berbicara jujur memang sulit, disaat yang ingin kita bicarakan itu menyangkut dengan diri kita. Karenannya, tidak perlu mulut kita yang berbicara. Cukuplah data-data yang berbicara. Andaipun data-data tersebut tidak kita simpan, tetapi para malaikat Allah SWT dengan telaten bahkan tidak ada satupun perbuatan, perkataan, sikap dan tanduk kita yang terlewat dari perhatiannya.

Di tulisan ini, Penulis tidak perlu menampilkan data-data kejahatan dalam bentuk dan model apapun yang telah dilakukan di Aceh. Akan tetapi “TENGOKLAH KE DALAM” dan ingatlah, berapa banyak perilaku yang menyimpang yang terjadi di daerah ini dalam beberapa tahun terakhir ini, terlebih setelah kita bersama-sama mendeklarasikan syariat Islam.. Berapa banyak perbuatan-perbuatan asusila, seperti perkosaan, perzinahan, perselingkuhan dan prostitusi terselubung yang dilakukan secara sadar. Berapa banyak perbuatan tercela yang terjadi setiap hari disini, seperti korupsi, manipulasi, suap-menyuap, judi online dan sejenisnya, yang dilakukan bukan hanya oleh orang-orang berpendidikan rendah dan berpendapatan rendah. Akan tetapi tidak sedikit yang dilakukan oleh mereka yang kita sebut TOKOH, karena tingkat pendidikannya dan pendapatannya yang tinggi. Ironisnya, perbuatan-perbuatan tersebut seakan-akan kita tolerir, kita diamkan sepertinya tidak terjadi apa-apa atau tidak apa-apa. Lebih menyakitkan lagi, sebagian dari perbuatan tercela tersebut kita sebagai WINNER-nya. Luar biasaa….!

Saya tidak bermaksud membela Nyak Ayu Saree dan Panitia kontes. Bagi kita muslim sejati, yang benar tetaplah benar dan yang salah tetaplah salah. Tidak ada toleransi diantara keduanya. Yang kita inginkan adalah agar kita lebih arief dan bijak dalam berbicara. Agar bicara kita bermutu haruslah seimbang. Sehingga tidak ada tudingan dibalas dengan tudingan, kecaman dibalas pula dengan kecaman. Yang lahir bukanlah sikap persaudaraan, akan tetapi menjurus kepada perpecahan dan permusuhan.

Mari kita jaga daerah ini menjadi daerah kaffah,  yang aman dan damai bagi penduduknya. Untuk itu sangat dibutuhkan sinergitas atau kerjasama yang erat antara Umara, Ulama, Tokoh-Tokoh masyarakat, pihak Kepolisian, para pimpinan di desa. komponen para pemuda, baik di kota maupun di desa-desa. Untuk bertekad dengan tujuan yang sama, yaitu menjalankan syariat Islam secara kaffah. Dengan demikian kita harapkan semoga daerah kita, bukan hanya tidak akan mengalami azab Allah SWT berupa Tsunami kedua, tetapi juga jangan sampai datangnya MEGATHRUST yang pertama.[]

**). Penulis adalah Direktur Kepatuhan Bank Aceh Periode 2006 – 2010

Exit mobile version