OPINI
OPINI

Saat Buah Hati Jadi Komoditi

WAKIL Kepala Satuan Reserse Kriminal Polrestabes Medan Ajun Komisaris Madya Yustadi mengatakan, pihaknya telah meringkus empat perempuan yang terlibat jual dan beli bayi seharga Rp 20 juta di Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara.

Terungkapnya kasus berawal dari informasi masyarakat bahwa ada rencana transaksi bayi yang baru dilahirkan di sebuah rumah sakit di Kecamatan Percutseituan pada 6 Agustus 2024. Kini keempat tersangka dikenakan Undang–Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang perubahan atas Undang–Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman hukuman 15 tahun penjara.

Ironinya, bayi yang hendak di jual saat penangkapan adalah bayi dari salah satu pelaku yang baru melahirkan dan tertangkap. Si ibu mengaku menjual bayinya karena ekonomi, si pembeli mengaku tidak punya anak dan berjanji akan membesarkan bayi yang dibelinya seperti anak sendiri (tempo.co, 16-8-2024). Selama ada permintaan maka penawaran mengikuti, hal yang demikian alamiah dalam sistem ekonomi, masalahnya mengapa bayi pun akhirnya menjadi komoditi perdagangan?

Impitan Ekonomi Mematikan Naluri Keibuan

Begitu beratnya beban yang ditanggung rakyat di negeri ini, hingga bayi tak berdosa pun ikut menjadi korban. Belum ditambah jumlah bayi yang dibuang korban dari kehamilan yang tidak dikehendaki. Kemana kiranya sosok ibu yang lembut hati dan perlindungan terhangat bagi anak-anaknya? Bagi yang membuang bayi akibat kehamilan yang tidak diinginkan, mengapa sangat egois? Mereka menikmati seks bebasnya tapi benci dengan konsekwensinya.

Impitan ekonomi mengakibatkan hilangnya akal sehat dan matinya naluri keibuan. Baik ibu yang menjual bayinya maupun yang membuang. Bayang-bayang betapa beratnya mengasuh anak, ditambah kewajiban memberi mereka pakaian, makanan, dan pendidikan yang hari ini untuk diri mereka sendiri hampir tak terbeli, bagaimana bisa berbagi dengan anak yang baru saja mereka lahirkan?

Terlebih bila suporting sistem dari pasangan, keluarga, masyarakat dan negara juga tidak berjalan sebagaimana mestinya, baik karena sama-sama miskin ataupun individualistis menjadi faktor yang memperparah tingkat depresi seorang ibu.

Kapitalisme Akar Persoalan

Namun sesungguhnya, penerapan sistem kapitalismelah yang kejam, tak ada perlindungan hakiki bagi perempuan, baik kemuliaannya apalagi nafkahnya. Posisi perempuan sama dengan salah satu faktor produksi, bahkan lebih keji lagi layaknya mesin uang, tak hanya badannya yang dieksploitasi sebagai tenaga kerja murah, prostitusi, trafikking, tenaga kerja migran, penyewaan rahim bagi pasangan gay atau lesbi, pun anak yang dilahirkannya berpotensi menjadi komoditas. Sistem kapitalis memandang perempuan hanya bernilai ekonomi. Hingga ketika perempuan berada dalam posisi kesulitan ekonomi, merekalah yang kemudian terjebak menjadi korban terlemah.

Jika sudah begini, bukankah rasa aman di negeri ini terancam musnah, sebab kesejahteraan pun sulit diwujudkan? Bisakah kita berharap bisa mewariskan generasi yang tangguh dan peradaban yang cemerlang?

Islam Solusi Terbaik Keluarga Sejahtera

Tentu support sistem terbesar adalah negara, sebab negara memiliki seperangkat kelembagaan dan modal yang besar, abainya peran negara wujudkan kesejahteraan jelas akan memperburuk keadaan. Sebagaimana Rasulullah saw.bersabda, “Barang siapa yang diangkat oleh Allah menjadi pemimpin bagi kaum Muslim, lalu ia menutupi dirinya tanpa memenuhi kebutuhan mereka, (menutup) perhatian terhadap mereka, dan kemiskinan mereka. Allah akan menutupi (diri-Nya), tanpa memenuhi kebutuhannya, perhatian kepadanya dan kemiskinannya.” (Diriwayatkan dari Abu Dawud dan Tirmidzi dari Abu Maryam).

Maka dalam pandangan Islam, seorang pemimpin negara wajib menjamin penyediaan lapangan kerja bagi suami ataupun bagi setiap pria baligh, baik yang sudah menikah ataupun belum. Agar mereka mudah mengemban tanggungjawab mereka menafkahi keluarga dan orang-orang yang ada dibawah tanggung jawabnya.

Hari ini, penyediaan lapangan pekerjaan sangatlah minim, jika bukan karena usia juga banyak dari jenis lowongan pekerjaan yang masih tidak sesuai dengan tingkat pendidikan. Di sisi lain, negara menjalin mesra kerjasama dengan negara lain, di antaranya membuka keran impor sangat lebar sekaligus menandatangani perjanjian perdagangan bebas. Alhasil, Indonesia tak hanya kebanjiran produk asing tapi juga pekerja asing yang pada gilirannya mematikan industri dalam negeri dan malah memunculkan gelombanh PHK (Pemutusan Hubungan Kerja).

Maka, jelas saja para ayah atau suami semakin kesulitan menegakkan kesejahteraan. Jika hanya seorang yang menjadi korban kebijakan keji ini bolehlah kemudian mengatakan kepada yang ingin membawa perubahan sebagai pihak pemecah belah. Namun jelas, penderitaan dan ketidaksejahteraan ini merata hampir di seluruh wilayah Indonesia bahkan dunia.

Kapitalisme tumbuh subur di alam politik demokrasi , dimana pemimpin yang dihasilkan bukan yang dimaksud syariat, melainkan orang yang tunduk dengan sistem kapitalisme, bahkan mereka tak segan mengorbankan rakyatnya sendiri demi kepentingan perut mereka dan para kroninya.

Dalam Islam, perempuan adalah ibu, pengatur rumah tangga dan pencetak generasi. Dari rahimnya tak hanya akan lahir anak-anak penerus silsilah keluarga tapi juga penjaga peradaban. Lihat saja negara Jepang, Korea, Singapura atau Amerika yang panik menghadapi loss generation, rakyatnya baik perempuan maupun pria enggan menikah, namun zina merebak pesat, mungkin kita bisa bilang mereka berakidah bukan Islam, wajar jika tidak mengenal zina.

Tapi sebagai negara maju, teknologi canggih tentulah mereka tak bisa berkelit di hadapkan tak hanya kerusakan sosial tapi juga banyaknya penyakit menular.

Islam juga memandang, sistem pendidikan haruslah disusun atas dasar akidah Islam, sehingga mampu membentuk pribadi yang takwa pada anak didik, semisal dia kelak menjadi seorang ibu, tak lantas melanggar syara dan tak mudah menyerah begitu saja tapi sebab tak takut mengambil segala cara saat memenuhi kebutuhan hidupnya.

Pemimpin dalam Islam Berfungsi Sebagai Periayah

Islam menetapkan peran negara sebagai raa’in, atau pelayan semua kebutuhan rakyatnya tak terkecuali, kesejahteraan menjadi kewajiban negara untuk mewujudkannya. Sebagaimana sabda Rasulullah SWT. Berfirman, “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya” (HR al-Bukhari).

Maka ,tak hanya pemimpinnya yang berkarakter pelayan umat, Islam juga memiliki sistem ekonomi yang sangat bisa mensejahterakan rakyat melalui berbagai mekanisme, termasuk banyaknya lapangan pekerjaan. Baitulmal negara akan menyediakan modal bagi siapa saja yang ingin bekerja, baik berupa tanah, gedung, kendaraan dan lainnya. Demikian juga dengan pelatihan agar ketrampilan seseorang bertambah.

Media juga berperan mendukung terbentuknya keimanan seseorang saat menghadapi kesulitan. Memberikan tayangan edukasi dan bukan justru tontonan yang bersifat hedonis liberalis. Namun selama kapitalisme -demokrasi tetap dianggap bisa menjadi solusi dibandingkan dengan penerapan Islam kafah maka selama itu pula tak akan bisa mewujudkan optimalnya fungsi keluarga, bagi peradaban sebuah bangsa. Wallahualam bissawab.[]


Reaksi & Komentar

Berita Lainnya