Setelah Jokowi Tumbang, Gibran dan Kaesang pun Goyang?

Ⓒ Hak cipta foto di atas dikembalikan sesungguhnya kepada pemilik foto

Ilustrasi Joko Widodo alias Jokowi (tengah), Anak sulung Jokowi Gibran Rakabuming Raka (kanan) dan anak bungsu Kaesang Pangarep (kiri). FOTO/Net. Ⓒ Hak cipta foto di atas dikembalikan sesungguhnya kepada pemilik foto

image_pdfimage_print

Setelah manggung di pentas Politik nasional dengan cara “sim salabim”, mampukah Gibran dan Kaesang, juga Bobby Nasution, bertahan pasca-lengsernya Jokowi?

ADVERTISEMENTS
ad48

PADA 20 Oktober 2024, Joko Widodo, atau yang lebih akrab disapa Jokowi, akan resmi meninggalkan kursi presiden setelah dua periode berkuasa. Lain dari presiden-presiden sebelumnya—bahkan dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY),  ayah dua putra yang kemudian terjun pula ke arena politik—turunnya Jokowi diiringi wacana yang santer di publik berkaitan dengan anak-anak dan menantunya.

Mengapa? Karena tampaknya momen lengsernya Jokowi itu menjadi babak baru dalam karier politik keluarganya. Terutama untuk kedua putranya, Gibran Rakabuming Raka dan Kaesang Pangarep, serta sang menantu, Bobby Nasution. Ketiganya sekarang tengah berada di panggung politik, nasional dan lokal.

ADVERTISEMENTS

Yang membuat “lain’’, perjalanan karier politik mereka tak sepi, kalau tak boleh dibilang dipenuhi, dengan kontroversi dan keraguan publik. Gibran, yang kini menjabat wakil presiden terpilih; Kaesang sang ketua umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI), bahkan Bobby, dinilai meraih posisi tersebut secara instan dan kontroversial. Satu hal yang wajar memicu pertanyaan besar tentang kapasitas mereka di dunia politik.

Politik “Sim Salabim” Gibran-Kaesang

Keberhasilan Gibran dan Kaesang dalam menduduki posisi strategis di panggung politik nasional tidak terlepas dari nama besar ayah mereka. Itu off-side? Tentu saja tidak. Terlalu banyak contoh tokoh politisi nasional yang muncul karena dominannya sisi genealogis alias faktor keturunan. Kita akan mual sendiri kalau mencoba menghitungnya, dari ujung Barat sampai Timur Indonesia.

ADVERTISEMENTS

Yang cenderung membuat publik keberatan, sejatinya karena instannya proses Gibran, Kaesang, dan juga Bobby. Keberatan yang wajar, mengingat yang mereka sandang adalah jabatan yang pada pundak mereka nasib warga dipertaruhkan.  Proses super cepat yang mereka jalani, sejatinya, itulah yang  membuat banyak Pengamat Politik mempertanyakan apakah keduanya benar-benar siap.

“Ini benar-benar sebuah proses politik instan yang sangat mengejutkan,” kata Lucius Karus, peneliti dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi).

ADVERTISEMENTS

“Gibran dan Kaesang terjun ke dunia politik dengan kecepatan yang tidak wajar, yang tentu menimbulkan tanda tanya tentang kesiapan mereka secara kapasitas dan mentalitas.”

Tak ada warga yang keberatan ketika mereka berdua ‘hanya’ jadi pengusaha. Apalagi saat itu keduanya tampak menikmati betul kiprah mereka dalam mencetak uang dan membuka lapangan kerja.

ADVERTISEMENTS

“Kalau jadi pebisnis, saya tertarik, tapi kalau (jadi) politikus, tidak,” kata Gibran di Cikini, Jakarta Pusat, pada Minggu 11 Maret 2018, sebagaimana dikutip Tempo.co. Pengakuan yang sama juga dilontarkan sang adik, Kaesang Pangarep, belum lagi lima tahun lalu. “Orang-orang kayak saya enggak pantes nanti di politik,”kata Kaesang dalam sebuah podcast yang dipandu Deddy Corbuzier, yang dikutip Kompas.com pada 21 September 2021. “Makanya, pantesnya untuk punya bisnis aja,” ucap Kaesang menambahkan.

Ibaratnya, belum lagi ludah itu jatuh ke bumi, keduanya segera menjulurkan lidah dan menelannya kembali. Kita tahu, keduanya kini aktif berpolitik, dan susah untuk menafikan betapa peran sang bapak, Jokowi, dominan dalam langkah-langkah keduanya.

ADVERTISEMENTS

Kurang dari setahun setelah “ngeles” soal tak tertarik politik itu,  Gibran tanpa basa-basi justru mendaftarkan diri sebagai kader PDI Perjuangan (PDIP) pada 2019. Melalui Pimpinan Anak Cabang (PAC) Banjarsari, Surakarta, dirinya resmi membuat Kartu Tanda Anggota (KTA).  Setahun setelah itu, mengikuti jejak sang bapak, Gibran resmi mendaftarkan diri sebagai bakal calon walikota Solo, 2020 lalu.  Dengan pesona Jokowi yang masih menyihir warga Solo, Gibran terpilih sebagai walikota Solo dalam Pilkada serentak 2020. Pada Kamis, 21 Januari 2021, Gibran pun resmi menjadi walikota terpilih.

Cukup? Kita tahu, tidak. Seolah belum puas akan manisnya kekuasaan, Gibran pun digadang-gadang untuk maju sebagak wakil presiden dalam Pilpres 2024, mendampingi Prabowo Subianto. Sekian banyak politisi senior dan berpengalaman, para ketua umum partai-partai politik yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM), pun menyisih, memberi jalan buat Gibran. Nama-nama ketua umum parpol yang sebelumnya sering disebut-sebut sebagai calon presiden/calon wakil presiden, seperti Airlangga Hartarto, Zulkifli Hasan, Agus Yudhoyono, pun segera tersingkir kehilangan kesempatan demi Gibran.

ADVERTISEMENTS

Jangan lupa, proses pengusungan Gibran sebagai wakil presiden ini sempat menimbulkan gejolak politik dan sosial. Salah satu yang paling disorot adalah soal putusan Mahkamah konstitusi untuk  menerima uji materiil Pasal 169 huruf q Undang-undang nomor 7 tahun 2017 mengenai batas usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres). Saat itu MK memutuskan untuk menerima perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh seorang mahasiswa bernama Almas Tsaqibbirru pada Senin, 16 Oktober 2023.

Lewat perubahan klausul menjadi “… 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota…”, Gibran memenuhi syarat sebagai calon wakil presiden. Penolakan publik pun meruak hebat, demonstrasi memenuhi jalan-jalan Jakarta dan ibu kota-ibu kota provinsi. Majalah TEMPO bahkan sampai menyebut Gibran “anak haram Konstitusi” gara-gara urusan di Mahkamah Konstitusi (MK) tersebut.

ADVERTISEMENTS

Sukar sungguh untuk menafikan kemungkinan besarnya andil Jokowi dalam putusan MK itu. Bagaimanapun Anwar Usman, ketua MK saat itu, merupakan adik ipar Jokowi, yang otomatis juga merupakan paman Gibran.

“Putusan MK ini sangat mencurigakan karena ada dugaan campur tangan Jokowi dalam proses pengambilan keputusan ini, mengingat Ketua MK adalah adik ipar Jokowi,” ujar pengamat hukum tata negara, Refly Harun, saat itu.

ADVERTISEMENTS

Namun bukan cuma urusan prosesnya yang dipersoalkan rakyat. Kualifikasi Gibran juga banyak dipertanyakan. Salah satunya secara terbuka oleh pemilik akun @arkham_87, yang mengunggah penilaian bahwa Gibran bahkan tidak paham akan permainan sepak bola dan lebih fokus dalam memanfaatkan nepotisme.

“Tahu apa dia (Gibran) soal bola tahunya cuma dikasih jabatan saja,” tulis @arkhamL87 yang kami kutip verbatim.

Sang adik, Kaesang Pangarep, juga tidak lepas dari kritik tajam. Pasalnya, baru beberapa hari bergabung dengan PSI, ia langsung ditunjuk sebagai ketua umum, melangkahi prosedur partai yang sudah ada.

Tetapi sebagai partai yang sejak awal diendus publik dibangun dan disiapkan untuk Jokowi dan keluarga, pihak PSI sendiri membantah soal itu. Wakil Ketua Dewan Pembina PSI, Grace Natalie, berdalih bahwa penunjukan Kaesang itu tidak melanggar AD/ART. Grace malah menjelaskan kalau komunikasi PSI dan Kaesang sudah berjalan cukup lama. Tanpa menjelaskan AD/ART PSI, Grace mengaku bahwa komunikasi selama ini tersebut sudah membuat Kaesang sangat kenal-mengenal orang-orang PSI.

“Komunikasi PSI dan Mas Kaesang sudah berjalan cukup lama, ada interaksi informal, ada beberapa yang pernah diundang podcast. Interaksi itu yang membuat Mas Kaesang menjadi kenal lebih jauh orang-orang PSI,” kata Grace, sebagaimana dimuat beberapa media pada Selasa, 27 September 2023.

Adapun tentang kinerja Kaesang sebagai ketua umum PSI, meski terkesan berbelit-belit dan sangat hati-hati, peneliti Charta Politika Indonesia, Ardha Ranadireksa, secara tersirat menegaskan belum optimalnya putra kedua Jokowi tersebut.  Ardha sendiri mengakui adanya kontroversi seputar pengangkatan Kaesang sebagai ketua umum PSI tersebut.

“…memang cukup kontroversial ya,  dengan hanya dua atau tiga hari menjadi anggota, kemudian menjadi ketua umum,” kata Ardha.

Meski ia mengapresiasi kenaikan suara PSI dari sekitar 1,85 persen pada Pemilu 2019, menjadi 2,806 persen pada Pemilu 2024, ia mengaku hal itu tak bisa dilepaskan dari pengaruh Jokowi, bukan Kaesang. Sementara pada sisi wacana politik, ia melihat kontribusi Kaesang justru nyaris tak ada.

“Praktis saya belum melihat adanya kontribusi Kaesang kalau melihat di tataran ini. Bahkan secara umum kita lebih melihat tokoh-tokoh terdepan PSI, katakanlah kayak Ade Armando atau misalnya Chairil Tanzil, sebagai jubir-jubir PSI, (yang lebih mengemuka),” kata dia.

Sebagai warga negara, Ardha mengaku berharap ketika Jokowi pada saatnya tidak berkuasa lagi, ia ingin Kaesang mampu membuktikan diri.

“Saya berharap, kemudian Kaesang mampu membuktikan dirinya bahwa dia memang pantas berada di posisi tersebut,” kata dia.

Penilaian yang lebih lugas justru datang dari peneliti di Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Saidiman Ahmad.

“PSI di bawah Kaesang? Jujur, ini lebih mirip dengan langkah pragmatis untuk mendompleng nama besar Jokowi daripada membangun kepemimpinan partai yang kuat,” kata Saidiman.

Masa Depan Politik Anak-Mantu ‘Pakde’

Tak hanya itu, Gibran dan Kaesang kerap kali juga menjadi sorotan karena sikap dan tindakan mereka yang dinilai belum mencerminkan etika politik yang baik. Baru-baru ini Gibran, misalnya, terjebak dalam kontroversi ketika jejak digital lamanya di forum Kaskus kembali muncul.

Dalam forum tersebut, ia menghina Prabowo Subianto, presiden terpilih dan mitranya di pemerintahan ke depan,  dengan kata-kata yang kurang pantas seperti “cerai” dan “stroke”, serta menyebut anak Prabowo dengan komentar yang bernada homofobik. Dalam situasi di mana Gibran sekarang harus bekerja sama dengan Prabowo, hubungan keduanya tentu akan sangat menarik untuk diperhatikan.

“Bagaimana mungkin Gibran bisa menjadi mitra yang baik bagi Prabowo, ketika dia pernah menghina secara terang-terangan di masa lalu? Politik memang penuh dinamika, tapi jejak digital sulit dihapus,” kata Arie Sujito, seorang sosiolog dari Universitas Gadjah Mada (UGM). Publik pun masih mempertanyakan bagaimana Prabowo akan memperlakukan Gibran setelah mereka resmi dilantik nanti.

Kaesang, di sisi lain, juga tengah terlibat dalam skandal hidup hedonis di saat ekonomi warga bangsa tengah sakit. Ia dan istrinya, Erina Gudono, diketahui berlibur ke Amerika Serikat menggunakan jet pribadi mewah. Pesawat tersebut diketahui milik Sea Group, perusahaan induk Shopee, yang memiliki hubungan bisnis dengan Kaesang dan Gibran. “Kaesang harus bisa menjelaskan dengan jelas siapa yang membiayai perjalanannya. Ini penting untuk menghindari kesan bahwa ia menerima gratifikasi,” ujar Tessa Mahardika, juru bicara KPK, yang kini menelaah laporan kasus ini.

Setelah Jokowi tak lagi menjadi presiden, nasib politik kedua anaknya masih menjadi tanda tanya besar. Apakah mereka bisa bertahan tanpa dukungan langsung dari Jokowi? Para pengamat politik sepakat bahwa baik Gibran maupun Kaesang masih harus membuktikan kemampuan mereka tanpa bergantung pada pengaruh ayah mereka.

“Gibran dan Kaesang sejauh ini masih menunggangi nama besar Jokowi. Tantangan terbesar mereka adalah membuktikan bahwa mereka bisa mandiri,” kata Ardha Ranadireksa dari Charta Politika.  Menurutnya, langkah Gibran untuk menjadi Wakil Presiden dan Kaesang sebagai Ketua PSI sangat dipengaruhi oleh kedekatan mereka dengan Jokowi. “Kita baru bisa menilai mereka secara objektif setelah Jokowi benar-benar tidak lagi berkuasa,” tambahnya.

Saidiman Ahmad juga memberikan analisis serupa.

“PSI di bawah kepemimpinan Kaesang belum menunjukkan hasil signifikan. Meski ada peningkatan suara pada Pemilu 2024, partai ini masih jauh dari ambang batas parlemen. Banyak yang menilai bahwa Kaesang hanya dipasang sebagai simbol politik, bukan karena kemampuan nyata dalam memimpin partai,” jelas Saidiman.

Bahkan, ia menambahkan,

“Jika Jokowi tak lagi ada di panggung politik, nasib PSI bisa sangat tergantung pada kemampuan Kaesang untuk bertahan di dunia politik yang keras.”

Selain Gibran dan Kaesang, nasib Bobby Nasution juga layak untuk dipertanyakan. Ia sukses meraih jabatan wali Kota Medan berkat nama besar sang mertua.

“Bobby memiliki tantangan yang sama dengan Gibran dan Kaesang. Setelah Jokowi tak lagi berkuasa, Bobby harus menunjukkan bahwa dia layak berada di posisi ini, bukan hanya karena dia menantu presiden,” ujar Dedi Kurnia Syah, direktur eksekutif Indonesia Political Opinion.

Masa depan Bobby di dunia politik juga akan sangat bergantung pada bagaimana ia bisa menjaga kekuatannya tanpa dukungan langsung dari Jokowi.

“Jika dia mampu membangun dukungan di Medan dengan baik, Bobby bisa terus berkembang. Tapi tanpa Jokowi, semua jadi lebih sulit,” kata Dedi.

Mampukah Mereka Bertahan?

Ketika Jokowi lengser dari kursi presiden, Gibran, Kaesang, dan Bobby akan menghadapi dunia politik yang jauh lebih keras dan tanpa “pelindung” utama mereka. Gibran harus membuktikan bahwa ia mampu bekerja sama dengan Prabowo, meskipun hubungan mereka di masa lalu diwarnai dengan hinaan.

Kaesang, sebagai ketua umum PSI, perlu menunjukkan bahwa ia bisa memimpin partai tanpa hanya mengandalkan popularitas nama Jokowi.

“Politik Indonesia bukan arena yang mudah, dan Gibran serta Kaesang akan diuji secara serius setelah ayah mereka tak lagi memegang kekuasaan. Ini adalah momen penting bagi mereka untuk menunjukkan bahwa mereka bisa berdiri di atas kaki sendiri,” kata Lucius Karus.

Apakah mereka bisa bertahan atau tidak, itu tergantung dari bagaimana mereka beradaptasi dan mengambil langkah strategis di masa depan. Bagi publik, Gibran, Kaesang, dan Bobby bukan hanya simbol generasi penerus Jokowi, tetapi juga cerminan dari seberapa jauh mereka bisa lepas dari bayang-bayang sang ayah.[]

Follow HARIANACEH.co.id untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News
Exit mobile version