OLEH: DR. SYAHGANDA NAINGGOLAN
PENCABUTAN TAP MPRS 33/1967 yang berisi tuduhan Soekarno sebagai pengkhianat dan pendukung Partai Komunis Indonesia telah dilakukan pimpinan MPR RI kemarin.
Ketua MPR RI, Bambang Soesatyo mengatakan, pencabutan itu dilakukan karena Soekarno tidak pernah diadili sehingga tidak ada landasan hukum untuk melakukan tuduhan terhadap dia. Di samping itu, MPR akan menyosialisasikan pencabutan status Bung Karno itu kepada seluruh rakyat Indonesia.
Dalam acara pemberian berkas pencabutan TAP MPRS tersebut, Guntur Soekarnoputra, anak sulung Bung Karno bersyukur karena keluarga Bung Karno telah menunggu peristiwa ini selama 57 tahun lamanya. Dia meminta agar rehabilitasi nama baik Bung Karno dilakukan.
Sementara itu, Megawati Soekarnoputri menitipkan salam kepada Prabowo, melalui Ahmad Muzani, pimpinan Gerindra/Wakil Ketua MPR, yang hadir di acara tersebut.
Pencabutan ini tentu perlu kita bahas karena penting bagi bangsa kita. Pertama, apakah MPR yang kedudukannya saat ini turun pangkat dibandingkan MPR ketika TAP MPRS 33/67 itu, dalam hierarki hukum kita sekarang, bisa melakukan pencabutan TAP dengan substansi yang signifikan?
Bukankah ini sekadar manuver Bambang Soesatyo menjelang penyusunan kabinet ke depan? Sebab, beberapa waktu lalu terjadi silang argumen di media massa, ketika Profesor Dasco, mengkritik Bambang yang bermanuver “menyalip di tikungan”, terkait isu-isu rekonsiliasi nasional.
Kedua, bukankah Bambang Soesatyo seharusnya lebih peduli menjalankan keputusan Munas Golkar di masa lalu untuk merehabilitasi nama baik Soeharto? Di mana saat ini Soeharto juga menjadi “penjahat” dengan adanya TAP MPR XI/1998 tentang Pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Atau setidaknya jika nama baik Soekarno ingin dipulihkan, bagaimana nama baik Soeharto? Apakah Bambang tidak sadar dirinya adalah tokoh Golkar?
Ketiga, apakah selama rezim Jokowi, korban-korban pembantaian ulama, aktivis prodemokrasi, mahasiswa, buruh, dan lainnya hanya korban yang ditelantarkan begitu saja oleh elite-elite Politik nasional kita?
Rekonsiliasi Nasional
Bangsa kita tentunya selalu menghadapi tantangan persatuan nasional. Soekarno sejak lama, 1926, setidaknya mengidentifikasi 3 ideologi besar yang akan terus hidup di Indonesia, yakni Pan Islamisme, Nasionalisme dan Komunisme/Sosialisme.
Dalam perjalanan sejarah kita, kebersamaan semakin tinggi karena nasionalisme etnis juga acapkali menonjol. Lalu, sejak pasca reformasi 98, kapitalisme, neoliberalisme, dan berbagai ajaran liberal lainnya menjadi eksis, akibat pembangunanisme selama 32 tahun era Orde Baru.
Luasnya spektrum kebhinnekaan tentu saja membutuhkan rekonstruksi dan rekonsiliasi. Namun, rekonsiliasi bukan dikonstruksi seenak nenek moyang penguasa.
Misalnya, bagaimana rezim Jokowi berusaha memaafkan korban politik 65, yang diasumsikan kaum komunis, namun saat bersamaan membenci ulama dan Islam? Bagaimana Megawati dengan bangga mengejek-ngejek Soeharto, “dia bapak pembangunan apaan?”
Untuk itu dibutuhkan suatu kajian serius yang melihat Persatuan Nasional dalam dinamika yang tinggi, karena perubahan zaman semakin cepat dan dinamis pula.
Kajian itu pertama menyangkut perbedaan cara pandang, seperti yang dialami Soekarno yang dituduhkan pengkhianat atas alasan ideologis. Kedua, menyangkut tipe kekuasaan.
Soeharto dianggap sebagai “penjahat” karena kepemimpinan dia yang diktator. Juga dia dan keluarganya dituduhkan koruptor. Nah, kajian ini perlu melihat mana yang masuk dalam kerangka rekonsiliasi dan apa yang mau direkomendasikan?
Ketiga, siapa yang mendapatkan otoritas untuk memimpin rekonsiliasi nasional ini? Apakah langkah Profesor Dasco menemui Imam Habib Rizieq, Jumhur, dan Syahganda Nainggolan baru-baru ini bukan bagian langkah rekonsiliasi ke depan?
Penutup
Langkah Bambang Soesatyo dkk di MPR “memaafkan” Soekarno perlu kita pikirkan dalam rangka rekonstruksi nasional. Bangsa ini memang begitu beragam, baik dari perspektif ideologi dan pemikiran, maupun tipe kepemimpinan. Namun, selama 10 tahun Jokowi, kejahatan atas perbedaan pikiran terlalu ganas.